Cuaca ekstrem yang melanda sejumlah daerah di Indonesia sebenarnya sudah diprediksi dengan tepat oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Namun, menurut sejumlah pakar, masih diperlukan koordinasi lebih baik untuk mengatasi dampaknya.
Dalam pertemuan dengan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengkubuwono X, Selasa (23/2), Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati berbagi informasi terkait potensi cuaca ekstrem. Kepada Sultan, Dwikorita menginformasikan adanya sirkulasi siklonik yang pekan ini bergerak dari utara Australia, menuju selatan Nusa Tenggara, dan mencapai Yogyakarta pada Kamis (25/2).
“Sampai selatan DIY diprediksi tanggal 25. Jaraknya sekian ratus kilometer di selatan, tetapi efek dari sirkulasi ini berdampak ke wilayah pesisir, mengakibatkan gelombang tinggi, juga angin kencang dan curah hujan yang tinggi,” kata Dwikorita.
Dwikorita menyebut apa yang bergerak saat ini bukan badai siklon, tetapi hanya semacam bibit yang diharapkan tidak berkembang menjadi badai. Peringatan ini disampaikan, agar nelayan di laut selatan mewaspadai angin kencang serta gelombang tinggi. Kepala BKMG juga menepis kemungkinan, cuaca ekstrem akhir pekan ini akan mendatangkan banjir seperti di Jakarta pekan lalu.
“Tanahnya beda. Pasir itu lebih cepat meresapkan air, jadi membuat sumur resapan di kawasan DIY ini terutama di lahan yang datar, itu sangat efektif. Tetapi kalau di Jakarta itu tanahnya lempung, meresapnya lama,” kata Dwikorita.
Faktor kedua adalah tata guna lahan yang berbeda antara dua wilayah, dan ketiga terkait intensitas hujan yang memang ekstrem di Jakarta.
Prediksi dan Mitigasi
Paparan Kepala BMKG membuktikan bahwa Indonesia memiliki kemampuan cukup untuk memprediksi cuara ekstrem yang akan datang. Namun, banyak faktor menentukan apakah cuaca ekstrem itu akan mendatangkan bencana atau tidak.
Pakar cuaca yang juga dosen Fisika Atmosfir di Fakultas MIPA, Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Dr Techn. Marzuki, menyebut kondisi ini mirip memasak makanan. Karena itulah, cuaca ekstrem di satu daerah bisa menyebabkan bencana besar, tetapi hal yang sama tidak terjadi di wilayah lain.
“Ibarat kita memasak, bumbu yang tersedia bisa jadi tidak menyebabkan sesuatu yang sangat ekstrem, tetapi ada kalanya bumbu-bumbu yang ada di atmosfir, sangat mendukung untuk menjadi ekstrem, sehingga menjadilah dia sebuah cuaca ektrim yang menimbulkan bencana lebih besar dari kondisi normal,” kata Marzuki kepada VOA.
Karena itulah, meskipun pemerintah suatu daerah telah diberi informasi mengenai potensi cuaca ekstrem, tingkat kerusakan yang mungkin ditimbulkannya tidak bisa diprediksi.
Marzuki mengutip sejumlah kejadian bencana banjir di berbagai daerah di Indonesia. Ada perdebatan sengit mengenai apakah ini murni faktor cuaca ekstrem, ataukah ada kondisi lain yang mendukung terjadinya bencana itu. Menurutnya, kedua pendapat itu bisa memiliki kebenaran.
Indonesia, kata Marzuki, secara umum memiliki curah hujan yang tinggi. Jika cuaca ekstrem terjadi, banjir tentu berpotensi datang. Kondisi ini bisa juga terjadi di negara-negara banyak negara dunia yang memiliki curah hujan rata-rata rendah. Ketika cuaca ekstrem terjadi, banjir bisa muncul.
Di beberapa wilayah Indonesia, curah hujan tahunan bisa mencapai 5 ribu cc. Sementara di Jepang, di mana Marzuki menempuh pendidikan S2, wilayah dengan curah hujan tahunan 2 ribu cc saja sudah sangat tinggi.
“Ketika terjadi hujan yang lebih lebat, di Jepang juga terjadi hal yang sama, banjir dan longsor,” paparnya.
Karena itu, daerah-daerah yang menerima curah hujan tinggi di Indonesia harus memiliki sistem drainase yang baik. Jika tidak, hujan tinggi akan memicu bencana banjir. Selain itu, perhatian lebih harus diberikan ke Daerah Aliran Sungai (DAS) serta luasan hutan yang memungkinkan air hujan disimpan di bagian hulu.
Karena itulah, Marzuki meyakini jalan keluar mengatasi bencana akibat cuaca ekstrem tidak pernah tunggal. Penguasaan terhadap prediksi cuaca hanya satu bagian saja.
“Prediksi cuaca yang akurat hanya meminimalisir dampak korban. Kita tidak bisa menghindari bencana itu. Tetapi kalau sistem drainase kita bagus, intensitas curah hujan tinggi bisa dialirkan airnya oleh daerah resapan, dan dampak bencana itu akan banyak terkuangi, jika dibarengi peringatan dini,” tambah Marzuki.
Butuh Upaya Terintegrasi
Sementara itu, pakar hidrologi UGM Dr. Mohammad Pramono Hadi mengatakan upaya mitigasi banjir memerlukan upaya sungguh-sungguh dan terintegrasi. Caranya bisa dengan membangun infrastruktur pengendali banjir seperti tanggul sungai atau waduk, penerapan early warning system (sistem peringatan dini) hingga pengembangkan soft skill masyarakat menghadapi ancaman bencana.
Secara khusus, Pramono mengambil kasus banjir Jakarta yang paling banyak menyedot perhatian publik. Dia mengatakan, potensi bencana hidrologis kawasan ini sudah dipetakan sejak masih bernama Batavia.
“Pemerintahan Belanda saat itu telah mengenali potensi ini dan membangun lebih dari seribu waduk di daerah lereng. Tapi kita tahu, ada proses alami seperti erosi, sedimentasi, sehingga waduk semakin lama semakin penuh dengan endapan dan akhirnya tidak dapat berfungsi menampung air,” kata Pramono.
Banjir yang sekarang terjadi di Jakarta parah, karena fungsi proteksi yang dibangun Belanda tidak tergantikan dan bahkan beralih fungsi. Revitalisasi bendungan yang mampu menahan air hujan menjadi salah satu kunci. Program ini akan bermanfaat untuk cuaca ekstrem di dua sisi, yaitu kelebihan air di musim hujan dan kekeringan di saat kemarau. Idealnya, kata Pramono, kelebihan air musim penghujan dapat ditampung untuk digunakan di saat kemarau.
Karena secara umum Indonesia tidak mampu mempraktikkan kondisi ideal itu, edukasi masyarakat bisa menjadi jalan keluar untuk meminimalkan korban. [ns/ab]