Keraguan atas efektifitas DPD kian menguat setelah di periode 2014-2019 timbul polemik internal. Mulai dari masuknya anggota DPD ke dalam sebuah partai hingga sengketa antara Ketua DPD Oesman Sapta Oddang dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait syarat pencalonan anggota DPD untuk pemilihan umum April mendatang.
Pertanyaan mendasar yang disampaikan peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, adalah apakah DPD masih diperlukan saat ini. Pertanyaan itu disampaikannya karena dari sisi historisnya keberadaannya telah menyimpang.
Siti Zuhro menilai dari sisi filosofi dasar pendirian lembaga itu yang seharusnya mewakili daerah, namun dalam perjalanannya turut diisi mereka yang berkarir di partai politik. Akibat bias tersebut akan sulit bagi seorang anggota DPD untuk memperjuangkan aspirasi daerah asalnya.
Kondisi itu, lanjutnya, menjadi salah satu penyebab tidak optimalnya tugas pokok dan fungsi DPD seperti yang dicita-citakan pada awal pendiriannyasejak 15 tahun lalu. Belum lagi DPD yang harusnya diisi oleh para utusan daerah itu kini dipilih seperti halnya anggota DPR.
"Sebagai lembaga legislatif tentunya dia (DPD) harus juga punya fungsi legislasi, itu yang tidak dimiliki. DPD dikunci menjadi utusan daerah, dipaksa menjadi utusan daerah tapi dipilih secara pemilu. Jadi ada standar ganda di situ," kata Siti Zuhro pekan lalu.
Dengan posisi yang dilematis tersebut, menurut Siti Zuhro, berpengaruh terhadap keinginan untuk menciptakan sistem parlemen dua kamar. MPR juga tidak terlalu berperan sedangkan DPR relatif digdaya.
Wakil Ketua DPD Akhmad Muqowam pun mengakui sejak awal DPD berdiri memang sudah bermasalah. Dia mencontohkan dalam Tata Tertib DPD tidak disebutkan kewajiban bagi anggotanya untuk berdomisili di daerah. Alhasil, banyak di antara mereka yang tidak dikenal oleh konstituennya.
Karena itu, lanjut Muqowam, susunan dan kedudukan DPD harus dikembalikan ke asalnya sesuai pasal 22 D Undang-undang Dasar 1945. Berdasarkan pasal tersebut, DPD memiliki fungsi dan tugas terkait legislasi, transfer keuangan pusat dan daerah yang kini mencapai Rp 783 triliun, pemekaran dan penggabungan daerah, serta berkantor di daerah.
Berdasarkan Pasal 249 Ayat 1 (j) Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), juga disebutkan DPD juga ikut serta dalam kewenangan legislasi, kewenangan pengawasan, dan pemantauan serta evaluasi peraturan-peraturan daerah.
"Kami sepakat di DPD kita harus khusnul khatimah, berakhir dengan baik. Lalu yang kedua adalah memberikan fondasi bagi DPD akan datang untuk kembali kepada undang-undang (konstitusi) sehingga persepsi itu tidak ada yang berbeda-beda," kata Muqowam.
Muqowam menegaskan eksistensi DPD harus tetap dipertahankan karena perlu ada penyampai aspirasi dari daerah ke pusat.
Wakil Ketua Komisi II DPR Herman Khaeron mendukung upaya penguatan peran DPD dengan mengembalikan fungsi dan tugas lembaga itu berdasarkan konstitusi. Hal ini bisa dimulai dengan membenahi sistem pemilu di Indonesia.
Karena itu, dia mengusulkan pemilihan anggota DPD dilakukan di tingkat lokal atau daerahnya masing-masing dan terpisah dari pemilihan nasional.
DPD sejatinya memiliki tiga fungsi, yakni legislasi, pertimbangan, dan pengawasan. Fungsi legislasi DPD adalah berhal mengusulkan sebuah rancangan undang-undang, ikut dalam pembahasan, tapi tidak boleh membahas di institusinya.
Fungsi pertimbangan adalah DPD memberikan pertimbangan terhadap apapun yang ada di tugas dan fungsinya DPR. DPD juga berfungsi mengawasi pelaksanaan otonomi daerah, dana perimbangan daerah dan pusat, dan sumber daya alam.
"Sebetulnya jelas tugas itu, hanya saja barangkali DPD lebih menonjol konfliknya daripada tugasnya pada akhirnya," tutur Herman.
Herman pun sependapat eksistensi DPD tetap dipertahankan namun harus dibenahi dari sistem pemilihannya, tugas pokok dan fungsinya, serta diatur hubungan kelembagaannya. [fw/as]