Bagi anak muda Indonesia, seperti Dyann Kemala Arrizqi, bercanda tentang situasi politik dan hukum Indonesia yang carut marut, mungkin adalah pelepas rasamuak. Yang dia tidak sadari adalah, di Indonesia candaan bernada satir terhadap tokoh politik bisa berujung penjara.
Anak muda asal Tangerang itu sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pencemaran nama baik. Dyann dijerat dengan pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ini adalah pasal karet yang sudah memakan ratusan korban, terutama setelah media sosial semakin populer di Indonesia.
Dalam kasus terkait Setya Novanto, polisi menyasar 32 akun media sosial, di mana satu pemilik akun telah ditangkap dan delapan lainnya dikabarkan dijadikan tersangka.
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Indonesia menyusun petisi online untuk mendesak kepolisian menghentikan kasus tersebut. Sudah sekitar 60 ribu warganet membubuhkan tanda tangan. Damar Juniarto dari SAFEnet Indonesia menyebut, seseorang tidak bisa dipidana karena menyampaikan kritik. Polisi harus memperhatikan konteks penyebaran memo terkait Setya Novanto pada September 2017.
Kritik satir itu adalah bentuk kegeraman masyarakat atas proses pemeriksaan kasus mega korupsi e-KTP yang diduga melibatkan Ketua DPR. Setya yang dipanggil KPK, justru mangkir dengan alasan sakit.
“Karena satir itu bentuk kritik yang berbeda dengan kritik orang yang langsung menunjuk kesalahan seseorang. Satir itu berlapis, jadi dibalik pujian Setya Novanto yang sangat powerfull, sebenarnya menunjukkan satir betapa lemahnya hukum di Indonesia," kata Damar Juniarto.
Damar mengatakan, kampanye untuk menghentikan pengusutan kasus pencemaran nama baik, terutama menyangkut pejabat atau politisi, penting untuk proses demokrasi. Menurut Damar, ada sekitar 3.000 laporan kasus terkait isu ini pada tahun 2016, dan sekitar 700-800 kasus di antaranya adalah pencemaran nama baik. Separuh dari mereka yang melapor ke polisi adalah pejabat publik. Kondisi ini membuat masyarakat enggan melontarkan kritik.
“Kecenderungannya sekarang orang membatasi diri untuk mengekspresikan dirinya, bukan hanya di politik, tapi juga hal lain misalnya partisipasi dalam menyampaikan kritik terhadap jalannya pemerintahan, baik di daerah maupun di pusat. Kalau kami melihat, dalam perspektif kebebasan berekspresi, sebenarnya yang terjadi sekarang di Indonesia adalah menyempitnya ruang demokrasi, ditandai dengan banyaknya kriminalisasi,” lanjutnya.
Kasus pencemaran nama baik memiliki ruang yang sangat luas. Sejumlah kasus bermula dari hal-hal wajar, seperti keluhan konsumen apartemen, penilaian atas perilaku pejabat daerah, dugaan tindakan korupsi, curhat tindakan atasan yang cenderung melecehkan, tulisan yang meragukan kredibilitas pembicara publik, sampai artikel dengan data valid yang dinilai melecehkan pimpinan partai.
Di Yogyakarta misalnya, sejumlah kasus serupa dibawa ke pengadilan dan disidangkan. Misalnya, curhat istri pegawai di salah satu toko yang mengeluhkan perlakuan majikan. Tulisan di media sosial itu berbuntut panjang bahkan sampai ke Mahkamah Agung. Ada juga pemilik kucing yang kecewa oleh layanan salah satu klinik hewan. Terakhir, di berbagai grup media sosial, ramai dibicarakan soal pemilik warung makan yang mengancam melapor ke polisi, setelah salah satu pembelinya mengeluh di media sosial karena harus membayar Rp 25 ribu untuk sepiring nasi goreng.
Pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jogja, Yogi Zul Fadhli, beberapa kali mendampingi terdakwa dalam kasus pencemaran nama baik. Dia menyatakan, dalam kasus-kasus itu, terlihat dengan jelas bahwa jaksa tidak cukup yakin ketika menyampaikan tuntutannya. Tidak mengherankan jika kemudian paling berat hakim memberi hukuman percobaan dalam kasus seperti ini. Hukuman itu berarti terhukum tidak perlu dipenjara, kecuali dia mengulangi perbuatannya dalam periode waktu tertentu.
“Bagaimana membuktikan rasa sakit, kalau memang itu menyakiti perasaan pelapor. Beda dengan luka fisik yang bisa dimintakan visum. Pencemaran nama baik, itu kan sulit sekali pembuktiannya. Dalam kasus di mana klien kami dibebaskan, hakim menilai apa yang disampaikan itu cuma keluhan, bukan pencemaran nama baik,” ujar Yogi.
Yogi menyayangkan, karena negara masih memfasilitasi tindakan hukum tidak perlu ini, dengan terus memasang pasal karet baik di UU ITE maupun KUHP. Dalam banyak kasus, posisi pelapor dan terlapor mirip, di mana pelapor biasanya memiliki kekuatan politik atau ekonomi lebih kuat dari terlapor. Misalnya pejabat melaporkan rakyat, majikan memperkarakan karyawan, atau pemilik usaha melawan pemakai jasanya.
Dalam pandangan aktivis LBH Jogja ini, masyarakat harus didorong untuk menyelesaikan kasus-kasus semacam ini di luar pengadilan. Tugas pertama aparat penegak hukum, bukan langsung mencari pasal-pasal pidana dalam sebuah kasus, tetapi mendidik masyarakat untuk menyelesaikan masalah melalui diskusi dan saling memberikan klarifikasi.
“Yang namanya kebebasan berekspresi, menyatakan pikiran dan pendapat itu merupakan hak warga negara. Tidak boleh dilupakan juga bahwa harkat dan martabat manusia itu juga bagian dari hak asasi manusia yang harus dihormati dan dilindungi. Poinnya kemudian adalah pendekatan penyelesaian perkara yang dipakai. Kami memandang, tidak harus memakai pendekatan hukum pidana, untuk menyelesaikan perkara-perkara seperti ini,” kata Yogi Zul Fadhli.
Tepat setahun yang lalu, pemerintah sudah merevisi UU ITE terkait pasal karet ini. Namun revisi tidak menyentuh inti persoalan, yaitu dugaan penghinaan atau pencemaran nama baik. Hanya ada pengurangan ancaman hukuman saja. Tidak mengherankan, jika pasal karet ini bisa melebar ke mana saja, mulai dari sepiring nasi goreng seharga Rp 25 ribu, hingga dugaan kasus korupsi yang merugikan negara Rp 2,3 triliun. [ns/ab]