Penelitian sejumlah lembaga swadaya masyarakat dalam beberapa tahun terakhir selalu menempatkan Jawa Barat pada urutan pertama provinsi yang paling intoleran. Setara Institute pada tahun 2015 menempatkan Jawa Barat sebagai daerah yang paling banyak pelanggaran hak atas KBB (44 kasus). Wahid Institute juga menyebut hal yang sama. Selama tahun lalu, lembaga itu menyebut telah terjadi 46 peristiwa pelanggaran KBB di provinsi tersebut.
Desk KBB Komnas HAM dalam laporannya tentang kebebasan beragama juga mencatat jumlah pengaduan tertinggi terkait pelanggaran hak atas KBB pada tahun 2015 berasal dari Jawa Barat yang mencapai 20 pengaduan.
Melihat kondisi itu Desk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Komnas HAM melakukan penelitian di enam daerah di Jawa Barat yang meliputi tiga kota dan tiga kabupaten, yaitu kota Bandung, kota Bogor, kota Bekasi, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Cianjur.
Pemilihan enam wilayah penelitian didasarkan pada tujuan atau pertimbangan bahwa keenam wilayah ini merupakan wilayah yang tercatat memiliki permasalahan KBB yang telah diadukan kepada Komnas HAM dan hingga saat ini masih ditangani.
Koordinator Desk KBB Komnas HAM, Jayadi Damanik menjelaskan ada sejumlah faktor yang menyebabkan Jawa Barat sebagai daerah yang intoleran di antaranya tekanan kelompok intoleran yang sangat kuat, belum besarnya pengetahuan dan kesadaran terhadap norma-norma hak atas KBB, problem pada kebijakan yang lebih tinggi serta mengistimewakan ajaran agama tertentu.
"Belum kuatnya pengetahuan dan kesadaran atas norma-norma hak atas KBB. Harapannya ke depan pemerintah mendorong itu agar permasalah ini selesai setahap demi setahap. Selanjutnya mengistimewakan ajaran agama tertentu lalu kemudian menjadi persoalan tergolong diskriminatif terhadap kelompok masyarakat tertentu," kata Jayadi Damanik.
Lebih lanjut Jayadi menjelaskan salah satu penyebab utama lahirnya kebijakan yang melanggar hak atas KBB adalah kuatnya tekanan dari kelompok-kelompok intoleran yang tidak menghendaki keberadaan kelompok atau identitas keyakinan tertentu untuk hidup bersama. Kelompok-kelompok ini dapat berupa organisasi keagamaan maupun himpunan massa yang mengatasnamakan agama tertentu.
Terhadap tekanan-tekanan tersebut, lanjutnya, tanggapan pemerintah Daerah seringkali ragu-ragu, bahkan mengikuti keinginan kelompok intoleran.
Dia mencontohkan dalam kasus penolakan pendirian Gereja Santa Clara di Bekasi. Kuatnya tekanan penolakan dari kelompok-kelompok intoleran, Pemerintah Kota Bekasi membuat kesepakatan dengan kelompok-kelompok penolak untuk menghentikan aktivitas pembangunan dan menyetujui proses verifikasi data gereja, meski sebelumnya semua persyaratan pendirian gereja telah lengkap dan IMB Gereja telah keluar.
Begitu pula tanggapan Pemkot Bekasi terhadap penolakan berbagai elemen umat Islam terhadap keberadaan JAI di Kelurahan Jati Bening Bekasi. Keluarnya Surat Perintah Walikota tentang Penyegelan Masjid JAI Bekasi tidak lepas dari kesepakatan sebelumnya antara Ormas-Ormas yang menolak keberadaan JAI di Bekasi dengan Pemkot Bekasi.
Dalam kasus keluarnya Surat Edaran Walikota Bogor tentang Pelarangan Perayaan Asyura warga Syiah lanjutnya juga sangat jelas memperlihatkan peran kelompok intoleran.
Dia juga menyatakan bahwa ada kecendrungan sejumlah kebijakan di daerah di Jawa Baratyang diteliti hanya menonjolkan nilai-nilai dan ajaran agama tertentu. Secara langsung, kebijakan-kebijakan seperti ini diskriminatif terhadap nilai dan ajaran agama warga negara lainnya.
Sekarang ini, lanjutnya, terdapat 41 kebijakan diskriminatif di Jawa Barat yang melanggar hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Regulasi-regulasi tersebut hingga saat ini masih berlaku sehingga masih membatasi kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagian warga masyarakat.
"Ada 41 kebijakan yang melanggar kebebasan beragama dan berkeyakinan. Regulasi-regulasi daerah yang bernuansa keagamaan, tidak hanya berpusat di satu wilayah tetapi hampir menyebar di seluruh kabupaten/kota. Saya kira Menteri Dalam Negeri dapat bisa merespon hal ini," imbuhnya.
Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo menegaskan akan membatalkan peraturan daerah yang bertentangan dengan Pancasila. Sekarang ini, kementeriannya lanjut Tjahyo telah mengembalikan 139 Perda yang tidak melihat negara ini sebagai negara yang majemuk. Tjahyo berharap pemerintah daerah teliti apabila ingin menyusun peraturan daerah.
"Kebanyakan yang sudah kami kembalikan ini, perda-perda itu bertentangan dengan Undang-undang di atasnya , bertentangan bahwa Indonesia adalah negara yang berbhineka. Indonesia bukan negara agama tetapi menempatkan agama yang harus dilindungi agar masyarakat mempunyak hak melaksanakan sesuai agama dan keyakinannya," kata Mendagri.
Desk Kebebasan Bergama dan Berkeyakinan Komnas HAM juga menyebut bahwa dari enam wilayah yang diteliti, terlihat bahwa tiga problematika utama yang dihadapi pemerintah kabupaten/kota, yaitu masalah Ahmadiyah, masalah perijinan rumah ibadah umat Kristen dan masalah favoritisme agama mayoritas, meski tingkat keseriusan isu tersebut di masing-masing daerah berbeda-beda.
Permasalahan Ahmadiyah misalnya menjadi problematika utama di Bandung, Bekasi, Taskmalaya dan Kuningan. Sementara itu, masalah pendirian rumah ibadah umat Kristen menjadi masalah utama di Bogor dan Cianjur. [fw/em]