Terpilihnya Amelia Hapsari sebagai anggota the Academy of Motion Picture Arts and Sciences (AMPAS) yang menjadi pihak penyelenggara ajang Oscar di Amerika Serikat dinilai sebagai sebuah prestasi yang membanggakan bagi Indonesia.
Amelia adalah seorang sineas, yang juga menjabat sebagai program director organisasi nirlaba In-Docs di Indonesia, yang bertujuan untuk mendukung bakat para sineas dokumenter, serta mempromosikan film-film dokumenter di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Baru saja terpilih menjadi anggota AMPAS, khusus untuk cabang dokumenter, Amelia langsung dibanjiri berbagai tugas.
“Tiap minggu email AMPAS masuk,” cerita Amelia Hapsari kepada VOA Indonesia baru-baru ini.
Sebagai anggota AMPAS, tugas Amelia tentu saja tidak hanya menjadi juri di ajang Oscar saja, tetapi ia juga berperan sebagai mentor di berbagai program yang diselenggarakan oleh pihak AMPAS, dimana ia diminta untuk berbagi pengalaman dan keahlian kepada generasi muda.
Mengingat dirinya tidak tinggal di Los Angeles, Amerika Serikat, seluruh tugas, termasuk menonton puluhan film dokumenter dan menjadi mentor, dilakukan secara virtual.
“Dan tidak ada screening-screening resmi di teater sama sekali. Biasanya ada, tapi karena saya tidak tinggal di LA, tidak mungkin mengikuti yg seperti itu,” tambah peraih gelar sarjana S1 dan S2 dari Ohio University di Ohio, AS.
Anggota AMPAS Pertama Dari Indonesia
Amelia Hapsari berhasil mencatat sejarah sebagai anggota AMPAS asal Indonesia yang pertama, di mana ia terpilih sebagai salah satu dari 819 anggota baru AMPAS, yang dalam beberapa tahun terakhir ini berusaha meningkatkan keragaman diantara anggotanya.
Anggota AMPAS yang berjumlah lebih dari 9.000 orang ini, terdiri dari 45 persen perempuan, 36 persen dari komunitas dengan etnis atau ras yang kurang terwakili, dan 49 persen berasal dari 68 negara. Mereka terpilih atas kontribusi mereka di industri film.
“Makna menjadi anggota Academy adalah seperti memiliki sebuah kursi, dalam sebuah perhelatan. Dan memiliki sebuah suara. Bagi saya suara tersebut harus digunakan, sepenuh-penuhnya untuk memberikan suara, vote, dukungan, kepada yang benar-benar layak dan biasanya, tidak punya tempat di kompetisi Oscar,” jelas Amelia.
Untuk menjadi anggota AMPAS pun tidak mudah. Dilansir dari situs Oscar.org, proses untuk menjadi anggota AMPAS dikatakan harus melalui sponsor dari dua orang anggota AMPAS di salah satu cabang, seperti dokumenter. Lain halnya bagi para peraih nominasi yang tidak memerlukan sponsor untuk menjadi anggota AMPAS.
Di dunia film dokumenter, khususnya di Asia Tenggara, Amelia dikenal sebagai orang yang tak kenal lelah dalam mempromosikan bakat para sineas dokumenter di Asia Tenggara. Ia juga dikenal sebagai penghubung antara pasar dokumenter internasional dan Asia Tenggara.
“Amel itu orangnya pekerja keras. Dia itu organizer yang bagus dan saya lihat bisa meyakinkan banyak pihak untuk ada di satu platform bersama,” ujar sineas dokumenter, Ucu Agustin, di Washington, D.C melalui wawancara lewat Zoom dengan VOA.
Ucu pernah bekerjasama dengan In-Docs untuk film dokumenter pendek, “Sejauh Kumelangkah” yang berhasil memenangkan piala Citra tahun 2019 dan Tribeca Film Institute di New York. Film ini mengangkat kisah kehidupan dan persahabatan dua anak perempuan tuna netra, yang tinggal di dua negara yang berbeda.
Menurut Ucu, posisi Indonesia bisa lebih “terkuatkan’ dengan keberadaan Amelia di AMPAS.
“Aku senang sekali, sangat bangga tentunya, karena pada akhirnya kita ada juga representasi yang bisa membawa Indonesia khususnya, juga South East Asia gitu pada umumnya,” ujar Ucu.
“Sebagai pembuat film Indonesia, ingin sekali cerita-cerita dari Indonesia juga dilihat atau memiliki audience yang lebih luas gitu, karena sekarang kan content matters, ya,” tambahnya.
Tantangan Menembus Oscar
Walau kini sudah ada wakil dari Indonesia di AMPAS, menurut Amelia, masih banyak hal yang perlu dilakukan oleh industri film Indonesia untuk bisa menembus kancah internasional, bahkan Oscar.
“Kompetisi Oscar adalah kompetisi yang amat mahal. Sehingga untuk menjadi nominasi tidak hanya dibutuhkan pernah masuk ke festival yang Oscar qualifying festival, jadi festival yang berkualifikasi Oscar, atau pernah tayang di teater di bioskop Amerika, tetapi kemudian juga dinominasikan oleh anggota Academy. Ini sama sekali berbeda dengan festival-festival lain yang dipilih oleh tim program dari festival tersebut,” jelas perempuan yang adalah sutradara film "Fight Like Ahok" ini.
Sebagai contoh, tahun 2018, film “Marlina si Pembunuh Dalam Empat Babak” karya Mouly Surya yang menjadi perwakilan film Indonesia untuk bersaing di Oscar juga sudah tembus ke berbagai festival film internasional dan juga melakukan pemutaran di Amerika Serikat, namun gagal mendapat nominasi Oscar.
Sama halnya dengan film “Kucumbu Tubuh Indahku” karya Garin Nugroho yang sudah tembus di berbagai festival film internasional, termasuk Venice International Film Festival, juga gagal mendapat nominasi Oscar, saat menjadi perwakilan Indonesia di kategori film berbahasa asing tahun 2019.
“Di Oscar harus memenangkan dulu vote dari para anggota Academy yang jumlahnya (ribuan) dan tidak ada publikasi yang jelas siapakah anggota Academy tersebut. Sehingga kampanye utuk mendapatkan nominasi di Oscar, itu merupakan kampanye jangka panjang,” jelasnya.
Salah satu usaha yang bisa dilakukan untuk menarik perhatian dunia adalah dengan menampilkan sesuatu yang berbeda dalam film, seperti kebudayaan dari suatu negara. Hal ini diutarakan oleh Christina Hodell, dosen komunikasi di Bridgewater State University di Massachusets.
“Banggalah dengan warisan budaya Indonesia anda dan buatlah film tentang itu. Jangan disembunyikan dan ‘meng-Hollywood-kan’ hasil karya Anda. Kalau mau membawa film ke Amerika, tunjukanlah sedikit sisi Indonesia. Film, televisi dan media adalah tempat belajar yang bagus untuk kita, dalam mempelajari kebudayaan lain. Jadi kenapa tidak menggunakan kekuatan medium tersebut, untuk mempromosikan apa yang anda punya,” kata Hodell kepada VOA melalui wawancara lewat Zoom belum lama ini.
Selain keunikan yang perlu terus diasah, menurut Amelia, seorang sineas “perlu terbuka untuk kolaborasi” dan menggabungkan keistimewaan dari masing-masing seniman. Ia menambahkan, film-film yang sukses baik di pasaran internasional mapun festival, adalah hasil kolaborasi dengan berbagai pihak yang memiliki “kaliber Oscar” atau internasional.
Ucu Agustin menilai, kolaborasi juga menantang kemampuan diri masing-masing.
“Pembuat film dokumenter di Indonesia sendiri, meskipun generasi sekarang berbahasa Inggris dengan sangat bagus gitu, tapi generasi saya atau bahkan setelah saya, berhadapan dengan dunia internasional, menggunakan bahasa yang bukan bahasa ibunya, itu juga masih susah,” jelas Ucu.
Untuk bisa mewujudkan cita-cita agar bisa tembus ke ajang OSCAR memang dibutuhkan perjalanan yang cukup panjang dan usaha yang keras. Selain harus terus menyadari potensi diri masing-masing, menurut Amelia, seorang sineas juga harus memiliki orientasi jangka panjang.
“Karena, tidak ada satu pun master atau maestro yang lahir itu langsung menjadi maestro, dia pasti akan melewati begitu banyak hal, dan harus memberikan tantangan kepada dirinya setiap kali dan harus terus belajar sampai pada akhirnya usahanya itu mendapat penghargaan,” kata Amelia.
Dongkrak Popularitas Dokumenter
Saat ini Amelia tengah disibukkan dengan ajang tahunan In-Docs, yaitu Docs by The Sea yang tengah berlangsung secara daring, hingga 24 Agustus 2020.
"Docs By The Sea adalah forum dokumenter yang mempresentasikan 29 proyek dokumenter terpilih dari Asia Tenggara kepada para funders, broadcasters, distributors dari seluruh dunia. Ajang ini diprakarsai oleh In-Docs dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia," jelas Amelia.
Dalam hal ini, In-Docs juga memiliki misi untuk menghubungkan film-film dokumenter dengan "para penggerak perubahan."
“Supaya film-film ini dipakai untuk mendorong dampak sosial di masyakat,” tambahnya.
Untuk kedepannya, Amelia berharap agar film dokumenter “tidak lagi dianggap sebagai bahan sampingan,” tetapi juga memiliki “nilai yang nyata," [di/em]