Hamas melakukan salah satu serangan paling mematikan terhadap tentara Israel sejak invasi Gaza dimulai, menewaskan sedikitnya sembilan orang dalam penyergapan di perkotaan, kata militer Israel pada Rabu (13/12). Tewasnya tentara Israel tersebut merupakan sebuah tanda perlawanan yang keras. Hamas masih bertahan meski sudah lebih dari dua bulan dibombardir dengan dahsyat oleh Israel.
Penyergapan di lingkungan padat tersebut terjadi setelah militer Israel berulang kali mengklaim bahwa mereka berhasil merusak struktur komando Hamas di Gaza utara, mengepung sisa-sisa anggota Hamas, membunuh ribuan anggotanya dan menahan ratusan lainnya.
Pertempuran tersebut menunjukkan bagaimana kegigihan Israel untuk menghancurkan Hamas — bahkan setelah pasukan militer Israel melepaskan salah satu serangan paling merusak di abad ke-21. Serangan udara dan darat Israel menewaskan lebih dari 18.600 warga Palestina, menurut pejabat kesehatan Gaza. Kota Gaza dan kota-kota sekitarnya berhasil dihancurkan. Hampir 1,9 juta orang terpaksa meninggalkan rumah mereka.
Krisis kemanusiaan yang diakibatkan pembombardiran yang dilakukan Israel tersebut memicu kemarahan internasional. Amerika Serikat (AS) berulang kali meminta Israel untuk mengambil tindakan yang lebih serius untuk menyelamatkan warga sipil, meskipun Washington mengabaikan seruan internasional untuk melakukan gencatan senjata dan justru mempercepat bantuan militer kepada sekutu dekatnya itu.
Pasukan Israel masih terlibat dalam pertempuran sengit dengan Hamas di dalam dan sekitar Kota Gaza, lebih dari enam minggu setelah menginvasi bagian utara Gaza setelah serangan Hamas pada 7 Oktober.
Bentrokan terjadi sepanjang malam hingga Rabu (13/12) di berbagai wilayah, terutama di Shijaiyah, sebuah lingkungan padat yang menjadi lokasi pertempuran besar selama perang Israel dan Hamas pada 2014.
“(Pertempuran) itu menakutkan. Kami tidak bisa tidur,” kata Mustafa Abu Taha, seorang buruh pertanian Palestina yang tinggal di lingkungan tersebut, melalui telepon. “Situasinya semakin buruk, dan kami tidak punya tempat yang aman untuk dituju.”
Penyergapan itu terjadi pada Selasa (12/12) di Shijaiyah, saat pasukan Israel yang tengah menyisir sekelompok bangunan kehilangan komunikasi dengan empat tentara yang diserang, kata militer. Ketika tentara lainnya melancarkan operasi penyelamatan, mereka disergap dengan tembakan keras dan bahan peledak.
Di antara sembilan orang yang tewas adalah Kolonel Itzhak Ben Basat, 44 tahun, perwira paling senior yang tewas dalam operasi darat, dan Letkol Tomer Grinberg, seorang komandan batalion.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengatakan itu adalah “hari yang sangat sulit.” Namun dia menolak seruan internasional untuk melakukan gencatan senjata.
“Kami terus melanjutkan sampai akhir, tidak ada pertanyaan. Saya mengatakan hal ini meskipun ada rasa sakit yang luar biasa dan tekanan internasional. Tidak ada yang bisa menghentikan kami, kami akan terus melanjutkannya hingga akhir, hingga kemenangan, tidak kurang,” katanya dalam pembicaraan dengan para komandan militer.
Penderitaan di Selatan
Hujan deras semalaman membanjiri kamp-kamp tenda di selatan Gaza, tempat Israel meminta warga Palestina mencari perlindungan, meski wilayah itu juga menjadi sasaran pengeboman setiap hari.
Di pusat kota Deir al-Balah, badai membawa angin dingin dan membanjiri tempat penampungan di belakang rumah sakit, menyebabkan aliran air mengalir di antara tenda-tenda. “Situasinya sangat buruk,” kata Ibrahim Arafat, ayah 13 anak yang melarikan diri dari Shijaiyah.
Karena pertempuran dan blokade Israel di Gaza, sistem layanan kesehatan dan operasi bantuan kemanusiaan di sebagian besar wilayah tersebut runtuh. Para pekerja bantuan telah memperingatkan akan terjadinya kelaparan dan penyebaran penyakit di kalangan pengungsi.
Perang Jarak Jauh
Kemarahan atas jumlah korban perang tampaknya meningkatkan dukungan warga Palestina terhadap Hamas, yang telah memerintah Gaza sejak 2007 dan menyatakan penentangan terhadap pendudukan Israel.
Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kebijakan dan Survei Palestina menemukan 44 persen responden di Tepi Barat yang diduduki mengatakan mereka mendukung Hamas, naik dari hanya 12 persen pada September. Di Gaza, Hamas mendapat 42 persen dukungan, naik dari 38 persen pada tiga bulan lalu.
Meskipun dukungan Hamas masih minoritas, jajak pendapat tersebut menunjukkan penolakan yang sangat besar terhadap Presiden Palestina yang didukung Barat, Mahmoud Abbas. Hampir 90 persen mengatakan ia harus mengundurkan diri. Banyak warga Palestina memandang pemerintahan pemimpin berusia delapan puluhan itu korup, otokratis, dan tidak efektif.
Temuan ini menandakan kesulitan yang lebih besar ke depan bagi visi pemerintahan AS pascaperang mengenai Gaza dan menimbulkan pertanyaan mengenai tujuan Israel untuk mengakhiri kemampuan militer dan pemerintahan Hamas.
AS berkeinginan agar Pemerintahan Palestina yang dipimpin oleh Abbas, yang menguasai sebagian Tepi Barat, dapat juga memerintah di Gaza yang dikuasai oleh Hamas sejak 2007. Selain itu, AS ingin menghidupkan kembali proses perdamaian yang telah lama mati suri untuk membahas pembentukan negara Palestina. Pemerintahan Netanyahu dengan tegas menentang ide pembentukan negara Palestina.
Pemimpin tertinggi Hamas Ismail Haniyeh pada Rabu (13/12) mengatakan rencana apa pun untuk Gaza yang tidak melibatkan Hamas adalah “ilusi dan fatamorgana,” meskipun ia mengatakan kelompok itu terbuka untuk menghentikan pertempuran. Berbicara kepada Al-Masira TV, saluran yang terkait dengan kelompok militan Houthi di Yaman, dia mengklaim Hamas telah memberikan “pukulan telak” terhadap Israel. Haniyeh tinggal di pengasingan di Qatar. Namun tidak jelas di mana dia berada saat melontarkan komentar tersebut.
Presiden AS Joe Biden mengatakan pada Selasa (12/12) bahwa ia mengatakan kepada Netanyahu bahwa Israel kehilangan dukungan internasional karena “pengeboman tanpa pandang bulu.”
“Israel tampaknya belum mencapai tujuan militernya,” Mairav Zonszein, analis senior Israel di International Crisis Group, menulis di X, merujuk pada penyergapan mematikan pada Selasa.
“Dengan Biden yang sudah menunjukkan tanda-tanda bahwa ia kehilangan kesabaran, tidak adanya tanda-tanda pembebasan sandera, dan perekonomian Israel yang kewalahan, serta krisis kemanusiaan yang sangat parah di Gaza, Israel akan berada dalam posisi yang jauh lebih buruk keesokan harinya, dengan menderita banyak kerugian dan tidak meraih kemenangan,” tulisnya.
Meskipun masyarakat Israel tampaknya sangat mendukung perang melawan Hamas, sentimen tersebut bisa berubah jika jumlah korban tewas di kalangan tentara Israel terus meningkat.
Kematian tentara adalah topik yang emosional di Israel, sebuah negara kecil berpenduduk 9 juta orang di mana dinas militer adalah wajib bagi sebagian besar orang Yahudi. Hampir setiap keluarga mengenal kerabat, teman atau rekan kerja yang kehilangan anggota keluarga dalam perang. Nama-nama tentara yang gugur diumumkan di bagian atas siaran berita nasional.
Di Israel, perhatian masih terfokus pada kekejaman yang dilakukan pada 7 Oktober, ketika sekitar 1.200 orang terbunuh, sebagian besar warga sipil, dan sekitar 240 orang disandera, sekitar setengah dari mereka masih disandera. Militer mengatakan 115 tentara tewas dalam serangan darat.
Hanya ada sedikit liputan media atau diskusi publik mengenai penderitaan warga sipil di Gaza, bahkan ketika kemarahan internasional meningkat.
Meskipun AS menyerukan Israel untuk mengurangi korban sipil, jumlah korban terus meningkat pada tingkat yang mengkhawatirkan.
Ketika merilis angka kematian terbaru di Gaza sebanyak 18.600, Kementerian Kesehatan Gaza tidak merinci jumlah perempuan dan anak di bawah umur. Namun, jumlah perempuan dan anak-anak yang menjadi korban secara konsisten berjumlah sekitar dua pertiga dari jumlah korban tewas. Jumlah korban mungkin lebih tinggi karena ribuan orang diyakini terkubur di bawah reruntuhan. Penghitungan yang dilakukan kementerian tidak membedakan antara warga sipil dan kombatan. [ah/rs]
Forum