Sebagai isyarat bahwa Amerika Serikat semakin prihatin atas jumlah korban sipil akibat kampanye militer Israel di Gaza, Presiden Joe Biden menyampaikan teguran secara publik kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu meskipun ia tetap mempertahankan dukungan kuatnya terhadap Israel.
Satu pasar lagi hancur di Gaza, kali ini di kamp pengungsi Jabalia. Banyaknya korban sipil membuat Presiden AS Joe Biden semakin prihatin.
“Kami telah menjelaskan kepada Israel, dan mereka sadar bahwa keselamatan warga Palestina yang tidak bersalah masih menjadi perhatian besar. Oleh karena itu, tindakan yang mereka ambil harus konsisten dengan upaya melakukan segala kemungkinan untuk mencegah warga sipil Palestina yang tidak bersalah – terluka, terbunuh, tewas, hilang, dan sebagainya,” jelasnya.
Israel kehilangan dukungan internasional atas “pemboman tanpa pandang bulu,” kata Biden dalam kampanyenya pada Selasa pagi. Pernyataan itu merupakan kritik publiknya yang paling tajam. Menurut transkrip Gedung Putih, dia mengatakan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu perlu mengubah koalisinya dan memberdayakan Otoritas Palestina untuk menjadi mitra dalam proses perdamaian. Dia secara khusus menyoroti Menteri Keamanan Nasional Israel yang berhaluan sayap kanan ekstrem, Itamar Ben-Gvir, yang menentang solusi dua negara.
Komentar Biden itu muncul ketika 153 negara memberikan suara mayoritas untuk mendukung resolusi PBB yang menuntut gencatan senjata. Sepuluh negara menentang resolusi tersebut, sementara 23 negara abstain.
Riyad Mansour, Pengamat Tetap Palestina di PBB, mengatakan, “Tugas kami adalah mencoba menyelamatkan nyawa yang masih hidup dengan mengadopsi resolusi ini dan memaksa Israel untuk mematuhinya, dan mereka yang melindungi Israel agar mematuhi konsensus global.”
Pemungutan suara tersebut menyusul resolusi serupa Dewan Keamanan PBB pada hari Jumat yang gagal karena veto AS, sebuah posisi yang menurut para kritikus merugikan kepentingan Washington di luar Timur Tengah.
Mantan diplomat AS yang mengundurkan diri sebagai protes atas kebijakan AS di Israel, Josh Paul, berbicara dengan VOA melalui Skype.
“Tetapi juga ketika kita berargumentasi, misalnya, di PBB untuk mendapatkan dukungan dari negara-negara Blok Selatan, untuk kecaman kita atas invasi keji Rusia ke Ukraina. Kami juga akan kehilangan suara, jika kami terlihat munafik, jika kami terlihat menjauhi nilai-nilai kami,” sebutnya.
Resolusi Majelis Umum tidak mengikat namun memiliki bobot politik, seperti disampaikan oleh Richard Gowan, direktur International Crisis Group di PBB. “PBB, para pejabat, mayoritas negara anggota PBB, hanya mencari segala cara yang mungkin untuk menciptakan tekanan moral pada AS supaya mengubah sikapnya,” jelasnya.
Israel dan para pendukungnya mengatakan gencatan senjata hanya akan menguntungkan Hamas, memungkinkan mereka melakukan konsolidasi untuk melakukan serangan terhadap Israel pada masa depan.
Julie Rayman, Direktur Pelaksana Kebijakan dan Urusan Politik di kelompok advokasi Komite Yahudi Amerika, berbicara dengan VOA melalui Skype. “Gencatan senjata memungkinkan Hamas mendapatkan legitimasi yang belum mereka peroleh. Gencatan senjata memberikan kepercayaan kepada para pemimpin teroris yang telah membuktikan dengan jelas bahwa mereka tidak dapat dipercaya,” sebutnya.
Menyusul serangan Hamas pada tanggal 7 Oktober di Israel yang menewaskan sedikitnya 1.200 orang, serangan balasan Israel di Gaza telah menewaskan lebih dari 18.000 orang, menurut perhitungan Palestina, dalam kampanye paling berdarah dari konflik yang telah berlangsung selama beberapa dekade. [lt/jm]
Forum