Jatuh cinta memang membuat orang sulit melupakan apa yang dicintainya itu. Seperti Ratna Cary, perempuan Indonesia berdarah campuran Sunda dan Yogya yang kini sedang bermukim di Silver Spring, Maryland. Pada mulanya ia memang menyukai batik Indonesia yang indah dan unik. Ketika ia mencoba membatik pada suatu acara yang menyelenggarakan demo membatik, ia langsung jatuh cinta.
"Kemudian saya mulai memperdalam dan lebih tahu mengenai batik," jelas Ratna Cary.
Sementara itu di kota Duluth, Minnesota, ada Evia Nugrahani Koos. Perempuan asal Surabaya yang bersuamikan orang Amerika ini sempat belajar membatik di Museum Tekstil di Jakarta pada awal tahun 2000-an. Ditambah lagi dengan kesukaannya pada hal-hal yang ramah lingkungan, ia belajar khusus mengenai berbagai pewarna-pewarna alam untuk membatik.
Sejak itulah Evi kemudian aktif berdemo membatik di berbagai pameran. Bahkan kegiatan sosialnya sebelum pindah ke Amerika, juga berkisar pada batik. Ketika itu, perempuan yang kini berstatus sebagai mahasiswa ini, aktif memberi kursus dasar membatik untuk anak-anak jalanan di Surabaya.
"Dalam seminggu, aku mendapat beberapa kali giliran, ayo belajar membatik. Anak-anak senang," jelasnya.
Sementara itu, kecintaan akan batik tidak membuat Ratna berhenti hanya pada mengenakan busana batik. Karena batik itu indah, unik dan membanggakan, maka, lanjut Ratna.
"Kita harus beritakan kepada semua orang. Apalagi belakangan karena keindahan batik, banyak pihak mengakui batik milik mereka, padahal batik milik Indonesia. Saya ingin supaya masyarakat Indonesia tahu bahwa batik punya kita lho. Ini kebanggaan kita, ini budaya kita, jadi kita bisa lebih memperkenalkan batik kepada masyarakat dunia," jelasnya.
Sebagai istri seorang diplomat Amerika, Ratna kerap mengikuti suaminya berpindah-pindah tugas ke berbagai negara. Ia mulai aktif memperkenalkan batik kepada masyarakat internasional pada tahun 2005, sewaktu suaminya bertugas di Bangladesh. Begitu pula sewaktu ia berpindah ke Oman, Singapura, Indonesia dan bahkan di Amerika sekarang ini. Tidak terbatas pada komunitas internasional di luar Amerika, selama di Amerika ia juga telah menggelar workshop di berbagai kota dan institusi, seperti di Departemen Luar Negeri AS, Departemen Pertahanan dan National Defense University.
Ia bukan hanya memperlihatkan cara membatik dan memberi kesempatan peserta workshop untuk ikut mencoba melakukannya sendiri.
"Sekarang bukan hanya memberikan kesempatan, tetapi juga menjelaskan batik itu apa, sejarahnya apa, karena batik asli itu filosofinya dalam sekali. Itu yang saya tujukan kepada masyarakat luas bahwa batik itu milik lndonesia dan dengan buktinya, dengan sejarahnya, dengan filosofi di baliknya. Jadi selain demo membuat batik, juga membagi sedikit pengetahuan tentang batik, memperlihatkan sedikit koleksi batik yang saya punya. Masyarakat internasional selalu uh ah bagus ya. Dengan latar belakang batik sendiri, itu membuat mereka semakin menghargai batik," jelas Ratna.
Lain lagi cara Evi mempromosikan batik. Ia selalu membuat produk-produk yang menggunakan bahan batik. Produk-produk buatan tangannya, yang selalu laris di antaranya adalah tas belanja, tas selempang, wadah/sarung laptop atau laptop case, serta wadah sendok garpu (utensil set). Yang unik dari tas-tas itu dan membuat orang tertarik adalah karena ia mengombinasikan batik dengan bahan-bahan yang semula tidak dilirik siapapun.
"Kukombinasi dengan burlap, dengan karung goni, kadang untuk tempatnya laptop. Pasarnya ada, orangnya tuh suka. Karena bisa jadi bisnis, akhirnya aku bikin," kata Evi.
Batik yang ia gunakan, jelasnya, bukan batik printing, atau bahan bermotif batik. Kain-kain batik koleksinya, yang kemudian ia gunakan untuk membuat aneka produk, berasal dari berbagai daerah di Indonesia,
"Kain-kain yang aku beli lama kan, dari tiap daerah itu aku punya, seperti batik Ponorogo, batik Madura. Aku tuh sukanya batik-batik yang kampung-kampung itu, langsung dari pembuatnya. Bukan batik halus banget. Aku sukanya batik yang merakyat. Bisa dipakai sehari-hari. Tapi batiknya batik beneran, bukan printing yang motif batik. Saya tidak suka itu. Saya suka yang beneran, tapi batik rakyat," imbuhnya.
Sekarang, pada masa pandemi ini, bagaimanakah kegiatan mereka mempromosikan batik?
Evi masih berharap, setidaknya tahun depan ia bisa mengikuti berbagai pameran, tidak seperti tahun ini yang sangat terbatas jumlahnya. Namun, ia juga tetap rajin mengunggah foto produk berbahan batiknya melalui media sosial.
Sementara itu Ratna beralih mengadakan workshop secara virtual. Tentu saja ada kekurangannya dalam mengadakan kegiatan virtual ini. Menunjukkan cara membatik serta memberi pengalaman langsung kepada peserta dalam membatik tentu tidak bisa dilaksanakan. Ratna yang sempat berkreasi membuat batik motif virus corona ini berencana langsung mengadakan pertemuan tatap muka lagi begitu pandemi berakhir. Tetapi untuk sementara ini, ia telah membuat materi yang biasa ia sampaikan dalam workshop yang digelarnya melalui channel YouTube-nya.
"Jadi bukan hanya kelompok-kelompok masyarakat yang minta saya membuat workshop, tetapi sekarang semua orang bisa melihat materinya dari link YouTube saya," jelas Ratna.
Bicara lagi tentang cinta, pandemi sekalipun tampaknya memang tidak bisa menghalangi semangat kedua orang yang terlanjur mencintai batik Indonesia ini untuk terus mempromosikannya. [uh/ab]