HAMDEN, CONNECTICUT —
Warga pesisir timur Amerika mendapati wilayah mereka diterpa salju sejak akhir pekan dan secara kolektif mendokumentasikan pengalaman mereka dalam beragam media sosial yang muncul dalam dekade terakhir. Facebook, Twitter dan teknologi-teknologi lainnya membuat rasa terisolasi semakin tidak terasa, bahkan saat warga terperangkap sendirian di rumah.
“Lucunya, saya mengecek Instagram dulu bahkan sebelum saya melongok keluar jendela,” ujar Eric Witz, yang tinggal di Medford, Massachusetts.
Pada Sabtu (9/2), Witz mengunggah foto mobilnya yang tertimbun salju setinggi 1,8 meter.
“Saya dan telepon saya tidak terpisahkan. Jadi mengecek telepon merupakan sesuatu yang secara otomatis saya lakukan ketika bangun tidur. Kedengarannya klise dan menyedihkan, tapi itulah yang terjadi,” ujarnya.
Saat mereka di pesisir timur laut mengunggah foto anak-anak meluncur di atas salju di Central Park dan warga mengeruk timbunan salju, mereka yang di pantai barat menggoda dengan memasang foto-foto cuaca cerah dan pohon palem.
Badai salju besar terakhir terjadi pada 1978, tak hanya tanpa media sosial, tapi juga tanpa saluran televisi khusus cuaca yang memberi peringatan. Bahkan cara kita mendapat informasi telah berubah pada dua tahun terakhir, dengan perubahan dari pesan teks ke foto dan video dari telepon pintar.
Kathy Tracy mengatakan ia memantau Twitter dan liputan berita untuk tetap mendapat informasi. Ia juga mengikuti seorang meteorolg di Facebook dan menerima berita terbaru dari CNN, Wall Street Journal dan saluran berita lainnya dari telepon pintar.
Menurutnya, informasi yang didapat dari ujung jarinya membantunya bisa menjalani keterperangkapan di rumah sambil menunggu truk membersihkan timbunan salju di wilayah tempat tinggalnya.
“Saya tidak perlu duduk-duduk menunggu berita jam enam untuk mengetahui apa yang terjadi,” ujarnya.
Di Facebook, status-status mengenai ketinggian salju dan sekolah yang libur terus bermunculan. Di Instagram, tagar “Nemo” (nama tidak resmi badai salju yang digunakan oleh saluran cuaca) digunakan lebih dari 580.000 kali untuk menggambarkan foto mereka pada Minggu (10/2), menurut Venueseen, perusahaan kampanye pemasaran.
“Saya suka Instagram karena memberikan pengalaman yang lebih personal dan segera dalam waktu yang sedang berjalan,” ujar Witz.
Menurut Steve Jones, profesor yang mempelajari budaya dan komunikasi daring di University of Illinois, Chicago, adalah orang-orang sekarang ini tidak begitu banyak membagi informasi dibandingkan membagi foto dan video.
“Anda mendapat perspektif yang berbeda dibandingkan hanya dari kata-kata,” ujarnya.
Ranvir Gujral, salah satu perusahaan konten situs dan aplikasi bergerak Chute, mengatakan, “kita tengah berada dalam revolusi visual.”
Banyak sekali aplikasi telepon yang mendorong pengambilan foto, ujar Gujral.
Yang hilang saat ini, menurut Jones, adalah bertemu dengan orang di dunia nyata, membagi momen di tengah terjadinya banyak peristiwa. (AP/Barbara Ortutay)
“Lucunya, saya mengecek Instagram dulu bahkan sebelum saya melongok keluar jendela,” ujar Eric Witz, yang tinggal di Medford, Massachusetts.
Pada Sabtu (9/2), Witz mengunggah foto mobilnya yang tertimbun salju setinggi 1,8 meter.
“Saya dan telepon saya tidak terpisahkan. Jadi mengecek telepon merupakan sesuatu yang secara otomatis saya lakukan ketika bangun tidur. Kedengarannya klise dan menyedihkan, tapi itulah yang terjadi,” ujarnya.
Saat mereka di pesisir timur laut mengunggah foto anak-anak meluncur di atas salju di Central Park dan warga mengeruk timbunan salju, mereka yang di pantai barat menggoda dengan memasang foto-foto cuaca cerah dan pohon palem.
Badai salju besar terakhir terjadi pada 1978, tak hanya tanpa media sosial, tapi juga tanpa saluran televisi khusus cuaca yang memberi peringatan. Bahkan cara kita mendapat informasi telah berubah pada dua tahun terakhir, dengan perubahan dari pesan teks ke foto dan video dari telepon pintar.
Kathy Tracy mengatakan ia memantau Twitter dan liputan berita untuk tetap mendapat informasi. Ia juga mengikuti seorang meteorolg di Facebook dan menerima berita terbaru dari CNN, Wall Street Journal dan saluran berita lainnya dari telepon pintar.
Menurutnya, informasi yang didapat dari ujung jarinya membantunya bisa menjalani keterperangkapan di rumah sambil menunggu truk membersihkan timbunan salju di wilayah tempat tinggalnya.
“Saya tidak perlu duduk-duduk menunggu berita jam enam untuk mengetahui apa yang terjadi,” ujarnya.
Di Facebook, status-status mengenai ketinggian salju dan sekolah yang libur terus bermunculan. Di Instagram, tagar “Nemo” (nama tidak resmi badai salju yang digunakan oleh saluran cuaca) digunakan lebih dari 580.000 kali untuk menggambarkan foto mereka pada Minggu (10/2), menurut Venueseen, perusahaan kampanye pemasaran.
“Saya suka Instagram karena memberikan pengalaman yang lebih personal dan segera dalam waktu yang sedang berjalan,” ujar Witz.
Menurut Steve Jones, profesor yang mempelajari budaya dan komunikasi daring di University of Illinois, Chicago, adalah orang-orang sekarang ini tidak begitu banyak membagi informasi dibandingkan membagi foto dan video.
“Anda mendapat perspektif yang berbeda dibandingkan hanya dari kata-kata,” ujarnya.
Ranvir Gujral, salah satu perusahaan konten situs dan aplikasi bergerak Chute, mengatakan, “kita tengah berada dalam revolusi visual.”
Banyak sekali aplikasi telepon yang mendorong pengambilan foto, ujar Gujral.
Yang hilang saat ini, menurut Jones, adalah bertemu dengan orang di dunia nyata, membagi momen di tengah terjadinya banyak peristiwa. (AP/Barbara Ortutay)