Gejala malaria, yang menjangkiti sekitar 200 juta orang setiap tahun, tidak spesifik. Itu berarti demam, sakit, nyeri dan menggigil pada tahap awal bisa risalah-diagnosa sebagai sejumlah infeksi lain.
Jadi peneliti menginginkan tes yang dengan cepat dan akurat mendiagnosa malaria, sehingga pengobatan yang tepat dapat dimulai, meningkatkan kemungkinan pasien bertahan hidup, dan membantu mencegah penyebaran penyakit ini.
Tes darah, yang dikembangkan oleh para periset di Stanford University di California, mengidentifikasi pola kebangkitan sistem kekebalan tubuh untuk menentukan apakah seseorang terjangkit parasit malaria, bakteri atau virus.
Tes mencari gen mana yang dihidupkan dan dimatikan, tergantung pada jenis infeksinya.
Profesor kodokteran Universitas Stanford, Purvesh Khatri dan rekannya membantu mengembangkan tes biomarker, yang konon 96 persen akurat.
“Jadi tes seperti yang kami lakukan berguna, tes darah yang bisa dilakukan yang tidak memerlukan teknisi dan lebih sensitif daripada tes diagnostik cepat yang kita miliki sekarang," kata Purvesh Khatri.
Khatri mengatakan bahwa tes itu tidak terlalu akurat, karena mencari molekul yang disebut antigen, yang mengaktifkan respon kekebalan terhadap infeksi malaria.
"Dan masalahnya dengan yang ada itu tidak cukup peka. Jadi pengobatan kemudian seharusnya tidak memadai dan mungkin akan memakan waktu sebelum malaria didiagnosa," jelasnya.
Penelitian Khatri menggunakan data dari 40 penelitian yang melibatkan lebih dari 3.000 sampel darah dari pasien dengan berbagai infeksi. Beberapa diketahui menderita malaria. Tapi ada juga penyakit tropis lainnya yang diamati dalam penelitian, termasuk demam berdarah, tipus dan leishmaniasis.
Dari studi darah tersebut, peneliti menganalisa pengaktifan 2.100 gen berbeda, untuk mengetahui mana yang dinyalakan dan mana yang dimatikan dengan infeksi parasit, virus dan bakteri.
Khatri mempaparkan temuannya pada pertemuan Kongres Eropa tentang Mikrobiologi Klinik dan Penyakit Menular,menjelang Hari Malaria Sedunia. [ps/al]