Pemerintah Thailand hari Minggu (14/2) membela keputusannya untuk tidak bergabung dengan program vaksin virus corona yang disponsori WHO, dengan mengatakan bergabung dengan COVAX membuat negara itu berisiko membayar lebih banyak untuk pengadaan vaksin dan menghadapi ketidakpastian waktu pengiriman.
Sejumlah politisi dari kelompok oposisi dan demonstran telah mengkritisi kurangnya transparansi dan kelambanan pemerintah dalam pengadaan vaksin. Meskipun negara berpenduduk 66 juta jiwa itu memiliki jumlah kasus dan korban meninggal akibat virus corona yang rendah, negara itu juga menghadapi gelombang kedua perebakan virus mematikan itu.
Para pekerja medis di garis depan akan mulai menerima dua juta vaksin Sinovac asal China dalam waktu satu bulan, tetapi vaksinasi massal untuk warga belum akan dimulai hingga produksi lokal dosis AstraZeneca siap pada bulan Juni nanti.
Menanggapi laporan media bahwa Thailand adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tidak bergabung dengan aliansi COVAX-WHO, juru bicara pemerintah Anucha Buraphachaisri mengatakan berdasarkan program itu, Thalai sebagai negara berpendapatan menengah tidak berhak menerima vaksin yang murah atau gratis. “Membeli vaksin secara langsung dari pabrik merupakan pilihan yang layak, dan lebih fleksibel,” ujar Anucha.
Ditambahkannya, “Jika Thailand ingin bergabung dengan program COVAX, kami harus membayar dengan anggaran tinggi dan juga ada risiko” yaitu memberikan pembayaran di muka tanpa mengetahui sumber vaksin dan tanggal pengiriman. Ia tidak merinci biaya yang harus dikeluarkannya.
Secara keseluruhan ada 190 negara yang sudah bergabung dengan COVAX, yang bertujuan untuk memastikan akses yang setara pada masa pandemi ini. Skema itu dikelola bersama oleh aliansi GAVI, WHO, Koalisi Untuk Inovasi Kesiapsiagaan Epidemi CEPI dan UNICEF. Thailand sejauh ini belum menerima atau memproduksi vaksin apapun, meskipun banyak negara tetangganya sudah memulai vaksinasi massal.
Thailand hari Minggu ini (14/2) melaporkan 166 kasus baru virus corona, menambah total kasus menjadi 24.571 dan angka kematian mencapai 80 orang. [em/jm]