Sri Sulistyani, seorang guru di SMAN Balung, Jember, Jawa Timur, tidak menyangka jika hal-hal kecil yang diajarkannya kepada para siswa di sela-sela mata pelajaran matematika yang menjadi fokusnya, bakal dilirik dan bahkan membuatnya didaulat menjadi salah satu pembicara dalam peringatan Hari Guru Internasional yang diselenggarakan secara virtual oleh UNESCO di Paris, hari Senin (5/10).
“Saya tidak menyangka karena saya kira kebiasaan berbuat baik sebenarnya dapat dimulai dari hal-hal kecil, mulai dari diri sendiri, teman, keluarga hingga lingkungan yang lebih besar,” ujar Sulis ketika diwawancarai VOA melalui telpon Senin malam (5/10).
Namun hal inilah yang justru menarik perhatian UNESCO, yang mengundangnya berbicara dalam peringatan tahun 2020, yang kali ini bertema “Guru: Memimpin dalam Krisis, Menata Kembali Masa Depan.”
Dalam sambutannya ketika memperkenalkan Sri Sulistyani, Direktur Divisi Kebijakan dan Sistem Pembelajaran Seumur Hidup UNESCO Borhene Chakroun menyebutnya sebagai “salah seorang dari jutaan pahlawan tanpa tanda jasa” yang pada masa pandemi ini meningkatkan peran mereka, tidak saja bagi siswa bimbingannya, tetapi juga keluarga dan masyarakat.
“Sri Sulistyani bekerja di SMAN Balung, di pinggiran Jember, Jawa Timur, Indonesia. Pada masa pandemi, guru yang bertutur kata lemah lembut ini telah menunjukkan kepemimpinannya di dalam komunitasnya dengan cara yang tidak terhitung banyaknya. Ia tidak saja mengajar di sekolahnya dan menunjukkan dukungan pada komunitasnya dengan mengembangkan kebun, tetapi juga menjadikan rumahnya sebagai tempat berlindung anak-anak perempuan,” papar Chakroun.
Mengajar Kebaikan Lewat Kebiasaan
Sri Sulistyani memang tidak sekadar mengajar siswanya dengan pelajaran matematika, tetapi juga budi pekerti. “Cukup dengan cara yang sederhana tapi mengena,” ujarnya. “Mengajar kebaikan lewat kebiasaan,” tambahnya lagi.
“Indonesia memiliki ajaran-ajaran budi pekerti yang sangat luar biasa. Semuanya ada dalam Pancasila, yang sudah kita pelajari bersama sejak masih kecil dulu. Tapi pada tahun 2018 saya mencoba menerapkan cara lain supaya anak-anak tidak sekadar belajar, tetapi terbiasa menerapkannya dalam keseharian mereka. Pertama, saya minta mereka melakukan kebaikan pada diri sendiri. Ketika pertama kali saya sampaikan, anak-anak bertanya, lho kok pada diri sendiri? Saya jawab, jika kita tidak bisa melakukan hal baik pada diri sendiri, bagaimana dapat melakukannya pada orang lain?” ujar Sulis.
“Saya bukan tipe orang yang percaya dengan istilah “jadilah lilin yang rela hancur demi menerangi dunia.” Menurut saya, kita harus bisa berbuat baik dan menghargai diri sendiri dulu, baru dapat melakukan yang lebih baik bagi orang lain. Ini dimulai dari hal yang kecil-kecil. Saya usulkan pada anak-anak misalnya dengan minum delapan gelas air putih setiap hari, atau olahraga, atau ibadah yang rajin, atau membeli coklat setelah berhasil mengerjakan tugas sekolah. Seru-seruan tapi mereka gembira. Setelah itu baru saya ajak ke tahap kedua, berbuat pada anggota keluarga yang tinggal serumah,” tuturnya.
Siswa berlomba menunjukkan pada Sri tentang kebaikan yang dilakukan pada anggota keluarga di rumah, mulai dari membersihkan rumah, memasak, mencuci piring atau baju, merawat adik dan mengajarkan pekerjaan rumah tangga, merawat ibu atau nenek yang menderita stroke dan lain-lain. “Setelah itu di tahap ketiga saya mengajak siswa berbuat baik pada orang yang tidak satu rumah, yaitu pada teman, guru, tetangga. Karena sudah terbiasa melakukan kebaikan-kebaikan sebelumnya, mereka jadi menemukan banyak cara kreatif lain untuk berbuat baik. Ada yang membonceng kawan ke sekolah, ada yang menjaga keamanan sekolah, ada yang memastikan kelas bersih sebelum pelajaran dimulai. Ini luar biasa!,” ujarnya bersemangat.
Sulis kemudian mengajak siswa ke tahap lain, yaitu berbuat baik pada orang yang sama sekali tidak dikenal, tanpa memandang latar belakang, suku, agama, ras, tingkat ekonomi, dan lain-lain.
“Ada yang membantu orang menunjukkan arah jalan, ada yang membantu orang menyebrangi jalan yang sibuk, ada yang menolong ibu-ibu yang membawa belanjaan yang berat, ada yang menolong parkir kendaraan, hingga ke skala yang lebih besar. Mereka saling sharing dan hal ini memperkaya pilihan untuk berbuat baik,” tambahnya.
Ini dilakukan Sulis secara terus menerus sehingga tumbuh kepekaan dan spontanitas untuk melakukan kebaikan. “Jangan sampai ada delay! Kita harus latihan terus sehingga ada spontanitas, ada kepekaan, tidak ada perasaan terlambat. Waduh coba yaa tadi aku bantu dia, lalu menyesal. Kita bisa membuat perubahan!” tegas Sulis.
UNESCO memilih Sri Sulistyani setelah sebelumnya menjadi pembicara dalam webinar yang digagas Yayasan Cahaya Guru untuk memperingati Hari Pancasila 1 Juni. Yayasan Cahaya Guru menilai Sulis tepat menjadi pembicara dalam peringatan Hari Guru Internasional di UNESCO karena keunikan caranya mengajar kebaikan lewat kebiasaan, terutama nilai-nilai Pancasila.
Dirikan Gerakan Perlindungan Perempuan, Pasar Kita & LBH Jentera Perempuan
Sebelum menggeluti dunia pendidikan, Sri Sulistyani memang sudah malang melintang dalam isu-isu pemberdayaan dan perlindungan perempuan. Bersama sejumlah teman, pada tahun 2000 ia mendirikan Gerakan Peduli Perempuan yang bertujuan memberdayakan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT. “Banyak perempuan menjadi korban karena mereka sangat tergantung secara ekonomi pada pasangan hidupnya,” tuturnya.
Ia kemudian mendirikan “Pasar Kita,” yaitu semacam market-based-online yang digerakkan lewat WhatsApp Group.
“Ada 32 grup yang kami buat, bahkan sampai ke tingkat kecamatan. Ada khusus grup perkulakannya juga. Kami mengajak kaum perempuan berani mengambil keputusan, termasuk dalam hal keuangan. Sehingga akhirnya mereka juga terbiasa mengambil keputusan untuk hidupnya sendiri. Dari grup yang anggotanya lebih dari 2.000an orang ini, masih ada saja yang mengadukan kasus-kasus KDRT, bahkan kekerasan seksual. Ada yang dialami sendiri, dialami anggota keluarga, teman atau tetangga. Ini semua mendorong saya mengumpulkan teman-teman yang memiliki latar belakang hukum, berpengalaman menjadi para-legal, dan pengacara-pengacara perempuan,” ujarnya bersemangat.
Sri Sulistyani kemudian mendirikan LBH Jentera Perempuan, yang memusatkan perhatian pada kasus-kasus yang melibatkan perempuan dan anak perempuan, untuk didampingi secara hukum dan non hukum. “Semuanya kami layani secara gratis, legal atau sosial. Semuanya didanai dari donasi yang kami dapat dengan menjual baju sumbangan anggota LBH ini,” ujarnya.
LBH Jentera Perempuan juga membantu siswa perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual di dalam dan luar sekolah, hingga soal kehamilan yang tidak dikehendaki. “Ini semakin penting pada masa pandemi ini karena justru dengan tinggal di rumah, sekolah di rumah dan melakukan aktivitas di rumah, semakin banyak pula kekerasan yang terjadi. Sekarang ini saya mulai membuka pelayanan konseling online, pengaduan siswa yang menghadap kekerasan di rumah, baik yang terkait pembelajaran, maupun kekerasan seksual. Kami sering juga mendapat rujukan dari sekolah atau komunitas lain,” tambahnya.
Tak jarang Sulis menampung anak perempuan korban kekerasan seksual, hingga remaja yang hamil di luar nikah. “Kadang orang bertanya, mengapa masih ditampung ketika sudah hamil tujuh bulan, atau tidak jelas usulnya. Saya justru bertanya kembali, jika bukan kita, lalu siapa?,” ujarnya lirih.
Sulis mengakui kesulitan pada masa pandemi kian memuncak, “tetapi dengan senantiasa berbuat baik, kita dapat bersama-sama melewati masa sulit ini,” ujarnya menutup wawancara dengan VOA. [em/pp]