Tim dari beragam latar belakang dan ilmu yang tergabung dalam tim “Ekspedisi Poso” ini memulai perjalanan untuk menelusuri keanekaragaman alam, budaya dan potensi bencana di jalur sesar Poso Barat, di bagian barat Danau Poso, Sulawesi Tengah. Perjalanan yang dimulai hari Kamis (16/5) ini juga melibatkan sejumlah budayawan dan tokoh adat Poso, pegiat lingkungan, juga mereka yang ada di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Poso.
Ekspedisi Poso itu, menurut Lian Gogali selaku ketua tim, adalah kolaborasi pengetahuan dan pengalaman diantara akademisi dengan berbagai latar belakang ilmu dengan masyarakat yang memiliki pengetahuan lokal. Karena itu, bukan hanya meneliti material tanah, batu, air, mahluk hidup danau dan vegetasi tanaman, tetapi juga fenomena alam yang terjadi di sekitar desa dan cerita-cerita rakyat yang ada.
Dihubungi melalui telepon, Lian Gogali mengatakan kegiatan itu dilakukan berdasarkan permintaan sekelompok warga masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Penjaga Danau Poso yang gelisah dengan masifnya kegiatan pembangunan di Poso yang dinilai tidak bersahabat dengan lingkungan. Juga penataan ruang yang tidak mempertimbangkan bahwa di wilayah itu ternyata terdapat Sesar Poso Barat.
“Jadi selama ini masyarakat itu banyak yang tidak tahu bahwa mereka itu hidup di atas patahan. Nah sementara pembangunan terus dilakukan dan pembangunan itu sangat tidak bersahabat dengan alam, baik dalam bentuk konstruksinya maupun lokasinya, tata ruangnya juga tidak memikirkan bahwa kita hidup diatas patahan,” jelas Lian Gogali, Ketua Tim Ekspedisi Poso.
Dari 48 Sesar Aktif di Sulteng, Tiga Ada di Kabupaten Poso
Lian menyebutkan berdasarkan data Pusat Studi Gempa Nasional, dari 48 sesar aktif yang melintang di Sulawesi Tengah, ada tiga sesar – yakni Sesar Tokararu, Sesar Poso dan Sesar Poso Barat – yang melintang di kabupaten Poso. Beberapa gempa besar telah terjadi dalam kurun lima tahun terakhir. Yang terakhir gempa berkekuatan 5,7 SR pada 24 Maret 2019 lalu yang sumbernya dari sesar Poso Barat disekitar desa Toinasa.
Reza Permadi, pakar geologi yang juga humas “Ekspedisi Poso,” mengatakan penelusuran ini penting guna memperkuat mitigasi bencana di wilayah itu. Para ahli selama ini menganggap sesar Poso tidak aktif, hingga terjadinya gempa Magnitudo 5,7 SR pada 24 Maret 2019 silam.
“Kita mengenal, para peneliti juga mengenal, Sesar Poso itu sudah tidak aktif karena memang aktifitasnya telah berkurang, tetapi 24 Maret kemarin itu sempat banyak terjadi gempa-gempa kecil yang ada disekitar danau Poso di daerah Meko namanya, itu memberikan tanda kalau ternyata sesar Poso itu masih aktif,” ungkap Reza Permadi yang juga merupakan Ketua Geosaintis Muda Indonesia.
Reza Permadi mengakui data mengenai Sesar Poso Barat, Sesar Poso dan Sesar Tokaruru masih sangat terbatas. Oleh karena itu ekspedisi yang dilakukan diharap dapat menghasilkan temuan-temuan baru, termasuk menunjukkan lokasi sesar; sehingga tidak lagi ada bangunan yang dibagun di atas sesar ini.
Tokoh Adat Antusias Ikuti “Ekspedisi Poso”
Tokoh adat Christian Bontinge (64) mengaku sangat antusias mengikuti kegiatan “Ekspedisi Poso” yang dinilainya sangat penting untuk menjawab berbagai kegelisahan warga yang bermukim di sekitar danau Poso. Ia dan masyarakat pada umumnya tidak memiliki informasi yang cukup mengenai pergerakan sesar di wilayah itu.
“Menurut kami cukup penting karena kami di seputaran danau Poso ini, betul-betul kami tidak mengetahui persis bagaimana situasi alam kami. Ketika kami bergabung dengan beberapa ahli dari Jakarta, ahli geologi dan berapa ahli lain, ternyata sebetulnya ada sesar yang lewat di Danau Poso akibatnya ketika terjadi itu (gempa) kami sedikit takut karena kami belum tahu persis bagaimana keaktifannya (sesar) itu, apakah dia akan aktif terus atau hanya sewaktu-waktu, itu kami yang kami belum tahu,” ujar Christian.
Bupati Poso, Darmin Agustinus Sigilipu, memuji kegiatan “Ekspedisi Poso” yang dilakukan oleh para pihak yang sangat peduli dengan pembangunan di Poso.
“Contoh misalnya seperti Jepang. Jepang itu negara yang banyak sekali terjadi gempa yang luar biasa disana, dengan peneliti-peneliti yang banyak memberikan masukan-masukan kepada pemerintahnya sehingga bagaimana langkah yang harus diambil oleh Pemerintah oleh masyarakat apabila terjadi gempa dan lain sebagainya, itu tidak akan menimbulkan korban jiwa yang besar,” ujar Darmin.
Penelusuran “Ekspedisi Poso” Tak Untuk Menakuti Rakyat
Reza Permadi menegaskan Ekspedisi Poso tidak untuk menakut-nakuti masyarakat tapi justru untuk membangun kesadaran dan kewaspadaan masyarakat terkait potensi bencana alam akibat keberadaan sesar atau patahan bumi di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.
“Kenapa masyarakat mendukung itu, karena mereka tidak mau seperti di Palu kemarin. Di Palu itukan sebenarnya penelitian-penelitian sudah banyak dilakukan, pemerintah itu sudah tahu lokasi dimana Sesar Palu Koro tapi kok banyak pembangunan disana secara masif, perumahan-perumahan,” jelas Reza Permadi.
Reza Permadi mengungkapkan belajar dari peristiwa gempa bumi, tsunami dan likuifaksi di Palu, Sigi dan Donggala tahun lalu; telah muncul kesadaran masyarakat di sekitar Danau Poso siaga menghadapi potensi bencana gempa bumi dan tanah longsor yang tidak bisa diprediksi kapan akan terjadi. (yl/em)