Sejumlah pejabat Myanmar tiba di Bangladesh, Selasa (31/10) untuk bertemu dengan pengungsi Rohingya sebagai bagian dari skema repatriasi yang telah lama terhenti dan kini didukung oleh China, kata pihak berwenang.
Bangladesh menampung sekitar satu juta pengungsi Rohingya, yang sebagian besar melarikan diri dari tindakan keras militer Myanmar pada tahun 2017 yang kini menjadi sasaran penyelidikan genosida PBB.
Kelompok minoritas yang tidak memiliki kewarganegaraan dan teraniaya ini tinggal di kamp-kamp bantuan yang penuh sesak, berbahaya, dan kekurangan sumber daya. Beberapa upaya sebelumnya untuk menengahi kepulangan mereka telah gagal karena keengganan pihak Myanmar dan para pengungsi itu sendiri.
Tim pejabat Myanmar itu tiba di Teknaf, sebuah pelabuhan sungai tepat di seberang perbatasan mereka dengan Bangladesh, untuk bertemu dengan beberapa puluh keluarga Rohingya.
“Mereka akan membahas repatriasi dengan warga Rohingya hari ini dan memverifikasi identitas mereka,” kata Shamsud Douza, wakil komisaris pengungsi Myanmar, kepada AFP. “Para delegasi akan berangkat ke Myanmar hari ini tetapi akan kembali besok.”
Para pejabat Bangladesh mengatakan Myanmar berencana menerima kembali sekitar 3.000 pengungsi pada bulan Desember sebagai bagian dari skema repatriasi percontohan yang ditengahi dalam pertemuan tiga arah antara kedua negara itu dan China pada bulan April.
"Mereka siap menerimanya. Namun warga Rohingya belum siap untuk pergi. Itulah tantangannya," kata seorang pejabat pemerintah Bangladesh kepada AFP, yang berbicara tanpa mau disebutkan namanya.
Para pemimpin komunitas Rohingya telah lama mengatakan bahwa mereka hanya akan kembali jika mereka diberi kewarganegaraan dan dimukimkan kembali di tanah mereka sendiri.
“Kami tertarik untuk kembali ke negara kami jika Myanmar membawa kami kembali ke tempat asal kami, memberi kami martabat, dan memenuhi semua hak kami,” kata Khin Maung, seorang pemimpin terkemuka Rohingya, kepada AFP.
“Tapi kalau hak kami tidak diberikan, kami jadi bertanya-tanya,” ujarnya.
Orang-orang Rohingya secara luas dipandang di Myanmar sebagai penyelundup dari Bangladesh, meskipun sudah tinggal sejak berabad-abad yang lalu di negara Asia Tenggara tersebut, dan mereka tidak memiliki kewarganegaraan setelah Myanmar berhenti mengakui kewarganegaraan mereka pada tahun 2015.
Kekerasan adalah fakta kehidupan di kamp-kamp tersebut, di mana kelompok-kelompok bersenjata saling bersaing untuk menguasai wilayah.
Malnutrisi juga tersebar luas, dan badan pangan PBB mengatakan kekurangan dana tahun ini telah memaksa mereka memotong jatah makanan hingga sepertiganya.
Situasi yang menyedihkan ini telah mendorong ribuan warga Rohingya melakukan perjalanan laut yang berbahaya dan sering kali mematikan ke negara-negara Asia Tenggara lain untuk melarikan diri dari kamp-kamp tersebut.
Rencana repatriasi yang disepakati pada tahun 2017 gagal mencapai kemajuan signifikan pada tahun-tahun berikutnya, sebagian karena kekhawatiran bahwa warga Rohingya tidak akan aman jika mereka kembali. [ab/uh]
Forum