NAIROBI, KENYA —
Menurut laporan yang dikeluarkan minggu ini, tingkat aborsi di Kenya secara nasional, adalah 48 aborsi dalam setiap 1.000 perempuan, lebih tinggi dari hampir semua negara lainnya di Afrika.
Sebagian besar dilakukan secara tidak aman, seringkali dilakukan tanpa fasilitas kesehatan dan tanpa bantuan para petugas kesehatan yang terampil.
Akibatnya, sekitar 120.000 perempuan mencari perawatan untuk mengobati komplikasi akibat aborsi.
Dr. Elizabeth Kimani, dari Pusat Populasi Afrika dan Penelitian Kesehatan, mengatakan meskipun ada kekhawatiran tentang masalah keamanan ada keengganan di Kenya untuk mengatasi masalah tersebut.
Kimani mengatakan, “Saya kira masih banyak stigma mengenai kesehatan reproduksi dan aborsi.”
Kenya meringankan undang-undang aborsi dalam Konstitusi 2010 mengizinkan pejabat kesehatan kebebasan untuk menentukan kapan aborsi diperbolehkan.
Sebelumnya, tiga dokter harus menandatangani persetujuan aborsi jika itu diperlukan untuk menyelamatkan nyawa sang ibu.
Kimani menambahkan, karena terus adanya perlawanan terhadap aborsi, Kenya belum bisa meningkatkan fasilitas perawatan kesehatannya.
Sebuah laporan yang dikeluarkan tahun lalu oleh Komisi Nasional Kenya untuk HAM menemukan aborsi yang tidak aman telah mengakibatkan kematian ibu di Kenya hingga 50 persen.
Dikatakan beberapa cara yang tidak aman yang digunakan perempuan untuk mengakhiri kehamilan adalah menggunakan ramuan dari tanaman tradisional atau obat anti-malaria dosis tinggi. Cara lainnya dengan memasukkan benda-benda seperti jarum rajut ke dalam peranakan mereka.
Kimani mengatakan untuk sampai ke akar masalahnya, Kenya harus mencurahkan lebih banyak sumber daya pada masalah keluarga berencana.
"Awalnya orang mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki, itulah sebabnya dia menginginkan aborsi, jadi kita harus mengatasi masalah awalnya," kata Kimani.
Dr Kimani mengatakan penelitian itu menemukan 43 persen kehamilan di Kenya adalah tidak direncanakan.
Laporan itu menyimpulkan bahwa semakin banyaknya cara untuk mendapatkan alat kontrasepsi dan perawatan kesehatan reproduksi adalah kunci pencegahan aborsi yang tidak aman.
Sebagian besar dilakukan secara tidak aman, seringkali dilakukan tanpa fasilitas kesehatan dan tanpa bantuan para petugas kesehatan yang terampil.
Akibatnya, sekitar 120.000 perempuan mencari perawatan untuk mengobati komplikasi akibat aborsi.
Dr. Elizabeth Kimani, dari Pusat Populasi Afrika dan Penelitian Kesehatan, mengatakan meskipun ada kekhawatiran tentang masalah keamanan ada keengganan di Kenya untuk mengatasi masalah tersebut.
Kimani mengatakan, “Saya kira masih banyak stigma mengenai kesehatan reproduksi dan aborsi.”
Kenya meringankan undang-undang aborsi dalam Konstitusi 2010 mengizinkan pejabat kesehatan kebebasan untuk menentukan kapan aborsi diperbolehkan.
Sebelumnya, tiga dokter harus menandatangani persetujuan aborsi jika itu diperlukan untuk menyelamatkan nyawa sang ibu.
Kimani menambahkan, karena terus adanya perlawanan terhadap aborsi, Kenya belum bisa meningkatkan fasilitas perawatan kesehatannya.
Sebuah laporan yang dikeluarkan tahun lalu oleh Komisi Nasional Kenya untuk HAM menemukan aborsi yang tidak aman telah mengakibatkan kematian ibu di Kenya hingga 50 persen.
Dikatakan beberapa cara yang tidak aman yang digunakan perempuan untuk mengakhiri kehamilan adalah menggunakan ramuan dari tanaman tradisional atau obat anti-malaria dosis tinggi. Cara lainnya dengan memasukkan benda-benda seperti jarum rajut ke dalam peranakan mereka.
Kimani mengatakan untuk sampai ke akar masalahnya, Kenya harus mencurahkan lebih banyak sumber daya pada masalah keluarga berencana.
"Awalnya orang mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki, itulah sebabnya dia menginginkan aborsi, jadi kita harus mengatasi masalah awalnya," kata Kimani.
Dr Kimani mengatakan penelitian itu menemukan 43 persen kehamilan di Kenya adalah tidak direncanakan.
Laporan itu menyimpulkan bahwa semakin banyaknya cara untuk mendapatkan alat kontrasepsi dan perawatan kesehatan reproduksi adalah kunci pencegahan aborsi yang tidak aman.