Kepala Badan Nasional Penanggulangan terorisme (BNPT) yang sekaligus calon Kapolri Komjen Tito Karnavian membantah bahwa Detasemen Khusus 88 Anti Teror melakukan pelanggaran HAM dalam menindak tersangka teroris.
Tito menjelaskan polisi terpaksa menembak mati 121 orang karena situasi taktis di lapangan, yakni mereka bertindak membahayakan petugas dan masyarakat umum. Mengklaim telah menginterogasi lebih dari 500 tersangka teroris, Tito mengatakan teroris bermotif ideologi ini menjalankan doktrin istimata, yaitu bunuh diri.
"Ketika terjadi ancaman atau istilah PBB ancaman seketika dapat membahayakan petugas dan masyarakat umum, maka di pikiran kita cuma satu: bagaimana menghentikan ancaman itu hidup atau mati daripada mengancam diri sendiri," ujarnya.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat sempat mempertanyakan soal tewasnya 121 tersangka teroris sebelum diproses hukum.
Komnas HAM bahkan menyebut bahwa terduga teroris Siyono merupakan terangka teroris ke-121 yang ditembak mati sejak Detasemen Khusus 88 dibentuk.
Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-undang Terorisme DPR Muhammad Syafii termasuk yang meminta penjelasan kepada Tito mengenai hal itu, karena menurutnya, sudah mulai ada suara dari masyarakat umum bahwa Detasemen Khusus 88 adalah pembantai umat islam secara sistematis.
"Kami khawatir nanti makin berkembang Islam identik dengan teroris. kalau ini menjadi sebuah tagline di kepolisian, saya kira kehadiran Densus 88 sangat membahyakan bagi warga negara Indonesia mayoritas berpenduduk Islam," ujarnya.
Meski terkesan membela Densus 88 soal tewasnya 121 terduga teroris sebelum diproses hukum, Tito mengakui perlu peningkatan pengawasan lewat mekanisme yang ada saat ini, sehingga Densus 88 tidak menggunakan kekuatan berlebihan ketika berusaha melumpuhkan tersangka teroris.
Dia tidak setuju dengan usulan dalam RUU Terorisme mengenai pembentukan Dewan Pengawas Detasemen Khusus 88. Selain mekanisme yangada sekarang sudah mencukupi, pembentukan institusi baru itu bakal memboroskan anggaran.
Menurut Tito, pengawasan terhadap Densus 88 bisa dilakukan oleh Komisi Kepolisian Nasional, Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri serta Inspektur Pengawasan Umum Mabes Polri, sementara itu dari luar Polri ada Komnas HAM.
"Mekanisme yang ada sudah ada jika berprinsip pada penghematan anggaran, kita harus menghemat anggaran kita, pemerintah berusaha menyederhanakan dengan mengurangi instansi-instansi yang tidak perlu. Tidak perlu dibuat karena akan menambah beban anggaran pemerintah," ujarnya.
Usulan pembentukan Dewan Pengawas Operasi Penanganan Terorisme muncul karena banyak desakan agar penanganan terorisme mengedepankan hak asasi manusia. [ab]