Sodikin hanya bagian kecil dari urat nadi yang setiap hari berdenyut di jalur Pantai Utara Jawa atau Pantura. Dia adalah tukang parkir di salah satu rumah makan di Pekalongan, Jawa Tengah. Hanya beberapa kilometer di selatan jalur ini, jalan tol trans Jawa mulai digunakan pada Jumat (21/12).
Mungkin, dalam beberapa bulan ke depan mobil yang berhenti untuk makan di sana mulai berkurang. Demikian pula uang parkir yang dikumpulkan Sodikin. “Ya, sedih juga kalau jadi sepi. Semoga meskipun ada tol, Pantura tetap ramai,” ujar nya kepada VOA.
Tak jauh dari pintu tol Pejagan, Brebes, Cariyah menjajakan telur asin di warung kecilnya. Tumpukan bawang merah teronggok tak jauh dari pintu. Tol Pejagan telah beroperasi sejak 2010, dan Cariyah mengaku warungnya tetap ramai oleh pengguna jalan tol yang membeli telur asin atau bawang merah, oleh-oleh khas Brebes.
“Tergantung keramaiannya, kalau nanti pas liburan Natal dan Tahun Baru bisa sampai seribu butir telor saya jual setiap hari. Kalau di hari-hari biasa, lakunya 300 sampai 400 butir. Ini melayani orang-orang yang keluar masuk tol,” kata Cariyah.
Kisah Sodikin dan Cariyah adalah gambaran apa yang terjadi ketika jalan tol baru diresmikan. Banyak pihak khawatir, pengguna jalan yang melaju cepat tak sempat lagi mampir. Kota-kota kecil di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur ditakutkan akan terdampak secara bisnis.
Jokowi Isyaratkan Operasi Jalan Tol Tidak Berdampak Negatif Bagi Usaha Kecil
Tidak salah jika kemudian Presiden Joko Widodo menyempatkan diri mampir di tempat istirahat (rest area) kilometer 597 Tol Trans Jawa di Magetan, Jawa Timur pada Kamis (20/12) lalu.
Dalam video yang diunggah di akun media sosialnya, Jokowi memamerkan sejumlah menu makanan lokal yang bisa disantap pengguna jalan. Jokowi seolah ingin berpesan, jalan tol yang menghubungkan Jakarta dan Surabaya sepanjang 760 kilometer ini tidak berdampak negatif bagi usaha kecil.
“Pagi hari ini saya mencoba jalan tol dari Surabaya-Jakarta, berhenti di KM 597 Kabupaten Magetan. Yang saya senang di rest area ini dijual brand-brand lokal, dijual makanan-makanan lokal yang enak-enak. Ini ada sate Ponorogo, ada pecel Madiun, kemudian juga ada produk lokal roti Bluder Cokro, ini enak sekali. Ini juga ada karak,” kata Jokowi via Vlog.
Pada Kamis lalu, Jokowi dan rombongan menjajal tol Trans Jawa menggunakan bus Damri. Mereka memulai perjalanan dari Surabaya melewati Mojokerto, Kertosono, Ngawi, Sragen, Solo, Salatiga, Semarang, hingga perbatasan Kendal dan Batang. Total jarak yang ditempuh sekitar 380 kilometer dengan laju kecepatan hingga 90 kilometer per jam.
Indonesia akan membutuhkan jalan tol sepanjang 1.150 kilometer untuk menghubungkan Merak di ujung barat hingga Banyuwangi di ujung timur Pulau Jawa. Hingga saat ini, jalan yang sudah terbangun dari Merak hingga Pasuruan sepanjang 933 kilometer. Proses pembangunannya dilakukan sejak 1978 hingga akhir tahun ini.
Sepanjang 242 kilometer dibangun periode 1978-2004, kemudian 75 kilometer dibangun pada 2005-2014, dan 616 kilometer dibangun periode 2015-2018. Sisa Pasuruan-Banyuwangi sepanjang 217 kilometer direncanakan akan selesai pada 2021. “Rampungnya jalan tol ini saya harapkan memiliki efek terhadap perekonomian, terutama untuk kawasan industri dan kawasan ekonomi khusus,” kata Jokowi dalam pernyataan resminya.
Jalan Tol Trans Jawa Kurangi Beban Pantura
Tol Trans Jawa memang bermakna besar bagi pengguna jalan untuk membelah pulau ini. Perjalanan kini dapat dihemat berjam-jam, tergantung kota asal dan tujuan. Jalur Pantura yang padat, penuh dengan kendaraan besar, lampu merah, tumpukan kendaraan di pasar, hingga hilir mudik sepeda motor menghambat perjalanan. Jika beruntung, pemakai jalan bisa memacu kendaraan pada kecepatan rata-rata 50 kilometer per jam. Di jalan tol, kecepatan mobil bisa dipacu hingga rata-rata 90 kilometer per jam.
Agil Bani Hasyim, salah satu pengguna tol Trans Jawa kepada VOA mengatakan, perjalanan kali ini jauh lebih nyaman. “Jalannya bagus, cepat dan lancar. Secara keseluruhan, ya, nyamanlah untuk perjalanan jauh.”
Kepala Pusat Studi Transportasi dan Logistik, Universitas Gadjah Mada, Prof Nur Yuwono menyebut, tol Trans Jawa akan mengurangi beban jalur Pantura secara signifikan. Meski berbayar, biaya itu bisa disisihkan pengguna jalan dari pengurangan biaya bahan bakar karena mobil yang melaju lebih cepat dan lancar lebih hemat. Selain itu, pengguna jalan juga memperoleh manfaat lain yaitu penghematan waktu.
Dari sisi pemerintah, jalan tol ini akan memotong biaya pemeliharan jalur Pantura yang setiap tahun rusak karena tak mampu menahan beban kendaraan yang terlalu padat.
“Harapannya, jalan tol ini digunakan oleh masyarakat yang memang membutuhkan kecepatan tinggi, tetapi ada biaya tambahan, itu pertama. Kedua, jalur Pantai Utara ini jalannya setiap tahun kan rusak, akibat beban berat, karena dilalui oleh truk-truk dan kendaraan berat lainnya. Tol ini mampu mendukung beban berat itu. Dengan kehadiran tol ini, daerah-daerah sepanjang jalur Pantura yang bukan tol, masih bisa dilalui oleh kendaraan lain, tetapi dengan kepadatan yang jauh berkurang,” kata Nur Yuwono.
Jalur Pantura dibangun oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada 1808. Awalnya diberi nama Jalan Raya Pos, membentang dari Anyer hingga Panarukan. Tujuannya adalah menghubungkan kota-kota di Jawa sekaligus bagian dari strategi melawan serangan Inggris. Saat ini, hingga 70 ribu kendaraan diperkirakan melalui jalur ini setiap hari.
Dalam pandangan Nur Yuwono, tol Trans Jawa sebenarnya terlambat dibangun. Belanda sejak awal sangat menyadari peran penting infrastruktur transportasi sehingga jalan raya dan jalan kereta api menjadi salah satu prioritas. Sesudah Indonesia merdeka, kesadaran semacam ini pelan-pelan hilang. Jalur kereta api yang menghubungkan kota-kota di Jawa bukannya bertambah, bahkan banyak yang hilang.
Meskipun terlambat, Yuwono mendorong Presiden Jokowi untuk mengabaikan kritik pembangunan jalan dan terus mengejar ketertinggalan. Melalui Trans Jawa, misalnya, industri dapat dikembangkan ke daerah-daerah yang jauh dari perkotaan. Misalnya kawasan industri di Kabupaten Kendal yang akan sangat terbantu dengan kehadiran tol ini. Beban industri di kawasan sekitar Jakarta akan turun, seiring terbukanya akses ke daerah yang selama ini minim infrastruktur.
Terkait tol Trans Jawa, kata Yuwono, tantangannya adalah menata kebijakan agar usaha kecil seperti rumah makan dan makanan khas daerah, memiliki akses penjualan di area istirahat.
“Sudah waktunya jalan tol dimanfaatkan sepenuhnya untuk masyarakat lokal. Rest area itu harus menjual makanan yang khas daerah masing-masing, jangan diambil menu lain. Kalau disajikan dengan kualitas yang bagus, tentu akan sangat menarik,” kata Yuwono.
Jokowi sendiri mungkin sudah memahami, bahwa akan ada resiko bagi rumah makan dan pusat oleh-oleh di kota-kota yang selama ini dilewati jalur Pantura. Pilihannya untuk makan pecel Madiun dan Sate Ponorogo di area istirahat, adalah jawaban yang coba dia berikan. [ns/em]