Sebuah kalimat menyedihkan bergema ketika kerabat korban 9/11 berkumpul setiap tahunnya untuk mengenang kehilangan orang-orang yang mereka cintai dalam serangan teror tersebut. “Saya tidak pernah bisa bertemu denganmu.” Kalimat itu merupakan suara perubahan generasi di ground zero, lokasi di mana para kerabat membacakan nama-nama korban pada setiap peringatan serangan tersebut.
Hampir 3.000 orang tewas ketika para pembajak al-Qaeda menabrakkan empat pesawat jet ke menara kembar World Trade Center dan Pentagon, serta upaya untuk menabrakkan pesawat ke salah satu gedung pemerintah federal di Washington D.C yang berhasil digagalkan para penumpang pesawat dan membuat pesawat jatuh di sebuah lapangan di barat daya Pennsylvania pada 11 September 2001.
“Keluarga 9/11” Warisi Cerita dan Tanggung Jawab Besar
Sejumlah nama dibacakan oleh anak-anak atau anak muda yang lahir setelah serangan tersebut. Peringatan tahun lalu menampilkan 28 anak muda di antara lebih dari 140 pembaca. Anak-anak muda diharapkan kembali hadir pada peringatan tahun ini yang dijadwalkan pada hari Rabu (11/9).
Sebagian di antaranya adalah anak-anak korban yang pasangannya sedang hamil saat serangan teror itu terjadi. Lainnya adalah keponakan atau cucu para korban. Mereka mewarisi cerita, foto, dan rasa tanggung jawab yang besar.
Menjadi “keluarga 9/11” bergema dari generasi ke generasi. Memperingati serta memahami serangan 11 September kelak akan menjadi bagian dari dunia yang tidak memiliki ingatan langsung tentang peristiwa tersebut.
“Rasanya seperti meneruskan obor,” kata Allan Aldycki yang berusia 13 tahun. Dia membaca nama-nama kakeknya dan beberapa orang lainnya selama dua tahun terakhir, dan berencana untuk melakukannya pada Rabu mendatang. Aldycki menyimpan kenang-kenangan di kamarnya dari kakeknya, Allan Tarasiewicz, yang merupakan seorang petugas pemadam kebakaran.
Tahun lalu remaja ini mengatakan kepada para hadirin bahwa ia telah mendengar begitu banyak cerita tentang kakeknya sehingga ia merasa seperti mengenalnya, “Tetapi tetap saja, saya berharap saya memiliki kesempatan untuk benar-benar mengenalnya,” tambahnya.
Allan mengajukan diri untuk menjadi pembaca karena hal ini membuatnya merasa lebih dekat dengan kakeknya, dan dia berharap memiliki anak yang akan berpartisipasi.
“Merupakan suatu kehormatan untuk bisa mengajarkan mereka, karena Anda bisa memberi tahu tentang warisan dan apa yang tidak boleh dilupakan,” katanya melalui telepon dari New York. Dia mengatakan telah mengajarkan teman-temannya yang selama ini hanya mengetahui sedikit, atau bahkan tidak sama sekali, tentang peristiwa 9/11.
Ketika tiba waktunya untuk upacara, dia mencari informasi tentang kehidupan setiap orang yang namanya ditugaskan untuk dibacakan. “Dia merefleksikan segala sesuatu dan memahami pentingnya arti nama-nama tersebut bagi seseorang,” kata ibunya, Melissa Tarasiewicz.
Membaca Nama Korban, Mengenang dan Menghormati Pencapaian
Membacakan nama-nama korban tewas merupakan tradisi yang tidak hanya dilakukan di lokasi kejadian. Tugu peringatan perang untuk menghormati anggota militer yang gugur, juga kerap menjadi tempat di mana keluarga atau mereka yang mengenal dekat korban menyebut nama-nama mereka dengan lantang.
Beberapa organisasi Yahudi menyelenggarakan pembacaan nama-nama korban Holocaust pada hari peringatan internasional, Yom Hashoah. Nama-nama 168 orang yang terbunuh dalam pengeboman gedung federal di Oklahoma City pada 1995 juga dibacakan setiap tahunnya di tugu peringatan di Oklahoma City.
Sementara pada peringatan serangan teror 11 September, upacara dan pembacaan nama-nama korban tidak saja dilakukan di bekas lokasi menara kembar World Trade Center di New York, tetapi juga di Pentagon di mana 184 orang anggota militer tewas. Juga di Tugu Peringatan Nasional Penerbangan 93, di mana kerabat dan teman korban membacakan daftar 40 penumpang dan awak pesawat yang tewas di lokasi pedesaan dekat Shanksville, Pennsylvania.
Peringatan selama berjam-jam di Tugu Peringatan 9/11 di New York hampir secara eksklusif didedikasikan untuk 2.977 korban di ketiga lokasi tersebut, ditambah dengan enam orang yang terbunuh dalam pengeboman World Trade Center pada tahun 1993. Semua dibacakan oleh kerabat yang menjadi sukarelawan dan dipilih melalui undian.
Masing-masing diberi sebagian nama untuk dibacakan. Para pembaca juga biasanya berbicara secara singkat tentang kerabat mereka yang hilang, sering kali dengan detail yang menyentuh.
“Saya sering berpikir tentang bagaimana, jika Anda masih di sini, Anda akan menjadi salah satu teman terbaik saya, melihat-lihat kampus bersama saya, membantu saya menghadapi masalah dengan ayah dan ibu, bersantai di Pantai Jersey,” kata Capri Yarosz tahun lalu, bercerita tentang pamannya, Christopher Michael Mozzillo, seorang petugas pemadam kebakaran New York yang menjadi korban.
Yarosz, yang kini berusia 17 tahun, tumbuh dengan buku bayi buatan sendiri tentangnya dan keluarga yang masih menyebut nama pamannya itu dalam percakapan sehari-hari. “Chris pasti akan menyukainya” adalah ungkapan yang sering terdengar di sekitar rumah. Dia telah membaca dua kali di upacara tersebut.
“Ini sangat berarti bagi saya bahwa saya dapat menghidupkan nama paman saya dan terus membaca nama semua orang, sehingga lebih banyak generasi yang akan datang mengetahuinya,” ujarnya melalui telepon dari rumah keluarganya di New Jersey. “Saya merasa senang bahwa saya dapat mewariskan arti penting dari apa yang telah terjadi.”
Kedua adik perempuannya juga telah membacakan nama-nama para korban serangan teror 9/11, dan salah satu dari mereka bersiap untuk melakukannya lagi pada hari Rabu ini. Ibu mereka, Pamela Yarosz, tidak pernah bisa menguatkan diri untuk mendaftar.
“Saya tidak memiliki kekuatan itu. Terlalu sulit bagi saya,” kata Pamela Yarosz, yang merupakan saudara perempuan Mozzillo. “Mereka lebih berani.” Saat ini, banyak dari anak-anak korban 9/11 telah lama tumbuh dewasa, seperti Melissa Tarasiewicz, yang baru saja lulus dari sekolah menengah atas ketika ayahnya meninggal. Namun, sekitar 100 anak lainnya yang lahir setelah serangan itu kini telah beranjak dewasa.
“Meskipun kita tidak pernah bertemu, saya merasa terhormat membawa nama dan warisan Anda bersama saya. Saya berterima kasih kepada Anda karena telah memberikan saya kehidupan dan keluarga ini,” kata Manuel DaMota Jr. tentang ayahnya, seorang tukang kayu dan manajer proyek, dalam upacara tahun lalu.
Satu demi satu, para pembaca muda pada acara tersebut mengenang bibi, paman, paman buyut, kakek dan nenek yang dirindukan oleh anak-anak sepanjang hidup mereka.
“Sepanjang hidup saya, ayah saya mengatakan bahwa saya mengingatkannya pada Anda.” “Saya berharap Anda bisa mengajak saya memancing.” “Saya berharap saya memiliki lebih dari sekadar foto di bingkai… Meskipun saya tidak pernah bisa bertemu denganmu, saya tidak akan pernah melupakanmu.” [th/em]
Forum