Presiden Amerika Donald Trump menolak untuk mengonfirmasi bahwa ia bersedia mengalihkan kekuasaan secara damai jika tidak terpilih kembali dalam Pilpres 3 November, kalah dari Joe Biden, calon dari Partai Demokrat.
“Kita akan lihat apa yang terjadi,” ujar presiden menanggapi pertanyaan wartawan dalam konferensi pers di Gedung Putih, Rabu (23/9) malam. "Selama ini saya telah mengeluh sangat keras tentang surat suara dan surat suara itu adalah bencana," lanjutnya.
Trump, tanpa bukti, telah berulang kali memprediksi kecurangan besar pada puluhan juta surat suara, yang didorong Partai Demokrat di tengah pandemi virus corona.
“Kita hendak menyingkirkan surat suara itu,” kata Presiden. Ia menjelaskan, jika itu terjadi “tidak akan ada pengalihan (kekuasaan), terus terang, akan ada kelanjutan."
Menanggapi pernyataan Trump, mantan wakil presiden Joe Biden mengatakan, “Di negara mana kita ini? Dia mengatakan hal yang paling tidak rasional. Saya tidak tahu harus berkata apa."
Setidaknya satu rekan Trump dari Partai Republik, Senator Mitt Romney menyatakan kekhawatiran akan pernyataan presiden itu. “Hal mendasar bagi demokrasi adalah pengalihan kekuasaan secara damai. Tanpa itu, akan timbul apa yang terjadi di Belarus,” kata Romney di Twitter.
David Cole, direktur hukum nasional American Civil Liberties Union, salah satu kelompok hak konstitusional tertua di Amerika, mengatakan “Pengalihan kekuasaan secara damai sangat penting bagi jalannya demokrasi. Pernyataan presiden Amerika ini seharusnya menjadi keprihatinan setiap orang Amerika,” katanya.
Sebelumnya, Rabu (23/9), Trump mengatakan, pemilu November "akan berakhir di Mahkamah Agung” sehingga sangat penting baginya “untuk mempunyai sembilan hakim agung."
Presiden berencana mengumumkan calon hakim agung hari Sabtu untuk mengisi kursi Hakim Agung yang liberal Ruth Bader Ginsburg, yang meninggal pada Jumat (18/9) lalu.
Jika Senat mengukuhkan calon yang ditunjuk presiden sebelum pemilu, berarti hakim yang konservatif di mahkamah agung akan mayoritas, 6-3.[ka/ft]