Untuk pertama kalinya kelompok band metal asal Garut, Voice of Baceprot yang terdiri dari tiga perempuan berhijab, Marsya Firda Kurnia (vocal dan gitar), Widi Rahmawati (bas), dan Euis Siti Aisyah (drum), tampil di Washington, D.C. belum lama ini.
Konser ini merupakan bagian dari rangkaian tur ke 9 kota di AS yang bertajuk RETAS American Tour 2023, sekaligus mempromosikan album debut mereka yang berjudul “RETAS.”
Di Washington, D.C., Voice of Baceprot tampil di Union Stage, sebuah tempat konser yang bisa memuat 450 orang. VOA menemui mereka di belakang panggung setelah melakukan proses sound check.
Walau habis melalui perjalanan sekitar 5 jam dari New York ke Washington, D.C., ketiganya nampak tetap bersemangat, sambil sesekali bercanda satu sama lain.
“Yang pasti capek, itu enggak bisa bohong sih,” ujar Firda Marsya Kurnia yang akrab disapa Marsya kepada VOA.
“Tapi disamping itu juga senang. Hampir tiap hari kita manggung, ketemu audiens dan buat kita tuh manggung jadi semacam obat capeknya,” katanya lagi.
Rindu Kampung dan Seblak
Saat menginjakkan kaki di AS, Widi mengaku tidak memiliki bayangan apa pun, mengingat ia selalu sibuk latihan sebelum berangkat.
“Jadi aku enggak mikirin nanti di Amerika kayak gimana, enggak. Jadi yang aku pikirin cuman latihan, terus bawa bekalnya apa, udah itu aja,” ujarnya sambil tertawa.
Widi mengatakan, bekal seperti sambal dan mie instan pun tak pernah terlupakan saat tur keluar negeri.
Tiap kota di AS yang dikunjungi oleh Voice of Baceprot memiliki kesan tersendiri, khususnya yang identik dengan film-film Hollywood. Seperti tokoh Spiderman yang identik dengan kota New York.
“Karena kita bertiga kan memang suka nonton film gitu. Jadi setiap pindah kota tuh, ‘oh inget film ini,’” kata Marsya.
Salah satu tempat yang juga dituju saat berada di New York adalah Times Square, alun-alun yang menjadi salah satu tempat wisata tersibuk. Marsya mengaku sempat ‘syok.’
“Di pikiran aku tuh Times Square tuh yang kita kosong gitu,” kata Marsya sambil tertawa.
“Aku jadi takut hilang. Jadi aku tuh enggak jauh-jauh dari tim yang lain kan, karena kan terus, orangnya gede-gede. Jadi aku takut kesilep gitu, tiba-tiba salah pegang baju siapa gitu, takutnya gitu,” tambahnya.
Tur ke luar negeri kali ini bukanlah yang pertama kalinya untuk Voice of Baceprot. Sebelumnya mereka pernah melakukan tur ke Eropa tahun 2022 dan 2021. Namun, jauh dari tanah air ternyata kerap mendatangkan kerinduan tersendiri, seperti “makan bakso sama seblak.”
“Terus suasana kampung kalau aku,” kata Siti.
“Tapi aku senang sih tur kali ini aku sudah bisa beradaptasi sama makanan-makanan luar. Jadi sekarang aku lagi suka salad. Aku biasanya kan burger bisa dimakan dagingnya doang, apa sayurnya. Tapi tadia ku bisa makan habis sama rotinya,” tambah Siti sambil tertawa.
Terbiasa dengan makanan ala Amerika, Marsya pun bercerita mengenai menu sarapan yang sama setiap harinya, seperti scrambled egg atau telur orak-arik.
“Sampai kita tuh udah, ‘passwordnya apa?’ Selamat datang bisul,’ tiap makan scrambled egg,” ujarnya sambil bercanda.
Ragu Tak Ada Penonton
Awalnya tur ke Amerika kali ini sempat mendatangkan keraguan, karena takut tidak ada yang menonton. Namun, siapa yang menyangka kalau tidak hanya banyak penonton lokal AS dan Indonesia yang hadir, bahkan ikut menyanyi bersama. Hal ini menjadi penambah semangat bagi mereka untuk manggung di panggung yang selanjutnya.
Penonton AS, Matt dan Jeff Mooney pertama kali mendengar tentang Voice of Baceprot saat pendengar acara podcast mereka, "Subfacts" meminta untuk membuat video reaksi seputar band metal yang satu ini. Menurut mereka tanggapannya sungguh luar biasa, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menonton konsernya di Washington, D.C.
“Luar biasa! Fantastis! Saya sudah menonton banyak sekali konser dan ketika melihat (ketiga) perempuan ini, dan mereka telah (memberikan penampilan yang terbaik). Mereka sangat berbakat,” ujar Matt yang tinggal di negara bagian Virginia, sekitar 1 jam dari Washington, D.C.
“Saya harap mereka bisa menginspirasi lebih banyak orang, lebih banyak perempuan untuk melakukan hal ini,” kata Jeff Mooney yang juga berasal dari Virginia.
Tak sedikit yang juga rela untuk berkendara lebih dari 2 jam untuk menonton Voice of Baceprot, seperti Joe dan Lia yang berasal dari negara bagian Pennsylvania.
“Kami biasa menonton banyak pertunjukkan dan band yang belum pernah kami dengar sebelumnya, hanya karena kami suka pertunjukkan. Dan ketika kami melihat adanya representasi yang berbeda, kami pun datang,” kata Joe.
Salah satu konser yang paling berkesan dalam tur kali ini menurut mereka adalah saat tampil di Gramercy Theatre di New York, yang menurut Marsya paling banyak penonton.
“Antusiasme penontonnya sih luar biasa,” ujarnya.
Merasa Lebih Lepas
Satu hal yang menjadi tantangan bagi Voice of Baceprot saat tampil di luar negeri, khususnya di Amerika adalah menaklukan audiens dan keterbatasan Bahasa. Maka dari itu mereka selalu berusaha untuk mempersiapkan bahan pembicaraan saat diatas pangung terlebih dahulu.
“Karena kadang kala kitanya tegang kan, tiba-tiba lupa mau ngapain. Itu sering kejadian,” jelas Marsya.
Di lain sisi menurut Widi Rahmawati yang akrab disapa Widi, manggung di luar negeri rasanya lebih percaya diri, karena tidak tahu siapa penontonnya.
“Kalau di negara lain sih, maksudnya di luar Indonesia tuh kita ngerasanya kayak lebih lepas, karena kita enggak ada beban, karena kita datang sebagai orang baru. Kalau di Indonesia kita berasa ditonton tetangga,” tambah Marsya.
“Garut Pride”
Sebagai persiapan, untuk tur ke Amerika kali ini, Voice of Baceprot juga membawa beberapa pakaian khusus yang memiliki aksen tradisional Indonesia, seperti batik dan tenun garut.
“Ada beberapa yang memang aksen daerah, terus tetap dikemas pakai model yang lebih modern gitu,” jelas Marsya.
Di setiap panggung, Voice of Baceprot juga kerap bertemu dengan para penggemar asal Indonesia dan menyempatkan untuk foto bersama. Tak ketinggalan, yel-yel “Garut Pride,” serta bendera Indonesia pun ikut mewarnai konser Voice of Baceprot, yang berhasil membuat bangga para diaspora Indonesia yang hadir.
Satrio Adnan Hammami yang tinggal di negara bagian Maryland mengaku takjub dengan Voice of Baceprot.
“Yang memperkenalkan saya ke band ini adalah teman saya. Teman saya orang Amerika, dia orang putih. Terus saya sekarang akhirnya bisa nonton mereka live, saya benar-benar puas sih,” ujarnya.
Aktris sekaligus presenter, Enzy Storia yang kini tinggal di Washington, D.C. mengaku sangat bangga setelah menonton penampilan Voice of Baceprot untuk pertama kalinya.
“Aku ngeliatnya ada tiga cewek masih muda, berhijab, nyanyi lagu metal, rock, terus bagus banget main gitarnya, main basnya, main drumnya, gokil sih menurut aku,” ujarnya saat ditemui VOA.
Perjalanan antar kota yang melelahkan dan mencapai 5-10 jam biasanya dihabiskan oleh ketiga perempuan ini untuk beristirahat dan tidur, mengingat jadwal konser yang padat.
“Dengerin musik. Paling aku lihat pemandangan,” tambah Euis Siti Aisyah yang akrab disapa Siti.
Bawa Pesan Penting
Saat manggung di Washington, D.C. Voice of Baceprot yang terkenal kerap membawa pesan penting melalui lagu-lagunya, sempat mengungkapkan keprihatinan akan polusi udara Jakarta yang kian memburuk saat ini.
“Sepertinya ini juga terjadi di banyak kota besar di dunia ini,” kata Marsya saat berada di panggung.
“Mari kita rawat bumi kita sebisa mungkin dan menjadi penyelamat bumi ini,” tambahnya.
Kepada VOA, Marsya mengatakan bahwa para musisi memiliki audiens tersendiri dan apa yang mereka suarakan memiliki dampak yang besar, juga “kesempatan besar untuk didengar.”
Sehubungan dengan isu perubahan iklim, Voice of Baceprot juga menyelipkan pesan penting dalam lagu yang bertajuk “The Enemy of the Earth is You,” tanpa bermaksud mengajari.
“Justri kita pengin ngajak untuk ayo belajar bareng ini ada kesempatan buat kita belajar bareng sama pendengar kita. Buat lebih tahu nih, tentang bumi yang kita tinggalin tiap hari nih, udah kayak gimana sih? Gimana cara kita buat sama-sama bikin bumi kita tuh lebih panjang umurnya gitu,” jelas Marsya.
Hal ini juga mendorong mereka untuk bergabung dalam gerakan Music Declares Emergency. Ini merupakan gerakan yang mendeklarasikan darurat iklim dan upaya yang perlu dilakukan untuk menuju masa depan yang berkelanjutan.
Voice of Baceprot menjadi 1 di antara lebih dari 3.500 artis yang tergabung dalam gerakan ini, termasuk di antaranya Billie Eilish, Imogen Heap, dan 1975.
Sebagian besar lagu dari Voice of Baceprot juga ditulis berdasarkan pengalaman pribadi saat masih sekolah dulu. Lagu tersebut kebanyakan mengangkat berbagai isu termasuk sosial dan perempuan.
“Mungkin salah satunya adalah di lagu not public property. Lagu itu jadi kita tulis karena kita bertiga sama-sama penyintas kekerasan seksual, pelecehan seksual, dari situ kita coba untuk berdamai sama amarah dan ketidaknyamanan setelah kejadian itu lewat lagu “Not Public Property.” Jadi kita kayak punya sesuatu nih untuk nyalurin emosi kita,” kata Marsya.
“Pesan dalam musiknya, energy mereka sangat bagus,” ujar Jimmy, penonton asal Amerika yang datang dari negara bagian Pennsylvania.
Namun, membawa pesan penting atau mengangkat suatu isu ke dalam musik, terkadang juga menjadi tantangan. Mengingat umur mereka masih di awal 20an, menurut Marsya, banyak orang yang menganggap mereka ‘kurang kompeten.’
“Kurang pengalaman karena kan kita masih muda gitu. Yang susah itu adalah konsistennya. Jadi kan sebenarnya buat buktiin kalau apa yang kita suarakan ini adalah serius adalah dengan konsisten,” kata Marsya.
Tetapi hal ini tidak membuat mereka bertiga patah semangat dan saling mendukung satu sama lain, terlebih lagi ketika ada yang “oleng” dan ingin berhenti.
Yang terpenting bagi Voice of Baceprot dalam berkarya adalah harus selalu konsisten dan jangan pernah merasa rendah diri.
“Jangan terlalu fokus sama penilaian orang lain, terus jangan terlalu fokum sama tujuannya. Goalsnya tuh apa, tapi sama prosesnya aja dulu. Nikmati prosesnya,” pungkas Marsya. [di/dw]
Forum