Pada beberapa tahun terakhir ini, Perdana Menteri Mesir Recep Tayyip Erdogan telah memperluas pengaruh negaranya jauh di luar perbatasan. Dengan ledakan ekonomi dan kebijakan luar negeri berdasarkan "nol masalah" dengan para negara tetangga, strategi Erdogan untuk menggunakan kekuatan politik dan ekonomi yang lunak untuk memperluas pengaruh di Timur Tengah tampaknya berhasil.
Namun sekarang masalah-masalah menumpuk dan beberapa analis mengatakan periode pasca Arab Spring atau Kebangkitan Arab ini semakin meresahkan untuk Erdogan dan sekutu-sekutunya.
Masalah terbaru untuk partai Islamis yang berkuasa di Turki adalah jatuhnya hubungan antara Kairo dan Ankara sejak tergulingnya presiden Mohamed Morsi, presiden terpilih pertama di Mesir dari kelompok Ikhwanul Muslimin dan sekutu ideologis utama bagi PM Turki.
Partai Erdogan, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) menjadi panutan bagi Ikhwanul Muslimin saat terlibat dalam politik-politik elektoral.
Kudeta militer Morsi pada 3 Juli telah merusak apa yang telah muncul sebagai salah satu kemitraan terkuat dalam periode pasca Kebangkitan Arab.
"Mesir, negara utama Arab, dianggap sebagai pilar utama dalam strategi regional Turki untuk memproyeksikan ideologi Islamis dan pengaruh politiknya," menurut mantan pejabat Liga Arab senior Nassif Hitti.
Hubungan dekat antara Kairo dan Ankara sekaran usai. Pada 30 Juli, untuk kedua kalinya dalam bulan ini, Kementerian Luar Negeri Mesir memanggil duta besar Turki untuk mengeluhkan sikap intervensi Turki dalam urusan domestik Mesir.
Sebab kemarahan utama pemerintah Mesir, menurut para ahli, adalah kritik tajam terus menerus dari para pemimpin Turki atas penggulingan Morsi, yang menurut mereka adalah kudeta dan bukan ekspresi masyarakat populer. Erdogan telah menyampaikan banyak pidato yang mengecam kudeta militer terhadap Morsi dan menuntut pembebasannya.
Awal minggu ini, Erdogan mengecam Barat atas "respon lemah" terhadap tewasnya sejumlah demonstran pro-Morsi di Kairo awal bulan lalu. Para anggota Ikhwanul menuduh pasukan keamanan bertanggung jawab atas kematian mereka.
“Mereka yang tetap diam ketika kehendak nasional masyarakat Mesir dibantai sekarang diam lagi saat warga Mesir dibunuhi," ujarnya.
"Saya bertanya-tanya, di mana Eropa, dan apa yang terjadi dengan nilai-nilai Eropa? Di mana mereka yang berkeliaran memberi pelajaran tentang demokrasi di mana pun?"
Beberapa pengamat Barat mengatakan bahwa serangan-serangan Erdogan atas Barat sebagian adalah pembalasan dendam atas kritikan keras Amerika dan Eropa atas penindasan dari demonstrasi-demonstrasi baru-baru ini melawan AKP di Istanbul yang menewaskan beberapa demonstran.
Namun Hitti yakin kecaman Erdogan lebih merupakan ekspresi rasa putus asa atas masalah yang menimpa Turki.
"Penggulingan rezim Ikhwanul Muslimin di Mesir berakibat pada pukulan strategis dan ideologis terhadap Turki," ujarnya.
Masalah Regional
Konflik di Mesir datang pada saat yang tidak tepat bagi Erdogan dan ambisi-ambisi kebijakan luar negerinya. Perang saudara di Suriah telah mendorong suku Kurdi untuk merencanakan pendirian negara otonom Kurdi di timur laut Suriah. Turki, yang memiliki populasi Kurdi yang besar khawatir kelompok separatis Turki-Kurdi garis keras akan menggagalkan upaya pemerintah untuk membuat persetujuan damai dengan Abdullah Ocalan, pemimpin separatis Partai Pekerja Kurdistan di Turki yang dipenjara.
Sampai kejatuhan Morsi, AKP yang berkuasa sepertinya merupakan salah satu pemenang besar dalam Kebangkitan Arab. Kelompok-kelompok Islamis di Timur Tengah dan Afrika Utara, termasuk Libya dan Tunisia, melihat Turki sebagai contoh negara yang dikuasai Islamis namun juga demokratis. Hal itu memperluas pengaruh Turki.
Pemerintahan Erdogan selama ini handal dalam menggabungkan politik dan bisnis. Libya pasca Qadhafi merupakan contoh jelas bagaimana perusahaan-perusahaan Turki giat memainkan peran besar dalam membangun kembali negara itu.
"Jika ada delegasi atau pameran atau acara perdagangan, selalu ada kelmpok besar berisi orang-orang Turki dan mereka terus terang adalah yang menarik untung (di Libya)," ujar Richard Griffiths, presiden Kamar Dagang Amerika di Libya, yang memuji kehandalan Turki dalam menggabungkan politik dan bisnis.
Bagi AKP, Mesir merupakan mitra penting dalam kebijakan luar negeri yang lebih luas, sesuatu yang diakui oleh Menteri Luar Negeri Turki Ahmet Davutoglu. Pemerintah Erdogan telah berinvestasi tidak hanya dalam hal politik, namun juga secara finansial, dengan US$2 miliar dari berbagai bentuk bantuan, serta $250 juta dalam kredit untuk membantu Mesir membeli peralatan militer Turki.
Pemerintah Turki menandatangani lebih 30 perjanjian kerja sama dengan Mesir, mulai dari perdagangan, energi, teknologi sampai perbankan.
Pada 30 Juli, Ankara menyangkal laporan-laporan bahwa mereka menahan perjanjian kerja sama pertahanan dengan Mesir, namun tidak jelas apakah militer Mesir akan terus melakukannya jika Erdogan terus mencerca kudeta militer.
Analis Mustafa al-Labbad dalam tulisannya di surat kabar Lebanon, As-Safir, mengatakan bahwa "penguasa Mesir yang baru melihat Turki sebagai pesaing di wilayah itu, bukan mitra strategis."
Kerenggangan antara Ankara dan Kairo sepertinya akan melebar, ujar para analis, jika Erdogan terus mencela militer Mesir dan memilih untuk mengkonfrontasi mereka secara retoris. Hal ini pada akhirnya akan memberi peluang di Mesir bagi negara-negara Teluk yang menentang Ikhwanul Muslimin dan ingin membentuk situasi pasca Kebangkitan Arab semau mereka. (VOA/Jamie Dettmer)
Namun sekarang masalah-masalah menumpuk dan beberapa analis mengatakan periode pasca Arab Spring atau Kebangkitan Arab ini semakin meresahkan untuk Erdogan dan sekutu-sekutunya.
Masalah terbaru untuk partai Islamis yang berkuasa di Turki adalah jatuhnya hubungan antara Kairo dan Ankara sejak tergulingnya presiden Mohamed Morsi, presiden terpilih pertama di Mesir dari kelompok Ikhwanul Muslimin dan sekutu ideologis utama bagi PM Turki.
Partai Erdogan, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) menjadi panutan bagi Ikhwanul Muslimin saat terlibat dalam politik-politik elektoral.
Kudeta militer Morsi pada 3 Juli telah merusak apa yang telah muncul sebagai salah satu kemitraan terkuat dalam periode pasca Kebangkitan Arab.
"Mesir, negara utama Arab, dianggap sebagai pilar utama dalam strategi regional Turki untuk memproyeksikan ideologi Islamis dan pengaruh politiknya," menurut mantan pejabat Liga Arab senior Nassif Hitti.
Hubungan dekat antara Kairo dan Ankara sekaran usai. Pada 30 Juli, untuk kedua kalinya dalam bulan ini, Kementerian Luar Negeri Mesir memanggil duta besar Turki untuk mengeluhkan sikap intervensi Turki dalam urusan domestik Mesir.
Sebab kemarahan utama pemerintah Mesir, menurut para ahli, adalah kritik tajam terus menerus dari para pemimpin Turki atas penggulingan Morsi, yang menurut mereka adalah kudeta dan bukan ekspresi masyarakat populer. Erdogan telah menyampaikan banyak pidato yang mengecam kudeta militer terhadap Morsi dan menuntut pembebasannya.
Awal minggu ini, Erdogan mengecam Barat atas "respon lemah" terhadap tewasnya sejumlah demonstran pro-Morsi di Kairo awal bulan lalu. Para anggota Ikhwanul menuduh pasukan keamanan bertanggung jawab atas kematian mereka.
“Mereka yang tetap diam ketika kehendak nasional masyarakat Mesir dibantai sekarang diam lagi saat warga Mesir dibunuhi," ujarnya.
"Saya bertanya-tanya, di mana Eropa, dan apa yang terjadi dengan nilai-nilai Eropa? Di mana mereka yang berkeliaran memberi pelajaran tentang demokrasi di mana pun?"
Beberapa pengamat Barat mengatakan bahwa serangan-serangan Erdogan atas Barat sebagian adalah pembalasan dendam atas kritikan keras Amerika dan Eropa atas penindasan dari demonstrasi-demonstrasi baru-baru ini melawan AKP di Istanbul yang menewaskan beberapa demonstran.
Namun Hitti yakin kecaman Erdogan lebih merupakan ekspresi rasa putus asa atas masalah yang menimpa Turki.
"Penggulingan rezim Ikhwanul Muslimin di Mesir berakibat pada pukulan strategis dan ideologis terhadap Turki," ujarnya.
Masalah Regional
Konflik di Mesir datang pada saat yang tidak tepat bagi Erdogan dan ambisi-ambisi kebijakan luar negerinya. Perang saudara di Suriah telah mendorong suku Kurdi untuk merencanakan pendirian negara otonom Kurdi di timur laut Suriah. Turki, yang memiliki populasi Kurdi yang besar khawatir kelompok separatis Turki-Kurdi garis keras akan menggagalkan upaya pemerintah untuk membuat persetujuan damai dengan Abdullah Ocalan, pemimpin separatis Partai Pekerja Kurdistan di Turki yang dipenjara.
Sampai kejatuhan Morsi, AKP yang berkuasa sepertinya merupakan salah satu pemenang besar dalam Kebangkitan Arab. Kelompok-kelompok Islamis di Timur Tengah dan Afrika Utara, termasuk Libya dan Tunisia, melihat Turki sebagai contoh negara yang dikuasai Islamis namun juga demokratis. Hal itu memperluas pengaruh Turki.
Pemerintahan Erdogan selama ini handal dalam menggabungkan politik dan bisnis. Libya pasca Qadhafi merupakan contoh jelas bagaimana perusahaan-perusahaan Turki giat memainkan peran besar dalam membangun kembali negara itu.
"Jika ada delegasi atau pameran atau acara perdagangan, selalu ada kelmpok besar berisi orang-orang Turki dan mereka terus terang adalah yang menarik untung (di Libya)," ujar Richard Griffiths, presiden Kamar Dagang Amerika di Libya, yang memuji kehandalan Turki dalam menggabungkan politik dan bisnis.
Bagi AKP, Mesir merupakan mitra penting dalam kebijakan luar negeri yang lebih luas, sesuatu yang diakui oleh Menteri Luar Negeri Turki Ahmet Davutoglu. Pemerintah Erdogan telah berinvestasi tidak hanya dalam hal politik, namun juga secara finansial, dengan US$2 miliar dari berbagai bentuk bantuan, serta $250 juta dalam kredit untuk membantu Mesir membeli peralatan militer Turki.
Pemerintah Turki menandatangani lebih 30 perjanjian kerja sama dengan Mesir, mulai dari perdagangan, energi, teknologi sampai perbankan.
Pada 30 Juli, Ankara menyangkal laporan-laporan bahwa mereka menahan perjanjian kerja sama pertahanan dengan Mesir, namun tidak jelas apakah militer Mesir akan terus melakukannya jika Erdogan terus mencerca kudeta militer.
Analis Mustafa al-Labbad dalam tulisannya di surat kabar Lebanon, As-Safir, mengatakan bahwa "penguasa Mesir yang baru melihat Turki sebagai pesaing di wilayah itu, bukan mitra strategis."
Kerenggangan antara Ankara dan Kairo sepertinya akan melebar, ujar para analis, jika Erdogan terus mencela militer Mesir dan memilih untuk mengkonfrontasi mereka secara retoris. Hal ini pada akhirnya akan memberi peluang di Mesir bagi negara-negara Teluk yang menentang Ikhwanul Muslimin dan ingin membentuk situasi pasca Kebangkitan Arab semau mereka. (VOA/Jamie Dettmer)