Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Senin (26/10) bergabung dengan seruan-seruan untuk memboikot barang-barang Perancis, meningkatkan kebuntuan antara Perancis dan negara-negara Muslim terkait Islam dan kebebasan berbicara.
Erdogan memimpin tuduhan terhadap Presiden Emmanuel Macron karena pembelaannya yang kuat atas hak untuk mengejek agama setelah pembunuhan seorang guru sekolah Perancis yang menunjukkan kartun Nabi Muhammad di kelasnya.
Pada hari Senin, pemimpin Turki itu meningkatkan seruannya kepada dunia Arab agar warga menolak barang-barang Perancis.
"Jangan pernah memberi keuntungan pada barang-barang berlabel Perancis, jangan membelinya," kata Erdogan, yang menyebabkan kehebohan selama akhir pekan dengan menyatakan Macron perlu mendapat "pemeriksaan mental," selama Erdogan berpidato di televisi yang disiarkan di Ankara.
Setelah Perancis menuduh Turki bungkam atas pembunuhan Paty pada 16 Oktober, Juru Bicara Erdogan, Ibrahim Kalin, Senin (26/10) mengecam "pembunuhan mengerikan" itu dan menambahkan "tidak ada" yang bisa membenarkan serangan itu.
Barang-barang Perancis telah ditarik dari rak supermarket di Qatar dan Kuwait, di antara negara-negara Teluk lainnya, sedangkan di Suriah orang-orang membakar gambar Macron dan membakar bendera Perancis di ibu kota Libya, Tripoli.
Pemenggalan kepala guru sekolah menengah, Samuel Paty pada 16 Oktober oleh seorang ekstremis Chechnya sangat mengejutkan warga Perancis.
Paty menunjukkan kepada murid-muridnya beberapa kartun Muhammad di mana 12 orang dibantai di majalah satir Charlie Hebdo pada tahun 2015.
Penggambaran Nabi Muhammad dipandang menyinggung banyak Muslim, tetapi di Perancis kartun semacam itu dianggap sebagai bagian dari tradisi sekuler yang dibanggakan sejak zaman Revolusi.
Setelah pembunuhan Paty, Macron mengeluarkan pembelaan penuh semangat atas kebebasan berbicara dan nilai-nilai sekuler Perancis, dan bertekad negara "tidak akan menghentikan kartun."
Ketika dampak negatif terhadap reaksi Perancis itu meluas, para pemimpin Eropa bersatu membela Macron.
"Itu merupakan komentar dibuat-buat yang sama sekali tidak bisa diterima, terutama terhadap latar belakang pembunuhan mengerikan guru bahasa Perancis Samuel Paty oleh seorang Islam fanatik," kata Steffen Seibert juru bicara Kanselir Jerman Angela Merkel.
Perdana Menteri Italia, Belanda, dan Yunani juga menyatakan dukungannya untuk Perancis, seperti yang dilakukan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen.
"Kata-kata Presiden Erdogan yang ditujukan kepada Presiden Emmanuel Macron tidak bisa diterima," kata Perdana Menteri Belanda Mark Rutte di twitter dan menambahkan Belanda membela "kebebasan berbicara dan melawan ajaran ekstremis dan radikal."
Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte memasang tweet "penghinaan pribadi tidak membantu agenda positif yang ingin dimiliki Uni Eropa dengan Turki namun akan menjauhkan solusi”.
Muslim diperlakukan 'seperti orang Yahudi'
Erdogan pada hari Senin (26/10) membandingkan perlakuan terhadap Muslim di Eropa dengan perlakuan terhadap orang Yahudi sebelum Perang Dunia II, dengan mengatakan mereka adalah objek dari "kampanye hukuman mati".
"Kita berada dalam fasis yang sebenarnya, kita berada dalam mata rantai aliran Nazi yang sesungguhnya," katanya.
"Para pemimpin Eropa harus memberitahu presiden Perancis untuk menghentikan kampanye kebenciannya terhadap Muslim," tambah Erdogan.
Perancis telah menjadi sasaran serangkaian serangan jihad yang telah menewaskan lebih dari 250 orang sejak 2015 dan menyebabkan pengkajian mendalam mengenai dampak Islam pada nilai-nilai penting negara itu.
Beberapa penyerang mengutip kartun Muhammad serta larangan Perancis mengenakan cadar di depan umum sebagai beberapa motif mereka.
Beberapa tersangka radikal Islam telah ditangkap dalam puluhan penggerebekan sejak pembunuhan Paty, dan sekitar 50 organisasi yang diduga terkait dengan orang-orang tersebut telah diperintahkan untuk ditutup.
Awal bulan ini, Macron mengumumkan rencana untuk membela nilai-nilai sekuler Perancis melawan tren "separatisme Islam," dan menggambarkan Islam sebagai agama "dalam krisis."
Sikapnya telah memicu ketegangan khususnya dengan Turki.
Pada hari Sabtu, Paris mengumumkan penarikan utusannya dari Ankara setelah Erdogan, yang menyebut dirinya sebagai pembela Muslim di seluruh dunia, mempertanyakan kewarasan Macron.
Tapi Macron, Minggu di Twitter tetap berkeras. "Kita tidak akan pernah menyerah. Kita menghormati semua perbedaan dalam semangat perdamaian. Kita tidak menerima ujaran kebencian dan membela perdebatan yang masuk akal. Kita akan selalu berpihak pada martabat manusia dan nilai-nilai universal," katanya.
Macron juga menyebabkan kemarahan di negara-negara mayoritas Muslim lainnya.
Perdana Menteri Pakistan Imran Khan menuduh Macron "menyerang Islam", sementara kelompok Islam Palestina Hamas, Taliban, gerakan Syiah Lebanon Hizbullah dan Maroko juga menentang Perancis.
Puluhan pengunjuk rasa anti-Macron melakukan unjuk rasa untuk hari kedua berturut-turut di Jalur Gaza, menginjak-injak photo Presiden Perancis itu dengan tanda silang merah di wajahnya di gerbang pusat kebudayaan Perancis.
Demonstrasi yang lebih banyak direncanakan hari Selasa, di Amman.
Federasi majikan terbesar Perancis, Senin (26/10) mendesak perusahaan-perusahaan untuk menolak ancaman terkait seruan boikot.
"Ada saatnya untuk mengutamakan prinsip-prinsip di atas usaha" kata pimpinan federasi itu, Geoffroy Roux de Bezieux kepada lembaga penyiaran RMC. "Ini adalah masalah mempertahankan nilai-nilai Republik kita" ujarnya. [my/jm]