Rata-rata sekitar 20.000 anak terpaksa meninggalkan rumah mereka setiap hari antara 2016 dan 2021 karena terdampak badai, banjir, kebakaran dan cuaca ekstrem lain yang diperburuk oleh perubahan iklim, menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Bahkan, sebuah perkiraan yang hanya memperhitungkan risiko dari sungai yang banjir, angin topan dan banjir akibat badai menyebutkan bahwa lebih dari 113 juta anak harus mengungsi dalam tiga dekade ke depan, kata laporan UNICEF yang dirilis pada Jumat (6/10).
Penderitaan akibat bencana yang berkepanjangan seperti kekeringan seringkali tidak dilaporkan. Anak-anak harus mengungsi setidaknya 1,3 juta kali akibat kekeringan selama tahun-tahun yang diulas dalam laporan tersebut – lebih dari separuhnya di Somalia. Jumlah itu pun kemungkinan besar masih di bawah jumlah sebenarnya, kata laporan tersebut. Berbeda dengan banjir atau badai, tidak ada evakuasi preventif selama musim kemarau.
Di seluruh dunia, perubahan iklim telah menyebabkan jutaan orang kehilangan tempat tinggal. Kenaikan permukaan laut menggerogoti garis pantai; badai menerjang kota-kota besar; sementara kekeringan memperburuk konflik. Namun, meski bencana semakin parah, dunia belum mengakui keberadaan migran akibat dampak iklim dan belum menemukan cara untuk melindungi mereka.
Sekitar 43 juta dari 134 juta orang yang mengungsi akibat cuaca ekstrem dari tahun 2016-2021 adalah anak-anak.
Hampir separuhnya terpaksa meninggalkan rumah mereka akibat badai. Dari jumlah tersebut, hampir 40 persen terjadi di Filipina.
Banjir membuat anak-anak mengungsi lebih dari 19 juta kali di tempat-tempat seperti India dan China. Kebakaran hutan menyebabkan 810.000 anak mengungsi di AS dan Kanada.
Pelacakan data migrasi akibat cuaca ekstrem biasanya tidak membedakan anak-anak dan orang dewasa. UNICEF bekerja sama dengan lembaga nirlaba asal Jenewa, International Displacement Monitoring Center, untuk memetakan daerah-daerah yang paling berdampak pada anak-anak.
Filipina, India dan China merupakan negara dengan jumlah pengungsi anak terbanyak akibat bencana iklim, yaitu hampir setengahnya.
Negara-negara itu juga memiliki populasi yang besar dan sistem yang kuat untuk mengevakuasi orang, sehingga memudahkan mereka mencatat data.
Namun, rata-rata anak-anak yang tinggal di Tanduk Afrika atau di pulau kecil di Karibia lebih rentan. Banyak di antara mereka yang mengalami “krisis yang tumpang tindih” – di mana risiko akibat iklim yang ekstrem diperburuk oleh konflik, lemahnya institusi pemerintahan dan kemiskinan.
Meninggalkan rumah membuat anak-anak menghadapi risiko tambahan.
Selama banjir Sungai Yamuna yang belum pernah terjadi sebelumnya Juli lalu di Ibu kota India New Delhi, air yang bergejolak menghanyutkan gubuk yang menjadi rumah bagi keluarga Garima Kumar yang berusia 10 tahun.
Air menghanyutkan seragam sekolah dan buku-buku pelajarannya. Kumar terpaksa tinggal bersama keluarganya di trotoar kota metropolitan dan tidak masuk sekolah selama sebulan.
Banyak anak di Vietnam, juga negara lain seperti India dan Bangladesh, akan terpaksa mengungsi di masa depan. Pembuat kebijakan dan sektor swasta harus memastikan bahwa perencanaan iklim dan energi memperhitungkan risiko anak-anak terhadap cuaca ekstrem, kata laporan UNICEF.
Dalam memperkirakan risiko di masa depan, laporan itu tidak memasukkan kebakaran, kekeringan maupun potensi langkah mitigasi yang akan diambil. Laporan itu mengatakan, layanan penting seperti pendidikan dan kesehatan harus “responsif terhadap guncangan, mudah dipindah dan bersifat inklusif,” untuk membantu anak-anak dan keluarga mereka menghadapi bencara dengan lebih baik. [rd/rs]
Forum