Beberapa kelompok masyarakat sipil menilai kebijakan “perang terhadap narkoba” yang digaungkan pemerintah gagal dalam mengurangi angka penyalahgunaan obat. Kebijakan ini malah membuat narkoba dikuasai pasar gelap dan akhirnya tidak terkontrol penggunaannya.
Patri Handoyo dari lembaga rehabilitasi narkoba Rumah Cemara mengatakan, pemerintah kehilangan kendali.
“Ketika dia ada di pasar yang gelap, pemerintah sama sekali tidak punya kendali untuk siapa konsumennya, siapa produsennya, siapa distributornya, kandungannya apa,” kata Patri menjelaskan kepada VOA usai diskusi di Bandung, Kamis (29/11/2018) siang.
Pelarangan keras narkoba, tambah Patri, menjadi celah korupsi bagi oknum aparat.
“Pelarangan ini justru membuka kesempatan aparat untuk korupsi misalnya mereka menerima suap dari bandar untuk mengamanakan bisnisnya. Lalu di penjara, kita sudah sering dengar di Indonesia, sipir-sipir terlibat dalam perdagangan narkoba,” papar Patri.
Survei Nasional BNN dan Universitas Indonesia mengungkapkan, pada 2014-2017 semakin banyak uang yang dikeluarkan oleh konsumen narkoba, baik untuk membeli narkoba, urusan penegak hukum, dan urusan penjara.
Pada 2014, konsumen narkoba menghabiskan 42 triliun rupiah untuk konsumsi, 1,1 triliun rupiah untuk urusan penegak hukum, dan 1 triliun untuk urusan penjara. Sementara pada 2017, konsumen narkoba menggunakan 69 triliun rupiah, 1,8 triliun untuk urusan penegak hukum, dan 2 triliun untuk urusan penjara.
Badan Narkotika Nasional (BNN) terus mengalami kenaikan anggaran dari 770 miliar rupiah (2011), 1,14 triliun rupiah (2015) dan 1,83 triliun rupiah (2016). Sementara itu, data BNN dan Polri menyebut, angka kasus narkoba terus naik, dari 26.678 kasus (2010), menjadi 40.897 (2016)
Peneliti Intuisi Inc, Ingrid Irawati Atmosukarto, mengatakan angka itu membuktikan pendekatan pemerintah perlu diperbarui. Ketimbang pendekatan perang, dia mengusulkan pengurangan dampak buruk atau “harm reduction”.
“Mari kita sekarang merefleksikan apakah pendekatan kita kurang tepat. Itu yang kita tawarkan dengan pendekatan pengurangan dampak buruk atau “harm reduction” dengan membuka akses layanan kesehatan dan pemulihan kepada mereka.
Caranya adalah dengan mengalihkan 10 persen anggaran perang terhadap narkoba untuk layanan kesehatan pengguna narkoba. Dengan demikian, makin banyak pengguna narkoba yang direhabilitasi dan makin sedikit yang masuk penjara.
“Sehingga mereka menjadi warga negara yang produktif yang menyumbang bagi pembangunan bangsa. Dari pada pendekatan perang yang sekadar menembak, menempatkan mereka sebagai kriminal, dan memenuhi penjara-penjara di Indonesia yang saat ini sudah overcapacity,” kata Irawati menambahkan lagi.
Data Kementerian Hukum dan HAM pada September 2016 menunjukkan, lapas Indonesia sudah melebihi kapasitas hingga 172 persen. Dari total kapasitas 118.961 orang, jumlah napi dan tahanan mencapai 204.551 orang. Dari jumlah itu 66.626 orang adalah napi kasus narkotika, di mana yang teridentifikasi pengguna mencapai 24.915 orang.
Anggaran 10 persen itu, ujar Irawati, juga bisa digunakan untuk program edukasi bagi masyarakat. Sehingga semakin banyak orang yang mengetahui bahaya penyalahgunaan narkoba.
“Edukasi yang juga mendidik dan bukan menakutkan. Edukasi yang mendidik manusia secara dewasa untuk memilih perilaku yang tepat yang aman untuk kesehatannya. Karena hanya mengatakan ‘say no to drugs’ siapa yang akan tergerak? Semakin dilarang semakin nafsu toh?” pungkas lulusan Universitas Indonesia ini. [rt/em]