Ketua Dewan Pers Muhammad Nuh mengatakan perubahan bisnis media pada era digital merupakan hal yang wajar. Asalkan, kata dia, perusahaan media tetap mendapat keuntungan agar dapat menyajikan karya jurnalistik yang bagus.
Atas dasar itulah, Nuh mengatakan lembaganya menginisiasi pembentukan Kelompok Kerja Keberlanjutan Media yang terdiri dari berbagai organisasi jurnalis dan perusahaan media. Antara lain Forum Pemred, Aliansi Jurnalis Independen, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia dan Asosiasi Media Siber Indonesia.
"Di dalam dunia media, kata kuncinya itu meskipun berubah-ubah begitu, di mana kita bisa menghadirkan informasi yang mencerdaskan, menyehatkan, akurat, dan ada basis datanya atau dalam bahasa lain good journalism. Itu ruhnya ada di situ," jelas Muhammad Nuh di kantor Dewan Pers, Jakarta, Selasa (22/1/2020).
Adapun tugas dari Kelompok Kerja Keberlanjutan Media yaitu mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi media dan mengkaji keberlanjutan media-media di negara demokrasi seperti Inggris, Jerman dan Amerika. Kelompok ini juga diminta merumuskan prinsip-prinsip keberlanjutan media sesuai dengan Undang-undang Pers, termasuk mengusulkan inisiatif regulasi kepada pemerintah dan DPR.
Mereka juga rencananya akan mengundang raksasa digital yakni Google dan Facebook untuk berdiskusi soal keberlanjutan media di Indonesia.
Ketua Forum Pemred, Kemal E Gani mengatakan, hubungan bisnis antara media dengan raksasa-raksasa digital seperti Google dan Facebook, serta perusahaan agregator (pengumpul berita) selama ini terasa belum adil. Karena itu, ia berharap Kelompok Kerja Keberlanjutan Media dapat menjembatani hubungan yang adil antara media dengan raksasa digital dan agregator berita.
"Dan kalau ada hubungan bisnis, bagaimana itu bisa dilakukan dengan kalkulasi-kalkulasi yang fair juga. Selama ini kan tidak jelas, tahu-tahu kita setiap berapa bulan sekali dikirimi hasil iklan dari Google. Jumlahnya sekian, tapi kita tidak tahu bagaimana kalkulasi itu dilakukan," jelas Kemal Gani.
Kemal juga menyoroti maraknya berita yang bombastis dan kurang dapat dipertanggungjawabkan karena hanya ingin banyak dibaca publik dan mendapat keuntungan yang besar dari Google. Ia menyarankan kelompok kerja ini juga dapat menata berita-berita seperti itu agar jurnalisme Indonesia kembali bermutu dan tetap bertahan pada era digital.
Sementara itu Direktur Jenderal Aplikasi Informatika (Aptika) Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan pemerintah berencana membuat penanda terhadap media yang terdaftar di Dewan Pers. Harapannya, penanda ini dapat menjadi rujukan bagi pengiklan dalam memilih media yang berkualitas. Ia juga meminta kementerian, lembaga, BUMN dan pemerintah daerah agar beriklan di media-media yang sudah terdaftar di Dewan Pers untuk menjaga keberlanjutan media.
"Kami bisa menerbitkan semacam trust mark yang kita buat desain khusus algoritma yang bisa ditempelkan. Bisa berjenjang yang terdaftar, terverifikasi, kredibitas. Itu bisa kita buat," jelas Semuel.
Semuel juga siap memfasilitasi komunitas media untuk berkomunikasi dengan Google soal iklan jika natinya persoalan pendaftaran perusahaan media sudah selesai dilakukan Dewan Pers. Semisal dengan meminta Google hanya memberikan iklan kepada perusahaan media yang sudah terdaftar.
Namun, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan mengingatkan usulan regulasi yang akan disampaikan ke pemerintah dan DPR agar tidak bertentangan dengan Undang-undang Pers. Terlebih, kata dia, regulasi yang ada terkadang digunakan sejumlah pihak untuk mengkriminalisasi jurnalis seperti Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
"Regulasi baru yang dihasilkan jangan sampai berseberangan jalan dengan pers yang semangatnya membebaskan. Karena terus terang kita kurang percaya dengan pemerintah dan DPR soal regulasi. Misalnya bikin UU ITE, tapi dimasukkan pasal pencemaran nama baik. Itu kan pasal penyelundupan menurut kami," kata Manan.
Di samping soal keberlanjutan usaha, Manan juga berharap Kelompok Kerja Keberlanjutan Media dapat memunculkan sejumlah inisiatif dalam memajukan jurnalisme di Indonesia. Semisal kolaborasi bersama seperti platform Indonesialeaks yang digagas sejumlah media untuk meliput investigasi secara bersama.
Dampak Disrupsi Digital
Catatan AJI pada akhir 2019, menyebutkan dampak nyata dari disrupsi digital adalah makin sulitnya ekonomi media yang pada akhirnya mendorong efisiensi dan pemutusan hubungan kerja di sejumlah perusahaan media. Selain itu, migrasi secara penuh ke digital juga terus terjadi karena menyusutnya pembaca dan berkurangnya iklan media cetak.
Harian Kompas, media terbesar nasional dilaporkan membuka tawaran pensiun dini besar-besaran bagi karyawannya. Ini sesuatu yang jarang dilakukan sebelumnya. Meskipun diistilahkan sebagai pensiun dini, namun praktik pemberian pesangon kepada karyawan yang menerima tawaran tersebut sama seperti aturan Menteri Tenaga Kerja yaitu 2 kali Peraturan Menteri Tenaga Kerja (PMTK) plus ditambah 4 kali upah yang merupakan kebijakan internal dari Kompas.
Artinya, para karyawan yang menerima tawaran pensiun dini total mendapatkan pesangon 36,2 kali upah. Program pensiun dini Kompas juga dilakukan November 2019 lalu.
Pemangkasan karyawan juga dilakukan oleh televisi. Salah satunya Net TV. Meski pihak Net TV mengklaim bahwa perusahaan mereka semata-mata melakukan efisiensi dengan menawarkan karyawan untuk mengundurkan diri, tetapi fakta yang terjadi banyak pekerja media mereka yang akhirnya berhenti bekerja di Net TV.
Tawaran pengunduran diri banyak disampaikan perusahaan karena opsi ini lebih menguntungkan sebab perusahaan tidak memiliki kewajiban pembayaran pesangon kepada karyawan sesuai aturan Menteri Tenaga Kerja.
Tawaran pengunduran diri bagi karyawan, dan juga PHK, juga dilakukan beberapa perusahaan media lainnya, termasuk Beritagar.id. Mediaonline ini mem-PHK 17 karyawan awak redaksinya Oktober 2019 lalu. Beritagar.id juga beralih menjadi Lokadata.id. Media cetak yang akhirnya tutup dan beralih ke online adalah Tabloid Cek & Ricek. Media cetak media hiburan ini berakhir April 2019 lalu, setelah eksis selama 21 tahun.
Salah satu masalah lain yang juga dicatat AJI pada 2019 adalah soal pembayaran gaji pekerja media yang tertunda atau dicicildi sejumlah media. Beberapa media yang melakukan ini adalah Viva.co.id dan Harian Suara Merdeka.
Di Viva.co.id kasus pembayaran gaji yang tertunda atau dicicil akhirnya menginspirasi sebagian pekerja media setempat untuk berkumpul dan membentuk serikat pekerja. Efek positif dari terbentuknya serikat pekerja ini, pembayaran gaji karyawan yang sempat tertunda akhirnya menjadi lancar kembali. Sementara itu, situasi berbeda dialami pekerja media Suara Merdeka yang hingga saat ini masih terkendala pembayaran gaji yang masih dicicil atau diangsur oleh perusahaan. [sm/ft]