Kementerian Luar Negeri China, pada Selasa (19/3), mengakui pertemuan antara diplomatnya Wang Kejian dan pemimpin politik kelompok militan Hamas Palestina, Ismail Haniyeh, yang berlangsung di Qatar pada hari Minggu (17/3), untuk membahas konflik di Gaza. Dalam pernyataan singkatnya, pihak kementerian mengatakan Wang dan Haniyeh membahas konflik tersebut tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut.
Pertemuan itu adalah pertemuan pertama yang diumumkan antara utusan China dan Hamas, sejak kelompok militan itu menyerang Israel pada 7 Oktober, dan menewaskan sekitar 1.200 warga Israel dan menyandera sekitar 250 orang.
Serangan balasan Israel di Gaza telah menewaskan hampir 32.000 warga Palestina, dua pertiganya adalah perempuan dan anak-anak, menurut pejabat kesehatan Gaza. Militer Israel sendiri mengatakan telah membunuh ribuan anggota militan Hamas.
Pertemuan itu terjadi hanya beberapa hari setelah Wang bertemu secara terpisah dengan para pejabat dari Israel dan Otoritas Palestina, sebagai bagian dari upaya diplomasi China.
The Jerusalem Post melaporkan, pada Minggu malam, bahwa Hamas menyebut Haniyeh telah memberitahu Wang bahwa perang harus segera berakhir, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) harus mundur dari Gaza dan negara Palestina yang merdeka perlu dibentuk. Hamas mengatakan, Wang meyakinkan Haniyeh bahwa "gerakan Hamas adalah bagian dari susunan nasional Palestina, dan China tertarik untuk menjalin hubungan dengannya."
Sejumlah kritikus mengatakan, upaya Beijing untuk menjadi penengah akan terhambat oleh hubungannya dengan Hamas – yang dicap sebagai kelompok teroris oleh Mesir, Israel, Jepang, Uni Eropa dan Amerika Serikat, serta kegagalannya dalam mengutuk serangan militan Hamas pada tanggal 7 Oktober lalu.
"Mengingat aksi China dan deklarasi dari 7 Oktober, Israel menganggap China sebagai pihak yang tidak jujur ataupun relevan," ungkap Galia Lavi, wakil direktur Pusat Kebijakan Israel-China di Institut Studi Kemanan Nasional Israel.
"Apa yang Beijing tunjukkan hampir menyatakan bahwa perang ini dimulai karena ulah Israel," kata Lavi kepada VOA. "Pada waktu yang sama, China masih mengabaikan tindakan Hamas pada 7 Oktober."
Lavi berpendapat walaupun klaim China yang menyebut upayanya dalam merawat hubungan Israel-Palestina, hal itu tetap menghambat prospek di masa depan.
"Seruan yang dilontarkan China berulang kali terkait hak untuk kembali merusak pembicaraan antara Israel dan Palestina di masa depan dan menunjukkan campur tangan dalam urusan dalam negeri Israel," tambahnya.
Seruan hak untuk kembali bagi warga Palestina mengatur penerimaan kembali sekitar lima juta warga Palestina, termasuk keturunannya, yang terusir dari wilayahnya ke Suriah, Mesir, Yordania, dan Lebanon dalam perang kemerdekaan Israel pada 1948. [ps/rs]
Forum