Pemerintah dan DPR telah mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna, Senin (5/10). Pasal 60 A ayat 2 UU Cipta Kerja mengamanatkan migrasi televisi analog ke digital harus diselesaikan paling lambat dua tahun sejak undang-undang ini berlaku.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate mengatakan undang-undang ini menembus kebuntuan regulasi bidang penyiaran yang telah belasan tahun tidak terealisasi.
“Padahal kesepakatan internasional untuk dilakukannya ASO (siaran digital) sudah sangat lama berlangsung. International Telecommunication Union (ITU) dalam konferensi ITU 2006 telah memutuskan bahwa 119 negara ITU Region-1 menuntaskan ASO paling lambat 2015,” jelas Johnny G Plate dalam keterangan tertulis Selasa (6/7/2020).
Johnny menambahkan migrasi digital ini juga untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dari negara-negara di Asean di bidang siaran TV digital. Ia juga menyebut migrasi digital pada 2022 akan menghemat pita frekuensi sehingga bisa dialokasikan untuk pemanfaatan lain seperti jaringan 5G.
“Dampaknya, layanan 5G di Indonesia akan optimal sehingga mampu mendorong peningkatan ekonomi nasional dan menciptakan lapangan kerja baru di era Industri 4.0. Pada akhirnya transformasi digital di Indonesia adalah transformasi digital yang berdaya saing dan adaptif terhadap perkembangan teknologi,” tambahnya.
AJI Kritisi Wewenang Penentuan Migrasi Digital
Namun, Ketua Bidang Penyiaran Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bayu Wardhana mengkritik wewenang penentuan migrasi digital yang ditarik semua menjadi peraturan pemerintah. Kata dia, penentuan sistem tersebut perlu diatur di tingkat undang-undang karena tidak hanya mengatur pilihan teknologi, tetapi aturan main bisnis penyiaran.
"Itu ditarik semua ke pemerintah. Sesuatu yang sangat penting dan dibicarakan secara publik akan memilih kemana kebijakannya, itu ditambahkan di Pasal 60 A Undang-Undang Cipta Kerja," jelas Bayu Wardhana kepada VOA, Rabu (7/10/2020).
Bayu mencontohkan salah satu bentuk kekhawatirannya adalah pemerintah akan memilih multi mux dibandingkan single mux yang berpotensi dapat menyebabkan persaingan bisnis tidak adil. Sebab opsi multi mux ini akan membuat penyiaran kembali dikuasai stasiun televisi besar yang dapat berujung pada ketiadaan keberagaman konten.
Adapun yang dimaksud single mux operator, yaitu hanya ada satu operator atau penyelenggara layanan multipleksing (penyedia infrastruktur siaran digital) penyiaran digital. Dalam model bisnis ini, TVRI dan RRI (RTRI) akan menguasai dan mengelola penggunaan frekuensi dan infrastruktur tranmisi. Sementara televisi swasta hanya memproduksi konten dan menyiarkan melalui RTRI dengan sistem sewa.
Sedangkan multi mux atau multipleksing operator berarti semua lembaga penyiaran swasta (LPS) bisa menjadi pengelola frekuensi masing-masing dan menjalankan multipleksing untuk keperluan internal LPS.
Bayu juga menyoroti penambahan cakupan wilayah siaran nasional dalam UU Cipta Kerja. Stasiun TV, menurut UU Penyiaran No 32 Tahun 2002, tidak bisa melakukan penyiaran dengan cakupan wilayah siaran nasional. Namun, harus melakukan siaran lokal di provinsi untuk memberi ruang pada budaya dan ekonomi lokal tumbuh.
"Tapi yang terjadi ketentuan ini dilanggar sejumlah televisi yang membuat siaran nasional. Dan itu tidak dihukum oleh pemerintah, nah dengan adanya omnibus law, hal yang salah ini menjadi legal," tambahnya.
Kata Bayu, kebijakan ini juga akan menutup peluang investasi di daerah-daerah karena stasiun televisi dapat melakukan siaran secara nasional di Jakarta saja. Akibatnya, peluang lapangan pekerjaan di daerah juga semakin sempit.
UU Cipta Kerja Hapus Peran Komisi Penyiaran Indonesia
Di samping itu, UU Cipta Kerja juga menghapus peran Komisi Penyiaran Indonesia dalam memberi rekomendasi pada proses perizinan penyiaran. Menurutnya, hal tersebut bertentangan dengan semangat reformasi yang ingin meletakkan perizinan penyiaran di lembaga negara seperti KPI, bukan ke lembaga pemerintah seperti Kementerian Kominfo.
Sedikit berbeda, Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yadi Hendriana, mengatakan lembaganya masih menunggu peraturan pemerintah terkait penyiaran. Ia mengatakan siap memberi masukan kepada pemerintah jika sudah ada regulasi baru.
"Kita tidak boleh berburuk sangka kepada pemerintah. Tetapi juga tidak boleh membiarkan ini melenggang, apa sebenarnya yang diinginkan pemerintah," jelas Yadi kepada VOA, Rabu (7/10/2020).
Yadi meyakini pemerintah masih dapat diajak berdialog oleh masyarakat. Ia mencontohkan dihapuskannya dua Pasal UU Pers dalam RUU Cipta Kerja oleh DPR dan pemerintah setelah mendapat kritik dari komunitas pers.
Yadi berharap pemerintah memiliki kepedulian dan pengawasan yang baik terhadap konten-konten yang disiarkan lembaga penyiaran maupun konten yang beredar di internet. Sehingga konten-konten tersebut dapat berdampak positif ke masyarakat. [sm/em]