Tenaga Ahli Utama Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Donny Gahral membenarkan Presiden Joko Widodo telah menandatangani Omnibus Law Cipta Kerja pada 2 November 2020 malam.
“Benar,” ungkapnya melalui pesan singkat di Jakarta, Selasa (3/11).
UU yang berisi 1.187 halaman tersebut, kata Donny juga telah diundangkan menjadi UU nomor 11 tahun 2020 oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly dan dimasukan ke dalam Lembaran Negara Tahun 2020 no 245.
Berbagai reaksi penolakan terhadap UU tersebut masih muncul pasca penandatanganan itu.Para buruh tetap bersikukuh menolak UU tersebut karena dianggap merugikan pekerja. Bahkan pada hari ini Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melayangkan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) menuntut pembatalan atau pencabutan UU tersebut.
“Menyikapi hal itu, pagi ini KSPI dan KSPSI AGN secara resmi akan mendaftarkan gugatan judicial review ke MK terhadap uji materiil UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja,” ungkap Presiden KSPI, Said Iqbal, dalam siaran persnya, di Jakarta, Selasa (3/11).
Selain menempuh upaya konstitusional, ujar Said, pihaknya juga akan melanjutkan mogok kerja dan aksi-aksi lain sesuai dengan hak konstitusional buruh yang diatur dalam undang-undang dan bersifat anti kekerasan (non violence).
“Kami juga menuntut DPR untuk menerbitkan legislative review terhadap UU No 11 tahun 2020 dan melakukan kampanye/sosialisasi tentang isi pasal UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang merugikan kaum buruh tanpa melakukan hoaks atau disinformasi,” jelasnya.
UU Cipta Kerja Dianggap Kembalikan Sistem Upah Murah
Dalam penjelasannya, Said menegaskan, begitu banyak kerugian yang akan diterima oleh para pekerja akibat lahirnya UU Cipta Kerja ini. Di antaranya, kata Said,sisipan Pasal 88C Ayat (1) yang menyebutkan gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi dan Pasal 88C Ayat (2) yang menyebutkan gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.
Menurutnya, penggunaan frasa “dapat” dalam penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) sangat merugikan buruh, karena nantinya penetapan UMK bukan kewajiban, dan sangat mungkin nantinya para gubernur tidak menetapkan UMK. Hal ini, katanya,mengakibatkan munculnya sistem upah murah.
“Kita ambil contoh di Jawa Barat. Untuk tahun 2019, UMP (upah minimum provinsi, red) Jawa Barat sebesar Rp1,8 juta. Sedang UMK Bekasi sebesar 4,2 juta. Jika hanya ditetapkan UMP, maka nilai upah minimum di Bekasi akan turun,” ujarnya.
UU No 11 Tahun 2020 juga menghilangkan periode batas waktu kontrak yang terdapat di dalam Pasal 59 UU No 13 Tahun 2003. Akibatnya, pengusaha bisa mengontrak berulang-ulang dan terus-menerus tanpa batas periode menggunakan PKWT (karyawan kontrak).
“Dengan demikian, PKWT (karyawan kontrak) bisa diberlakukan seumur hidup tanpa pernah diangkat menjadi PKWTT (karyawan tetap). Hal ini berarti, tidak ada job security atau kepastian bekerja,” tambahnya.
Sebelumnya, dalam UU No 13 Tahun 2003, batas waktu kontrak PKWT dibatasi maksimal lima tahun sehingga setelah menjalani kontrak maksimal lima tahun, PKWT mempunyai harapan diangkat menjadi karyawan tetap atau permanen apabila mempunyai kinerja yang baik dan perusahaan tetap berjalan.
Kalangan Pengusaha Menyambut Baik Lahirnya UU Cipta Kerja
Sementara itu, Kalangan pengusaha bergembira atas lahirnya UU nomor 11 tahun 2020 ini. Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan yang terpenting dari UU tersebut adalah peraturan turunannya agar segera bisa diimplementasikan.
“Reformasi struktural sudah sangat dibutuhkan untuk penciptaan iklim usaha yang kondusif, terutama dalam kondisi pandemi saat ini,” ujar Shinta dalam pesan singkatnya.
Terkait penolakan yang masih datang dari kaum buruh, ia berharap aksi mogok kerja dan demonstrasi tidak terus dilakukan, karena bisa membuat para investor kabur karena tidak yakin dengan situasi keamanan dan ketertiban di tanah air. Maka dari itu, upaya jalur hukum lebih baik untuk dilakukan daripada melakukan aksi mogok kerja tersebut.
“Betul, makanya kami juga sampaikan sebaiknya kalau tidak puas silahkan mengajukan judicial review (ke MK) saja,” jelas Shinta. [gi/ab]