Sejumlah daerah di Indonesia mengalami lonjakan kasus positif COVID-19 dalam beberapa hari terakhir. Epidemiolog mengingatkan, tiga faktor saling terkait menciptakan kondisi ini.
Kepala Bagian Humas Pemda DIY, Ditya Nanaryo Aji menyebut angka 428, ketika mengumumkan penambahan kasus harian di Yogyakarta, Senin (14/6).
“Sehingga total kasus terkonfirmasi menjadi 49.179 kasus, dengan penambahan kasus meninggal sebanyak 5 kasus, sehingga total kasus meninggal menjadi 1.280 kasus,” ujar Ditya.
Yogyakarta mampu menekan angka kasus hingga pada kisaran seratusan sepanjang lebaran lalu. Pelan-pelan kasus mulai naik hingga di awal Juni, jumlah kasus merambah ke angka 200-an selama pekan pertama. Pada Rabu 9 Juni 2021, kasus menjadi 304 dan setelah itu berturut-turut 455 (10/6), 417 (11/6), 436 (12/6), dan 466 pada Minggu (13/6).
Yogyakarta pernah mencapai puncak dengan 478 kasus pada 22 Januari 2021, yang menjadi bagian dari periode tertinggi usai libur tahun baru. Setelah itu pemerintah mampu menekan jumlah kasus menjadi tetap rendah. Kembalinya tren kasus harian di atas 400, menjadi alarm tersendiri.
Penerapan Aturan Ketat
Gubernur DI Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X akhir pekan lalu menyatakan keprihatinan tersendiri terkait angka ini. Dia mengundang seluruh pihak terkait untuk bekerja sama menekan kembali angka kasus. Sultan mengingatkan, Yogyakarta pernah mampu mencatat seratusan kasus harian, karena itu kenaikan hingga ke angka 400 ini harus menjadi perhatian.
“Harapan saya, ini bisa turun. (Tinggi) Karena terjadi klaster di beberapa tempat. Harapan kita, ini bisa cepat kita tangani sehingga penularannya juga tidak akan meluas. Tetapi juga kami berharap pengawasan di kabupaten dan kota juga lebih dimungkinkan, agar COVID ini cepat selesai,” ujar Sultan di Yogyakarta.
Belajar dari wilayah lain, Sultan memilih penggunaan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro. Konsepnya adalah membatasi aktivitas di lingkungan paling kecil, hingga RT/RW. Upaya pengawasan terutama dilakukan pada kegiatan masyarakat yang melibatkan peserta cukup banyak, seperti pernikahan atau acara tradisi.
“Kalau ada pertemuan, mungkin ada hajatan dan sebagainya, perizinan tidak hanya di desa tetapi juga Kepanewonan (Kecamatan), memberikan rekomendasi dengan harapan untuk saling bisa mengontrol,” lanjut Sultan.
Pembukaan shelter di tingkat desa juga akan didorong untuk membantu pasien positif tanpa gejala, yang tidak memungkinkan melakukan isolasi mandiri di rumah. Perhatian khusus juga diberikan pada fenomena penularan dalam kelompok paling kecil, yaitu keluarga dan tetangga. Catatan kasus memang menunjukkan, mayoritas klaster saat ini tidak lagi terjadi kantor atau pusat perbelanjaan, namun dalam skala keluarga dan RT.
“Kita akan atur lebih mikro, dengan harapan tidak ada penafsiran lain. Ketentuan mengenai hajatan dan sebagainya akan diatur secara lebih jelas,” tandas Sultan.
Tidak Ada Faktor Tunggal
Sejumlah pihak menyebut varian Delta dari India sebagai penyebab kenaikan kasus. Namun menurut Epidemiolog dari Universitas Gadjah Mada, Bayu Satria Wiratama, tidak ada sebab tunggal atas fenomena ini.
Bayu mengatakan tiga faktor saling terkait dalam pengendalian pandemi, yaitu masyarakat, pemerintah dan virus itu sendiri sebagai agen. Dia menilai, masyarakat saat ini sudah mengalami kejenuhan sehingga kedisiplinan menjalankan protokol kesehatan semakin lemah. Pemerintah juga tidak tegas menerapkan kebijakan, sehingga aktivitas masyarakat tidak terkontrol. Pada saat bersamaan, varian baru yaitu Delta dari India masuk.
“Kalau dua itu kuat (masyarakat dan pemerintah), meskipun varian Delta masuk, enggak akan kuat pengaruhnya. Tetapi karena yang dua ini yadi enggak kuat, ditambah varian Delta sebagai varian baru, agennya nambah. Kemampuan penularannya tambah cepet dan tambah tinggi,” kata Bayu yang sedang menyelesaikan program S3 di Taiwan.
Bayu menilai, libur Lebaran juga tidak bisa dijadikan penyebab untuk peningkatan kasus. Sebenarnya secara umum, kasus sudah mulai bergerak naik sejak sebelum hari raya. Sayangnya, sepanjang libur Lebaran pemerintah tidak menghentikan aktivitas masyarakat dengan berbagai alasan. Di sisi lain, masyarakat yang jenuh kemudian mengambil keputusan sendiri dan tidak mengikuti berbagai anjuran pemerintah.
Kenaikan kasus yang saat ini terjadi di sejumlah daerah, khususnya Kudus di Jawa Tengah dan Bangkalan di Madura, Jawa Timur, harus diatasi dengan upaya khusus. Namun, Bayu mengingatkan, upaya menekan kasus ketika sudah tinggi akan jauh lebih sulit.
“Kudus dan Madura itu telat. Mereka baru bereaksi ketika tinggi. Kemungkinan ke depan masih akan naik terus, karena kalau sudah tinggi baru diatasi, kemampuan melakukan tes akan berpengaruh. Kalau kasusnya terlalu banyak, tenaga kesehatan untuk melakukan upaya tes mungkin tidak lagi cukup,” tambah Bayu.
Meski terlambat, upaya menekan kasus tetap harus dilakukan. Jawa harus memperoleh perhatian khusus karena kondisi kota-kotanya yang nyaris tanpa batas jelas. Dalam kasus di mana varian baru ditemukan, upaya yang dilakukan harus ekstra. Masyarakat dan pemerintah harus berupaya lebih keras, agar dampak buruk varian baru bisa ditekan.
Selain faktor varian baru, menurut Bayu kondisi saat ini sebenarnya adalah sesuatu yang dapat diprediksi. Bahkan tren yang terjadi satu tahun yang lalu, bisa menjadi pijakan untuk memperkirakan apa yang akan terjadi.
“Faktor tren tahun lalu, mobilitas masyarakat, kemampuan tracing dan testing di setiap daerah yang beragam, kemudian kejenuhan masyarakat. Sebenarnya semua ini predictable,” ujar Bayu. [ns/ab]