Hari Kamis (17/1) akan menjadi awal perdebatan langsung antara pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan duet Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Kedua pasangan calon presiden dan wakilnya itu selama satu setengah jam bakal beradu argumen tentang hukum, hak asasi manusia (HAM), korupsi, dan terorisme.
Dalam diskusi yang menyorot visi dan misi kedua pasangan kandidat soal penegakan hak asasi manusia yang berlangsung di Jakarta, Rabu (16/1), Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Amiruddin al-Rahab menilai visi misi kedua calon itu menyedihkan.
Al Rahab menegaskan kedua kandidat presiden yang akan bertarung dalam pemilihan presiden dan wakil presiden pada April tahun ini miskin imajinasi tentang HAM. Dia menjelaskan yang diuraikan dalam visi dan misi keduanya langsung melompat pada program yang berkaitan dengan hal teknis. Alhasil, ia menekankan perdebatan menjelang pemilihan presiden saat ini rumusnya adalah hoaks + hoaks = peningkatan elektabilitas.
"Kalau debat capres bicara kasus, itu soal remeh temeh jadinya. Kasus itu sudah ada undang-undang mengatur institusinya, Anda nggak usah pusing soal itu. Dari menyelesaikan kasus itu, kita mau ke mana? Itu nggak ada dua-duanya. Kedua, ada persoalan di depan mata yang sangat serius hari ini soal hak asasi manusia, dua-duanya nggak sebut satupun. Dalam menjaga keutuhan kebangsaan kita, Papua itu mau diapain?," kata Amiruddin.
Amiruddin mengatakan jika visi dan misi calon presiden miskin ide, demokrasi di Indonesia tidak akan pernah maju. Visi dan misi calon presiden mestinya mengimplementasikan konstitusi, soal kenegaraan, karena HAM bukan sekadar instrument namun norma dasar dalam penyelenggaraan negara.
Deputi Direktur Riset ELSHAM, Wahyudi Djafar menjelaskan meski Indonesia sudah meratifikasi dua kovenan HAM dan hampir semua perjanjian internasional mengenai HAM, namun situasi HAM di tanah air masih memiliki banyak catatan. Dia menambahkan kerja-kerja birokrasi menjadi kendala untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip perlindungan HAM diIndonesia.
Dalam laporan ELSHAM yang dilansir tahun lalu, lanjutnya, masih terjadi stagnasi penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu.
"Hampir semua presiden pasca reformasi belum mampu untuk secara konsisten, secara sempurna, menyelesaikan berbagai warisan, ganjalan persoalan, dugaan atas berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Dari periode Megawati, periode SBY, lalu empat tahun terakhir Jokowi, situasinya masih sama, stagnan, kemandekan baik dalam konteks pengungkapan melalui pengadilan, pengungkapan kebenaran, reparasi korban dan seterusnya, situasinya mandek," ungkap Wahyudi.
Selain itu, saat ini terjadi peningkatan intoleransi yang berdampak pada kebebasan beragama dan berkeyakinan. Wahyudi menambahkan yang menjadi sasaran adalah kelompok minoritas agama dan minoritas yang lain.
Lebih lanjut Wahyudi mengungkapkan salah satu ancaman utama saat ini adalah menyangkut hak privasi, yakni bagaimana data pribadi kita diperjualbelikan dengan bebas, diakses oleh semua pihak, dan bahkan negara, untuk beragam kepentingan tanpa mekanisme pemulihan dan perlindungan yang memadai yang disediakan oleh negara.
Wahyudi menambahkan saat ini terjadi kesalahan konsep dalam pelaksanaan kebebasan berekspresi dan berpendapat, terkait isu ujaran kebencian dan penggunaan pasal-pasal pencemaran nama baik. Miskonsepsi ini juga terjadi di level aparatur negara dan kelompok politik.
Terkait visi dan misi kedua calon presiden, Wahyudi sepakat Joko Widodo dan Prabowo Subianto masih menempatkan HAM sebagai agenda sektoral dalam pembangunan di bidang hukum. Kedua kandidat presiden belum menjadikan HAM sebagai pilar, paradigma, atau pendekatan bagi seluruh agenda pembangunan.
Wahyudi menambahkan visi dan misi Joko Widodo tidak secara detail menjelaskan kendala dan hambatan dalam pencapaian yang dihadapi pada periode sebelumnya. Karena lima tahun lalu, kubu Joko Widodo sudah memasukkan hal itu dalam visi dan misi.
Sedangkan visi dan misi duet Prabowo-Sandi sebatas merespon isu-isu yang dihadapi kelompoknya. Wahyudi menjelaskan isu kebebasan berekpsresi dan berpendapat berkaitan dengan isu kriminalisasi ulama, diskriminasi dalam penegakan hukum terkait dengan gerakan ganti presiden dilarang di beberapa tempat, kemudian kebebasan berserikat karena Jokowi membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Direktur Imparsial Al 'Araf mengatakan politik elektoral dalam negara demokrasi harus dibangun dengan alam politik yang sehat dan rasional. Sehingga politik mesti dibangun dengan cara adu ide dan gagasan untuk memastikan kebahagiaan masyarakat, bukan dengan menyebarkan hoaks, kampanye hitam, dan konten-konten yang sifatnya sama sekali tidak memiliki data dan fakta.
Dalam sistem politik masih transisional seperti Indonesia, menurut Al 'Araf, penggunaan segala cara untuk meraih kekuasaan dengan kampanye hitam, bisa membuka peluang terjadinya konflik dan kekerasan. Termasuk di dalamnya politisasi isu kebangkitan komunis meski faktanya komunis sudah tidak ada di Indonesia dan dinyatakan sebagai paham terlarang.
"Efeknya bukan terhadap kandidat saja, tetapi efeknya adalah pada upaya pemajuan HAM dan proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Misalkan teman-teman kelompok aktivis HAM kalau ingin berbicara tentang 1965, mereka yang berusaha untuk mencari kasus pelanggaran HAM pada 1965, pasti akan dituduh dengan berbagai macam stigmatisasi isu komunis yang direproduksi oleh para petarung politik kekuasaan demi memenangkan kekuasaan," tukas Al Araf.
Al 'Araf menegaskan publik sebenarnya sangat menanti proses politik dalam membangun ide dan gagasan melalui visi dan misi itu dapat memberikan ruang baru yang lebih sehat tentang Indonesia ke depan akan seperti apa dalam konteks HAM, penegakan hukum, dan terorisme.
Karena itu, dia mengatakan debat capres bukan sebatas debat tetapi menjadi janji politik yang bisa berimplikasi terhadap siapa saja yang menang dalam pemilihan presiden nanti.
Direktur Program Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf, Aria Bima mengatakan persoalan HAM yang diusung kandidatnya akan menyoroti persoalan hak ekonomi, sosial dan budaya. Menurutnya persoalan ini sama pentingnya dengan keinginan untuk mengungkap pelanggaran HAM masa lalu. [fw/em]
Sedangkan salah satu tim pemenangan Prabowo-Sandi, Ledia Hanifa Amalia mengatakan pihaknya sepakat tidak mengungkit persoalan pribadi dan masa lalu setiap kandidat.