Presiden Prabowo Subianto menegaskan koruptor bisa saja dimaafkan asalkan mengembalikan uang hasil kejahatannya kepada negara, secara terbuka atau diam-diam. Hal ini disampaikannya dalam pertemuan dengan mahasiswa Indonesia di Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, baru-baru ini.
“Hai para koruptor, atau yang merasa pernah mencuri uang rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kita maafkan. Tapi kembalikan dong!" ungkapnya.
Presiden juga mengingatkan kepada para pemangku kepentingan yang mendapatkan fasilitas negara agar menjalankan kewajiban masing-masing dan senantiasa taat pada hukum karena ia tidak segan-segan mengambil tindakan tegas terhadap mereka.
Kritik
Peneliti di Pusat Kajian AntiKorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada, Zainur Rohman, mengatakan meskipun bertujuan yang baik, pada kenyataannya wacana itu justru akan berbahaya dan bertentangan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Di dalam pasal 4 UU Tipikor disebutkan pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapus pidana, sehingga penuntutan terhadap koruptor tidak dihapus meski pelaku telah mengembalikan hasil korupsi kepada negara, tegas Zainur.
Dari sisi hukum, pengembalian kerugian negara berpotensi menimbulkan dampak terhadap tuntutan yang akan diajukan oleh jaksa ataupun vonis yang akan dijatuhkan oleh hakim. Pengembalian uang negara, tambah Zainur, dapat menjadi alasan untuk meringankan sanksi hukum karena dinilai sebagai salah satu bentuk sikap koorporatif.
“Jadi secara hukum saat ini tidak boleh ada pelaku tindak pidana korupsi yang tidak diproses hanya karena mengembalikan kerugian keuangan negara,” tegasnya.
Sementara secara praktik, tidak mungkin pelaku tindak pidana korupsi mau mengembalikan hanya karena “kata-kata" karena mereka akan gentar dengan bentuk penindakan. Ini terbukti dengan begitu banyaknya koruptor yang lolos dari jerakan aparat penegak hukum.
"Oleh karena itu menggunakan instrumen hukum dan kerja sama aparat kepolisian kejaksaan, KPK, dll, merupakan cara paling efektif dalam pemberantasan korupsi, khususnya dalam bentuk penindakan," kata Zainur.
Lebih jauh peneliti yang lama menekuni isu pemberantasan korupsi ini menilai wacana pengampunan koruptor itu justru sangat berbahaya karena dapat dipandang sebagai sinyal pemberian insentif pada koruptor. Pelaku korupsi perorangan tidak bisa diampuni meski sudah mengembalikan uang ke negara, ujarnya seraya menambahkan, yang berpotensi mendapatkan pengampunan hanya koorporasi yang terbukti korupsi, melalui perjanjian penundaan penuntutan.
Merongrong Supremasi Hukum
Peneliti di Transparency Internasional Indonesia Alvin Nicola menilai pernyataan Presiden Prabowo ini “serampangan” karena sistem hukum Indonesia jelas-jelas tidak mengenal amnesti bagi koruptor atau pelaku kejahatan ekonomi.
Merujuk pada negara-negara yang memiliki skor Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang tinggi, mereka justru memaksimalkan hukuman pidana badan, dan sekaligus perampasan aset. “Bukan sebaliknya!” tegas Alvin, “karena jika tidak maka justru akan semakin menggerus kepercayaan publik dan investor karena tidak ada kepastian hukum.”
Alvin juga menyoroti besarnya potensi penyalahgunaan kepentingan politik ketika pemberian ampunan – yang tidak memiliki landasan hukum – dilakukan oleh elit politik kepada lingkaran elit politik lain. Situasi ini kelak akan mendorong munculnya budaya impunitas di mana calon pelaku kejahatan berasumsi bahwa korupsi pada akhirnya akan diabaikan atau diampuni.
“Menurut saya, untuk mewujudkan wacana ini (pemberian ampunan bagi koruptor selama ia mengembalikan hasil korupsi pada negara -red), maka yang perlu disegerakan adalah amandemen UU Perampasan Aset. Karena jika tidak maka saya kira ini sama saja wacana dan justru akan kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi yang sudah digadang-gadang presiden sejak awal,” ungkapnya. [fw/em]
Forum