Keadaan darurat akibat terus meluasnya virus corona kembali membuat pasar saham anjlok ke titik terendah sejak “Black Monday” tahun 1987, memperpanjang penjualan saham besar-besaran yang telah menghapuskan sebagian besar keuntungan Wall Street sejak Presiden Donald Trump menjabat.
Standard & Poor 500 hari Kamis (12/3) anjlok 9,5% - dengan penurunan total 26,7% atau yang terbanyak sejak angka tertinggi yang dicapai bulan lalu. Ini membuatnya jauh di atas ambang 20 persen yang biasa disebut sebagai memasuki pasar yang lesu, yang secara resmi mengakhiri kenaikan harga-harga saham yang belum pernah terjadi sebelumnya selama hampir 11 tahun. Indeks Dow Jones terpuruk 10% atau kerugian terbesar sejak anjloknya pasar hingga hampir 23% pada 19 Oktober 1987.
Pasar-pasar Eropa juga anjlok 12%, bahkan setelah Bank Sentral Eropa berjanji akan membeli lebih banyak obligasi dan memberikan lebih banyak bantuan.
Penurunan itu terjadi di tengah serangkaian pembatalan dan penutupan di seluruh dunia, termasuk larangan perjalanan bagi sebagian besar penduduk negara Eropa ke Amerika, dan meningkatnya kekhawatiran bahwa Gedung Putih atau otorita berwenang lainnya di seluruh dunia tidak dapat atau tidak mampu menangkal dampak wabah virus corona terhadap perekonomian dalam waktu dekat.
Nilai-nilai saham di Wall Street anjlok begitu cepat sehingga pada saat bel pembukaan pasar berdering langsung memicu penghentian perdagangan selama 15 menit secara otomatis, yang kedua dalam pekan ini. Apa yang disebut sebagai “circuit breaker” atau penghentian perdagangan ini diadakan pertama kali setelah anjloknya pasar than 1987, dan belum pernah digunakan lagi hingga saat ini. [em/ii]