Orang-orang Amerika mulai sedikit gaduh dalam Piala Dunia di Brazil, menunjukkan peningkatan budaya sepakbola di sebuah negara yang lambat merangkul permainan paling populer di dunia itu.
Apakah mereka menyebutnya 'football' atau 'soccer', para pendukung AS yang berpesta pora dalam kemenangan 2-1 melawan Ghana membantu mendorong sejenis ikatan komunitas dan kesukuan yang merupakan karakter olahraga tersebut, dan terutama Piala Dunia, sebuah peristiwa tak tergantikan bagi banyak negara di dunia.
Guy Cross, seorang warga Amerika yang berayah warga Inggris, telah lama mendukung tim nasional AS namun ia mengatakan awalnya pergi ke pertandingan merupakan pengalaman yang membuat frustrasi karena terbiasa dengan atmosfer yang lebih hidup.
"Namun perubahan telah terjadi dalam 20 tahun terakhir. Dukungan menjadi lebih intens dan lebih luas dan orang-orang sekarang lebih berpengetahuan mengenai permainan tersebut," ujarnya.
Sebelum pertandingan pembukaan AS melawan Ghana di Natal, para penggemar dengan riasan wajah dan memegang bendera berkumpul di restoran-restoran dekat stadion.
Pakaian mereka berkisar antara seragam tim sampai kostum pahlawan super dan modifikasi bendera Amerika, dan ratusan pendukung itu minum bir dan saling memukul bola pantai di sekitar bangsal besar.
Jordan Armstrong, 32, yang bersiap untuk pertandingan dengan memakai kostum pria Duff Beer dari serial kartun The Simpsons, mengatakan telah melihat peningkatan komitmen dari para pendukung AS yang mengadopsi tradisi-tradisi dari rumah dan luar negeri untuk mendorong budaya sepakbola yang semakin tumbuh.
"Kegemaran ini tidak diturunkan oleh orangtua kami. Mudah-mudahan generasi kami bisa meneruskannya. Negara-negara lain memiliki sejarah budaya sepakbola lebih dari satu abad. Kita baru sekitar 15 tahun," ujarnya.
Di Amerika sendiri sekarang ini, lebih dari 13 juta orang bermain sepakbola sementara stadion-stadion Liga Sepakbola Utama (MLS) rata-rata ditonton 18.000 pendukung setiap pertandingan -- lebih banyak dari liga-liga profesional dari negara-negara sepakbola tradisional.
Banyak orang Amerika juga sekarang sama berdedikasinya dengan pendukung di negara asing, terbang dari seluruh dunia untuk mengikuti tim mereka dari pertandingan babak kualifikasi sampai Piala Dunia, seperti yang dilakukan Korey Donahoo yang menghadiri enam dari 10 pertandingan AS dalam jalan menuju Brazil.
Perilaku pendukung sepakbola AS sendiri merupakan campuran berbagai hal: Melompat-lompat seperti yang dilakukan para mahasiswa dalam pertandingan bola basket, memukul drum seperti negara-negara Amerika Selatan dan bernyanyi seperti di negara-negara Eropa.
Para pendukung sepakat bahwa yang mendefinisikan budaya sepakbola AS adalah perilaku positif terhadap tim dan sesama pendukung dan pendukung lawan.
Saat bertanding dengan Ghana, para pendukung AS terus menyenandungkan "We believe, we believe, we believe, we will win" (Kami yakin, kami yakin, kami yakin, kami akan menang) sampai peluit akhir pertandingan berbunyi. (Reuters)
Apakah mereka menyebutnya 'football' atau 'soccer', para pendukung AS yang berpesta pora dalam kemenangan 2-1 melawan Ghana membantu mendorong sejenis ikatan komunitas dan kesukuan yang merupakan karakter olahraga tersebut, dan terutama Piala Dunia, sebuah peristiwa tak tergantikan bagi banyak negara di dunia.
Guy Cross, seorang warga Amerika yang berayah warga Inggris, telah lama mendukung tim nasional AS namun ia mengatakan awalnya pergi ke pertandingan merupakan pengalaman yang membuat frustrasi karena terbiasa dengan atmosfer yang lebih hidup.
"Namun perubahan telah terjadi dalam 20 tahun terakhir. Dukungan menjadi lebih intens dan lebih luas dan orang-orang sekarang lebih berpengetahuan mengenai permainan tersebut," ujarnya.
Sebelum pertandingan pembukaan AS melawan Ghana di Natal, para penggemar dengan riasan wajah dan memegang bendera berkumpul di restoran-restoran dekat stadion.
Pakaian mereka berkisar antara seragam tim sampai kostum pahlawan super dan modifikasi bendera Amerika, dan ratusan pendukung itu minum bir dan saling memukul bola pantai di sekitar bangsal besar.
Jordan Armstrong, 32, yang bersiap untuk pertandingan dengan memakai kostum pria Duff Beer dari serial kartun The Simpsons, mengatakan telah melihat peningkatan komitmen dari para pendukung AS yang mengadopsi tradisi-tradisi dari rumah dan luar negeri untuk mendorong budaya sepakbola yang semakin tumbuh.
"Kegemaran ini tidak diturunkan oleh orangtua kami. Mudah-mudahan generasi kami bisa meneruskannya. Negara-negara lain memiliki sejarah budaya sepakbola lebih dari satu abad. Kita baru sekitar 15 tahun," ujarnya.
Di Amerika sendiri sekarang ini, lebih dari 13 juta orang bermain sepakbola sementara stadion-stadion Liga Sepakbola Utama (MLS) rata-rata ditonton 18.000 pendukung setiap pertandingan -- lebih banyak dari liga-liga profesional dari negara-negara sepakbola tradisional.
Banyak orang Amerika juga sekarang sama berdedikasinya dengan pendukung di negara asing, terbang dari seluruh dunia untuk mengikuti tim mereka dari pertandingan babak kualifikasi sampai Piala Dunia, seperti yang dilakukan Korey Donahoo yang menghadiri enam dari 10 pertandingan AS dalam jalan menuju Brazil.
Perilaku pendukung sepakbola AS sendiri merupakan campuran berbagai hal: Melompat-lompat seperti yang dilakukan para mahasiswa dalam pertandingan bola basket, memukul drum seperti negara-negara Amerika Selatan dan bernyanyi seperti di negara-negara Eropa.
Para pendukung sepakat bahwa yang mendefinisikan budaya sepakbola AS adalah perilaku positif terhadap tim dan sesama pendukung dan pendukung lawan.
Saat bertanding dengan Ghana, para pendukung AS terus menyenandungkan "We believe, we believe, we believe, we will win" (Kami yakin, kami yakin, kami yakin, kami akan menang) sampai peluit akhir pertandingan berbunyi. (Reuters)