Tautan-tautan Akses

Warga Gaza Puji Akhir Hidup Yahya Sinwar: Tetap Lempar Tongkat ke Drone Israel


Yahya Sinwar, pemimpin Hamas Palestina di Jalur Gaza, meletakkan tangannya di dada di atas panggung setelah menyapa para pendukungnya dalam sebuah unjuk rasa pada 24 Mei 2021, di Kota Gaza, Jalur Gaza. (Foto: AP)
Yahya Sinwar, pemimpin Hamas Palestina di Jalur Gaza, meletakkan tangannya di dada di atas panggung setelah menyapa para pendukungnya dalam sebuah unjuk rasa pada 24 Mei 2021, di Kota Gaza, Jalur Gaza. (Foto: AP)

Sebuah video menunjukkan detik-detik terakhir kehidupan Yahya Sinwar. Ia tampak menggunakan masker, dan terlihat terluka di sebuah apartemen yang hancur akibat tembakan. Namun, di tengah kondisi tersebut ia tetap berusaha melemparkan tongkat ke arah drone yang merekamnya.

Bagi seorang ayah dari Gaza, kematian pemimpin Hamas Yahya Sinwar saat mencoba menghalau drone dengan tongkat dalam pertempuran dianggap sebagai "kematian seorang pahlawan."Sementara bagi yang lain, ini menjadi contoh bagi generasi mendatang, meskipun beberapa orang menyesalkan besarnya biaya perang yang ditimbulkan akibat konflik dengan Israel.

Sinwar, yang merancang serangan mematikan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang memicu perang di Gaza, tewas dalam baku tembak dengan pasukan Israel pada Rabu (16/10), dan kematiannya diumumkan pada Kamis (17/10). Selama setahun terakhir, Israel melakukan pengejaran terhadap Sinwar.

Sebuah video menunjukkan detik-detik terakhir kehidupan Sinwar. Ia tampak menggunakan masker, dan terlihat terluka di sebuah apartemen yang hancur akibat tembakan. Namun, di tengah kondisi tersebut ia tetap berusaha melemparkan tongkat ke arah drone yang merekamnya. Hal itu memantik rasa bangga di kalangan warga Palestina.

Sebuah papan reklame yang menggambarkan pemimpin Hamas yang terbunuh, Yahya Sinwar, dengan slogan berbahasa Arab "jika Sinwar meninggalkan medan perang, Palestina akan melahirkan seribu Sinwar", 18 Oktober 2024. (Foto: AFP)
Sebuah papan reklame yang menggambarkan pemimpin Hamas yang terbunuh, Yahya Sinwar, dengan slogan berbahasa Arab "jika Sinwar meninggalkan medan perang, Palestina akan melahirkan seribu Sinwar", 18 Oktober 2024. (Foto: AFP)

"Ia meninggal sebagai pahlawan, menyerang, bukan melarikan diri, mencengkeram senapannya, dan bertempur melawan tentara pendudukan di garis depan," kata pernyataan Hamas yang berduka atas kematian Sinwar.

Dalam pernyataan itu, Hamas bertekad bahwa kematian Sinwar hanya akan memperkuat gerakan tersebut, seraya menambahkan bahwa Hamas tidak akan berkompromi dengan syarat-syarat untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata dengan Israel.

"Ia meninggal dengan mengenakan rompi militer, bertempur dengan senapan dan granat, dan ketika ia terluka dan berdarah, ia tetap bertempur dengan tongkat. Beginilah cara para pahlawan meninggal," kata Adel Rajab, 60 tahun, seorang ayah dua anak di Gaza.

"Saya telah menonton video itu 30 kali sejak tadi malam, tidak ada cara yang lebih baik untuk meninggal," kata Ali, seorang pengemudi taksi berusia 30 tahun di Gaza.

"Saya akan menjadikan video ini sebagai tugas harian untuk ditonton demi anak-anak saya, dan cucu-cucu saya di masa mendatang," kata ayah dua anak itu.

Serangan yang direncanakan Sinwar terhadap komunitas Israel setahun lalu mengakibatkan sekitar 1.200 orang tewas, sebagian besar merupakan warga sipil, sementara 253 orang lainnya diculik dan dibawa ke Gaza sebagai sandera, menurut catatan dari pihak Israel.

Perang Israel berikutnya telah menghancurkan Gaza, menewaskan lebih dari 42.000 warga Palestina, dengan 10.000 korban tewas lainnya yang tidak terhitung jumlahnya diperkirakan terkubur di bawah reruntuhan, kata otoritas kesehatan Gaza.

Dalam pidato terakhirnya, Sinwar menyatakan bahwa ia lebih memilih mati di tangan Israel daripada terkena serangan jantung atau kecelakaan mobil. Pernyataannya itu sering dibagikan oleh warga Palestina lewat platform daring.

"Hadiah terbaik yang dapat diberikan musuh, dan pendudukan kepada saya adalah membunuh saya, dan saya akan menjadi martir di tangan mereka," katanya.

Pemimpin Hamas Yahya Sinwar menggendong anak seorang pejuang Brigade Al-Qassam, yang tewas dalam pertempuran baru-baru ini dengan Israel, dengan senapan Kalashnikov di tangannya selama unjuk rasa di Kota Gaza pada 24 Mei 2021. (Foto: AFP)
Pemimpin Hamas Yahya Sinwar menggendong anak seorang pejuang Brigade Al-Qassam, yang tewas dalam pertempuran baru-baru ini dengan Israel, dengan senapan Kalashnikov di tangannya selama unjuk rasa di Kota Gaza pada 24 Mei 2021. (Foto: AFP)

Perekrutan

Saat ini, beberapa warga Palestina bertanya-tanya apakah Israel akan menyesal membiarkan keinginan itu disiarkan secara publik, yang bisa dijadikan alat perekrutan bagi organisasi yang berkomitmen untuk menghancurkannya.

“Mereka bilang dia bersembunyi di terowongan, dan menjaga sandera Israel di dekatnya untuk menyelamatkan hidupnya. Kemarin, kami melihat dia memburu tentara Israel di Rafah, tempat pendudukan sudah beroperasi sejak Mei,” kata Rasha, seorang ibu empat anak yang kini mengungsi.

"Begitulah cara para pemimpin bertindak, dengan senapan di tangan. Saya mendukung Sinwar sebagai seorang pemimpin dan hari ini saya bangga padanya sebagai seorang martir," tambahnya.

Sebuah jajak pendapat pada September menunjukkan mayoritas warga Gaza menganggap serangan 7 Oktober sebagai keputusan yang salah. Semakin banyak warga Palestina pada saat itu yang ragu Sinwar akan melanjutkan perang yang telah membawa penderitaan besar bagi mereka.

Akankah Kematian Yahya Sinwar Kuatkan Kemungkinan Gencatan Senjata?
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:12 0:00

Rajab, yang memuji kematian Sinwar sebagai tindakan heroik, mengatakan dia tidak mendukung serangan 7 Oktober, karena percaya bahwa warga Palestina tidak siap untuk berperang habis-habisan dengan Israel. Namun dia mengatakan cara kematiannya "membuat saya bangga sebagai warga Palestina".

Baik di Gaza maupun di Tepi Barat, orang-orang mempertanyakan apakah kematian Sinwar akan mempercepat akhir perang. Kedua tempat tersebut merupakan tempat Hamas mendapatkan dukungan yang signifikan.

Di Hebron, yang menjadi pusat konflik di Tepi Barat, Ala'a Hashalmoon menyatakan bahwa kematian Sinwar tidak akan menghadirkan pemimpin yang lebih memilih pendekatan damai. "Kesimpulannya, siapa pun yang mati akan digantikan oleh seseorang yang lebih keras kepala," ujarnya.

Dan di Ramallah, Murad Omar, 54 tahun, memperkirakan tidak banyak yang akan berubah di lapangan. "Perang akan terus berlanjut dan tampaknya tidak akan segera berakhir," tukasnya. [ah/ft]

Forum

XS
SM
MD
LG