Lahir dan besar di Jakarta yang padat penduduk dan dibelit kemacetan lalu lintas, aktivis lingkungan Khalisah Khalid sudah lama kesal dengan udara ibu kota yang tercemar.
Putrinya yang masih kecil sudah mengalami gangguan kesehatan sejak lahir, dan dia meyakini kondisinya diperburuk oleh polusi udara yang semakin tercemar.
"Kesehatannya semakin terancam dengan kualitas udara Jakarta yang semakin kotor," kata Khalisah mengenai putrinya yang kini berusia 10 tahun, seperti dikutip dari Reuters.
"Kami ingin pemerintah membuat aturan untuk memastikan warga memiliki lingkungan dan udara yang baik."
Ibu berusia 42 tahun itu adalah satu dari 32 penggugat warga negara terhadap Presiden Joko Widodo, Menteri Kesehatan, Menteri Lingkungan Hidup dan Dalam Negeri, serta beberapa pimpinan daerah. Mereka menuntut pemerintah memperbaiki udara tidak sehat yang mereka hirup.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diharapkan untuk memutuskan gugatan yang dilayangkan pada 2019, pada Kamis (20/5). Namun, Khalisah mengatakan keputusan itu ditunda karena hakim membutuhkan waktu untuk mempertimbangkan putusan mereka.
Menurut perusahaan teknologi kualitas udara Swiss, IQAir, dari kota-kota di dunia dengan polusi udara terburuk tahun lalu, 148 negara di urutan teratas berada di kawasan Asia-Pasifik.
Tim kuasa hukum penggugat mengklaim pihak pemerintah telah lalai terhadap lingkungan dengan gagal mencegah warganya terpapardampak kesehatan akibat polusi udara.
Mereka berpendapat bahwa penelitian ilmiah menunjukkan kualitas udara yang buruk dapat menyebabkan asma, penyakit jantung koroner, stroke, penyakit paru obstruktif kronik, dan penurunan angka harapan hidup.
Irvan Pulungan, utusan khusus Gubernur DKI Jakarta untuk perubahan iklim, mengatakan pemerintah kota telah mengeluarkan peraturan baru sejak gugatan itu diajukan. Aturan-aturan baru itu di antaranya tentang pemasangan panel surya di gedung-gedung pemerintah dan mendorong uji emisi.
“Gugatan itu merupakan upaya kolaboratif untuk mendorong sesuatu yang tidak hanya pro-rakyat, pro-lingkungan, tetapi juga pro-keadilan sosial,” katanya seraya menambahkan bahwa pemerintah daerah dan pusat perlu berintegrasi untuk memaksimalkan efektivitas kebijakan.
Pada tahun 2019, Jakarta juga mengumumkan pembatasan baru pada penggunaan mobil pribadi untuk mencoba dan mengendalikan polusi udara.
Juru bicara kepresidenan tidak segera menanggapi permintaan komentar untuk berita tersebut.
Center on Energy and Clean Air (CREA) mengatakan urbanisasi yang cepat dan masalah lalu lintas yang kronis merupakan faktor penyebab kualitas udara yang buruk di Jakarta, di samping pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang beroperasi tidak jauh dari ibu kota.
Pemantauan kualitas udara fine particle matter (PM 2.5) oleh Kedutaan Besar AS di Jakarta pada 2019 menunjukkan ibu kota mengalami 172 hari tidak sehat dalam setahun, atau lebih dari 50 persen selama satu tahun.
Kualitas udara Jakarta tidak meningkat secara signifikan, meski ada pemberlakuan pembatasan sosial selama pandemi COVID-19. CREA dalam laporan pada Agustus 2020 mencatat citra satelit menunjukkan pembangkit listrik di Banten beroperasi seperti biasa. CREA melakukan analisa polusi udara lintas batas di Jakarta dan sekitarnya.
PLTU, katanya, membuat orang terpapar partikel beracun, beberapa mikroskopis, seperti PM2,5, ozon, dari nitrogen oksida, dan logam berat seperti merkuri. [ah/au/ft]