Kepala Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), Bambang Darmono, mengaku telah menerima laporan seputar pemindahan beberapa ibukota kabupaten di Papua Barat, yang berujung pada masalah-masalah ekonomi antara warga asli dan pendatang. Namun, ia mengharapkan persoalan ini jangan dianggap sebagai ancaman bagi penduduk lokal. Demikian yang ia sampaikan usai pertemuan UP4B bersama aktivis LSM dan akademisi, di Jakarta, Selasa sore.
“Bukan hanya di Arso (Ibukota Kabupaten Keerom, Papua Barat) ada di beberapa tempat memang dan saya menerima laporan-laporan ini. Tentu harus kita selesaikan kasus per kasus. Saya harus jawab bahwa memang ada beberapa daerah yang pendatangnya lebih besar, tetapi kalau bicarakan mayoritas di kota/kabupaten Papua mayoritasnya masih lebih banyak warga Papua lho,” ujar Bambang Darmono.
Seterusnya, mantan Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) Nanggroe Aceh Darussalam, ini mengatakan penambahan jumlah pendatang tidak hanya di kawasan-kawasan tertentu, tetapi nyaris di sebagian besar kabupaten/kota di Papua Barat.
Bambang Darmono menambahkan, “Beberapa tempat memang iya. Tak cuma di daerah yang subur-subur, terutama di sebagian besar Provinsi Papua Barat memang jumlah pendatangnya lebih besar, tetapi mari kita tidak melihat perbedaan-perbedaan itu. Yang penting buat saya adalah bagaimana kualitas pembangunan itu bisa kita wujudkan di tempat itu, itu concern (keprihatinan) kita.”
Dengan porsi anggaran otonomi khusus sekitar Rp1 Trilyun; masing-masing untuk Papua dan Papua Barat, pemerintah sangat mengharapkan wilayah di ujung Timur Indonesia ini akan berkembang secara ekonomis, termasuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, kata Bambang Darmono.
Sebelumnya, Tokoh Papua, Pater John Djonga dalam sebuah diskusi akhir pekan lalu, mengatakan Keerom adalah kabupaten baru di Papua Barat. Daerah ini dulunya menjadi tempat deklarasi Papua Merdeka, tepatnya di Markas Victoria, Waris.
“Di Waris hanya ada satu dusun ada 16 atau 17 KK diatur oleh TNI di mana ada 20 anggota TNI juga tinggal di sana bersama masyarakat. Daerah ini daerah “merah” karena menjadi tempat persembunyian OPM,” papar Pater John Djonga.
John Djonga, peraih penghargaan Yap Thiam Hien tahun 2009, sangat prihatin dengan kondisi terakhir di wilayah-wilayah perbatasan Papua dan Papua New Guinea –karena masyarakat asli tidak lagi punya lahan, yang telah habis untuk industri sawit. Pihak pengusaha juga lebih banyak mempekerjakan para pendatang asal Jawa.
Pater John Djonga mengatakan, “Daerah Keerom dari segi pendidikan, kesejahteraan, ekonomi dan kesejahteraan sangat terlantar. Sebagian besar orang Arso Keerom itu sudah tidak punya tanah. (Perkebunan) kelapa sawit PTP II melakukan penipuan dari (pengambilalihan) 5.000 hektar menjadi 50 ribu hektar, setelah serah terima di sebuah hotel di Medan, setelah acara minum-minum dengan tokoh-tokoh adat Keerom.”
Berdasarkan hasil penelitian John Djonga dan Cypri J. P. Dale tahun lalu, dari 48.536 jiwa penduduk Keerom, nyaris 60 persen dihuni oleh penduduk non-Papua. Persentasi orang asli Papua turun drastis dari hampir 100 persen pada tahun 1963, menjadi 40 persen pada tahun 2010.
Komposisi penduduk ini merupakan hasil dari program transmigrasi resmi Pemerintah, pembukaan lahan kelapa sawit, migrasi spontan terkait dengan kegiatan ekonomi dan pemekaran, serta migrasi para pegawai dan pejabat pemerintahan setelah Keerom menjadi kabupaten. Namun, situasi ini mengakibatkan banyak masyarakat asli lari ke Papua Nugini, karena merasa tidak lagi memiliki tanah adat.