Menjelang peringatan 9 tahun semburan lumpur Lapindo pada 29 Mei, sebagian warga penyintas akibat luapan lumpur Lapindo melakukan ziarah serta doa bersama ke makam leluhur. Meski tidak ada lagi makam atau batu nisan yang dapat dijadikan tempat ziarah karena semuanya sudah terkubur lumpur, warga secara rutin menggelar doa bersama dan menabur bunga di atas tanggul lumpir Lapindo, yang dipercayai sebagai lokasi tempat pemakaman keluarga mereka sebelum terendam lumpur.
Sutrisno, seorang penyintas lumpur Lapindo asal Desa Kedungbendo, Kecamatan Tanggulangin, mengatakan doa dan tabur bunga kepada arwah leluhur yang sudah meninggal akan tetap dilakukan, meski kondisi makam tidak lagi terlihat.
Sebelum dilakukan ziarah makam dan tabur bunga oleh penyintas lumpur Lapindo, aksi teaterikal dilakukan oleh 9 orang “Manusia Lumpur.” Aksi yang diprakarsai oleh seniman kontemporer Dadang Christanto, menampilkan 9 orang manusia lumpur yang berjalan di tengah kolam penampungan lumpur sambil membawa bendera Merah Putih. Setelah menemukan titik yang dianggap pas, 9 orang manusia lumpur itu menancapkan tongkat yang terpasang bendera Merah Putih.
Dadang Christanto mengatakan, makna 9 orang manusia lumpur ingin mengingatkan kepada pemerintah serta Lapindo Brantas, agar tidak melupakan tanggungjawabnya terhadap warga yang masih belum menerima haknya selaku penyintas selama 9 tahun.
Sutrisno berharap pemerintahan Presiden Joko Widodo segera merealisasikan janjinya untuk melunasi seluruh ganti rugi korban lumpur Lapindo sebelum Hari Raya Idul Fitri tahun ini. Penyintas lumpur Lapindo tidak ingin persoalan ganti rugi terus molor dari jadwal, karena dapat berdampak pada kondisi mental serta kesehatan warga yang telah lama menderita.
“Adanya pemerintahan baru ini, Pak Jokowi, membuat harapan, lega, menyatakan bahwa insyaallah sebelum lebaran ini akan selesai. Ya harapan saya kalau bisa jangan sampai molor, karena ini sudah 9 tahun, kalau nanti molor lagi sampai 10 tahun, bagaimana nasibnya warga korban Lapindo ini. Sekarang ini banyak korban Lapindo yang meninggal, yang strok, karena adanya pemikiran yang selalu menghuni di pikiran orang-orang itu, kapan kita ini akan selesai untuk bisa mendapatkan rumah yang layak untuk hidup,” urainya.