Satuan Tugas Operasi Tinombala 2016 terus berupaya menekan kelompok teroris Santoso lewat berbagai patroli dan penggerebekan, maupun dengan memutus pasokan bahan makanan dan kebutuhan lain. Untuk itu beberapa pos pemeriksaan yang disebut sebagai "pos sekat" didirikan di sejumlah lokasi.
Kabid Humas Polda Sulawesi Tengah AKBP Hari Suprapto menyampaikan hal ini kepada VOA Rabu siang (20/4).
“Supaya mereka ada hambatan di dalam mencari tambahan logistik kemudian mereka ada hambatan terhadap istilahnya jaringan mereka untuk menyuplai logistik ke dalam baik yang bersifat persenjataan, bahan makan maupun peralatan lain pendukung seperti batere, solar cell, bahan bahan untuk membuat bom dan seterusnya,” tuturnya.
Namun demikian, strategi ini berdampak pada petani kebun yang kini tidak lagi bebas membawa bekal berlebih dan bermalam di lahan kebun, yang umumnya berada di sekitar kaki gunung, karena khawatir dirampas atau diambil kelompok Santoso.
Ratiani Sengi (35) warga desa Tamadue, Kecamatan Lore Timur kepada VoA mengatakan selama kelompok Santoso belum tertangkap, ia sangat khawatir dengan keselamatannya. Disatu sisi mereka khawatir jika pergi ke kebun akan menjadi korban serangan kelompok itu atau sebaliknya menjadi korban baku tembak aparat. Di sisi lain mereka juga khawatir jika tidak berkebun maka tidak memiliki uang untuk mencukupi kebutuhan keluarga, terutama sekolah anak-anak. Walhasil mereka memilih tetap berkebun di tengah pelaksanaan operasi keamanan itu.
“Yang saya rasakan sebagai warga disini, yah keamanan kita terganggu, tidak bisa kemana mana untuk cari uang,” papar Ratiani Sengi.
Setiap menuju ke kebunnya, Ratiani Sengi dan warga desa lainnya harus melewati pos pemeriksaan yang disebut sebagai pos sekat. Di tempat itu petugas TNI/Polri akan melakukan pemeriksaan identitas dan sekaligus barang bawaan dan bahan makanan yang hendak di bawah menuju ke kebun. Warga umumnya dilarang membawa perbekalan berlebih, dalam arti mereka disarankan hanya membawa makanan untuk di konsumsi di hari itu saja. Aparat juga melarang warga bermalam di kebun demi alasan keamanan.
“Kita bisa ke kebun tapi tidak bisa sampai malam, maksimal jam 3 sore saja, sudah harus pulang, karena masih waspada,” imbuh Ratiani.
Un Rompas kepala desa Maholo mengungkapkan sejak kelompok Santoso diketahui ada di pegunungan sekitar desa mereka, rasa aman warga pun terusik.
“Pertanyaannya sampai kapan masyarakat ini dibebani untuk dilarang melakukan aktifitas sementara solusi untuk masyarakat itu tidak ada, jadi kiranya ini tidak hanya ada larangan untuk beraktifitas, tapi ada solusilah agar ini ada keseimbangan,” harap Rompas.
Warga lain - Ferdinand Rohongi berharap agar operasi Tinombala 2016 yang mengerahkan 3.000 ribu personel aparat dari satuan elit TNI/Polri itu bisa secepatnya menangkap Santoso dan kelompoknya yang kini disebut-sebut hanya tinggal 27 orang.
Ferdinand mengatakan, “Kita mengharapkan hasil dari Operasi ini bisa mengembalikan status atau keadaan seperti semula. Kita bertanya tanya bagaimana target target dari operasi ini, kita setiap hari suka nonton televisi bagaimana hasil operasi Tinombala, sehingga orang sekarang sudah rajin nonton berita, siapa tahu Santoso sudah tertangkap, sudah keluar dari Lore. Ya jangan terlalu lama, agar cepat dipulihkan keamanan, rasa nyaman bagi masyarakat itu penting untuk ada kejelasan.”
Operasi Tinombala kini melibatkan 3.000 personel gabungan dari satuan-satuan elit TNI/Polri seperti Kopassus, Raider, Denjaka, Taipur dan Brimob. [yl/em]