ISLAMABAD —
Keluarga-keluarga muslim Syiah di kota Quetta, Pakistan barat daya, hari Sabtu menolak mengubur para korban yang tewas, sebagai protes atas serangan bom yang menewaskan hampir 100 orang itu hari Kamis. Sebuah kelompok militan Sunni telah menyatakan bertanggung jawab atas serangan itu.
Seorang pemuka masyarakat Syiah mengecam panglima militer Pakistan, Jenderal Ashfaq Kayani, karena gagal menghentikan pembunuhan itu. Serangan-serangan seperti ini terus meningkat; Human Rights Watch Pakistan mengatakan lebih dari 400 warga Syiah tewas tahun lalu.
Warga Pakistan yang berhasrat mengurangi kekerasan itu melalui media sosial hari Sabtu, mengimbau dilakukannya demonstrasi di Islamabad dan kota-kota besar lainnya.
Perdana Menteri Raja Pervez Ashraf mengatakan dalam sebuah pernyataan, pemerintah memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada pasukan para Korps Perbatasan untuk mengendalikan kekerasan di provinsi itu. Ia juga menjanjikan uang ganti rugi bagi keluarga-keluarga yang terkena musibah.
Analis Raza Rumi mengatakan, masih harus dilihat apakah tekanan rakyat meningkat sampai pada satu titik yang memaksa para pemimpin politik dan militer bertindak terhadap organisasi-organisasi teroris dan militan yang beroperasi di Pakistan. “Sekarang di Pakistan tidak ada jalan pintas bagi militer untuk bertindak dalam menghadapi tekanan rakyat yang besar, karena jelas militer atau bahkan pemerintah tidak melakukan apa pun terhadap organisasi-organisasi teroris ini,” paparnya.
Pada hari yang sama ledakan di Quetta yang menarget warga Syiah, ledakan lainnya terjadi yang dilakukan jaringan nasionalis Baluchistan, menewaskan 12 orang, kebanyakan petugas keamanan. Ledakan keempat di Pakistan barat laut menewaskan lebih dari 20 da’i.
Kekerasan itu dan kecaman terhadap pemerintah serta pasukan keamanan terjadi selagi Pakistan bersiap-siap mengadakan pemilu dalam beberapa bulan mendatang.
Mustafa Qadri dari Amnesty International mengatakan mengakhiri kekerasan teroris merupakan tantangan yang harus dihadapi pemerintahan baru. “Sekarang tergantung pada partai-partai politik untuk melakukan langkah dan rencana yang benar-benar nyata ketika mereka berkuasa. Tentu saja, bagi pemerintahan yang sekarang, masih ada beberapa bulan lagi sebelum pemilu, tetapi pemerintahan baru mendatang memikul tekanan untuk benar-benar melakukan berbagai hal secara berbeda serta perombakan yang dibutuhkan untuk menghentikan hal semacam ini terulang lagi,” ujarnya.
Qadri mengatakan, pada masa lalu, ketika pemerintah ingin mengadili para perusuh ini dan melindungi para korban, Pakistan telah menunjukkan kemampuan untuk melakukannya.
Seorang pemuka masyarakat Syiah mengecam panglima militer Pakistan, Jenderal Ashfaq Kayani, karena gagal menghentikan pembunuhan itu. Serangan-serangan seperti ini terus meningkat; Human Rights Watch Pakistan mengatakan lebih dari 400 warga Syiah tewas tahun lalu.
Warga Pakistan yang berhasrat mengurangi kekerasan itu melalui media sosial hari Sabtu, mengimbau dilakukannya demonstrasi di Islamabad dan kota-kota besar lainnya.
Perdana Menteri Raja Pervez Ashraf mengatakan dalam sebuah pernyataan, pemerintah memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada pasukan para Korps Perbatasan untuk mengendalikan kekerasan di provinsi itu. Ia juga menjanjikan uang ganti rugi bagi keluarga-keluarga yang terkena musibah.
Analis Raza Rumi mengatakan, masih harus dilihat apakah tekanan rakyat meningkat sampai pada satu titik yang memaksa para pemimpin politik dan militer bertindak terhadap organisasi-organisasi teroris dan militan yang beroperasi di Pakistan. “Sekarang di Pakistan tidak ada jalan pintas bagi militer untuk bertindak dalam menghadapi tekanan rakyat yang besar, karena jelas militer atau bahkan pemerintah tidak melakukan apa pun terhadap organisasi-organisasi teroris ini,” paparnya.
Pada hari yang sama ledakan di Quetta yang menarget warga Syiah, ledakan lainnya terjadi yang dilakukan jaringan nasionalis Baluchistan, menewaskan 12 orang, kebanyakan petugas keamanan. Ledakan keempat di Pakistan barat laut menewaskan lebih dari 20 da’i.
Kekerasan itu dan kecaman terhadap pemerintah serta pasukan keamanan terjadi selagi Pakistan bersiap-siap mengadakan pemilu dalam beberapa bulan mendatang.
Mustafa Qadri dari Amnesty International mengatakan mengakhiri kekerasan teroris merupakan tantangan yang harus dihadapi pemerintahan baru. “Sekarang tergantung pada partai-partai politik untuk melakukan langkah dan rencana yang benar-benar nyata ketika mereka berkuasa. Tentu saja, bagi pemerintahan yang sekarang, masih ada beberapa bulan lagi sebelum pemilu, tetapi pemerintahan baru mendatang memikul tekanan untuk benar-benar melakukan berbagai hal secara berbeda serta perombakan yang dibutuhkan untuk menghentikan hal semacam ini terulang lagi,” ujarnya.
Qadri mengatakan, pada masa lalu, ketika pemerintah ingin mengadili para perusuh ini dan melindungi para korban, Pakistan telah menunjukkan kemampuan untuk melakukannya.