BEIJING —
Suatu jenis flu burung baru yang mematikan dan muncul di China dalam sebulan terakhir kelihatan lebih mudah menyebar dari unggas ke manusia dibandingkan dengan jenis lain yang mulai memakan korban tewas 10 tahun yang lalu, menurut pihak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Rabu (24/4).
Para ilmuwan sedang mengamati virus ini secara seksama untuk melihat apakah virus ini dapat menyebabkan pandemi global, namun mereka mengatakan masih sedikit bukti sejauh ini untuk memperlihatkan bahwa virus itu dapat tersebar dengan mudah dari manusia ke manusia.
Ahli influenza ternama di WHO, Dr. Keiji Fukuda, mengatakan pada wartawan dalam sebuah pertemuan di Beijing bahwa orang-orang sepertinya lebih mudah terinfeksi virus H7N9 dari unggas dibandingkan jenis H5N1 yang menimpa unggas di seluruh Asia pada 2003. Jenis H5N1 sejak itu telah menewaskan 350 orang di seluruh dunia, sebagian besar setelah kontak dengan unggas yang telah terinfeksi.
Para ahli kesehatan khawatir dengan kemampuan H7N9 untuk melompat ke manusia, dan dengan kapasitas virus ini untuk menginfeksi unggas tanpa menyebabkan gejala-gejala yang terlihat, membuat penyebarannya sulit diawasi.
“Ini jelas merupakan salah satu dari virus influenza paling mematikan yang telah kami lihat sejauh ini,” ujar Fukuda. Namun ia menambahkan bahwa para ahli masih mencoba untuk memahami virus ini, dan barangkali ada sejumlah besar infeksi ringan yang tidak terdeteksi.
Virus flu burung H7N9 telah menginfeksi lebih dari 100 orang di China, membuat sebagian besar dari mereka sakit parah dan menewaskan lebih dari 20 orang, kebanyakan di pesisir timur sekitar Shanghai.
Sebagai perbandingan, jenis flu burung sebelumnya, H5N1, diketahui menewaskan sampai 60 orang untuk setiap 100 orang yang dikenainya.
Penjelasan pada Rabu dilakun pada akhir penyelidikan gabungan seminggu penuh oleh WHO dan pihak berwenang di Beijing dan Shanghai.
Para ahli mengatakan mereka masih belum yakin bagaimana orang bisa terinfeksi, namun bukti mengarah pada infeksi di pasar unggas hidup, terutama melalui bebek dan ayam. Mereka mengatakan jumlah infeksi yang dilaporkan terlihat menurun setelah penutupan pasar unggas hidup di daerah yang terdampak. (AP/Gillian Wong)
Para ilmuwan sedang mengamati virus ini secara seksama untuk melihat apakah virus ini dapat menyebabkan pandemi global, namun mereka mengatakan masih sedikit bukti sejauh ini untuk memperlihatkan bahwa virus itu dapat tersebar dengan mudah dari manusia ke manusia.
Ahli influenza ternama di WHO, Dr. Keiji Fukuda, mengatakan pada wartawan dalam sebuah pertemuan di Beijing bahwa orang-orang sepertinya lebih mudah terinfeksi virus H7N9 dari unggas dibandingkan jenis H5N1 yang menimpa unggas di seluruh Asia pada 2003. Jenis H5N1 sejak itu telah menewaskan 350 orang di seluruh dunia, sebagian besar setelah kontak dengan unggas yang telah terinfeksi.
Para ahli kesehatan khawatir dengan kemampuan H7N9 untuk melompat ke manusia, dan dengan kapasitas virus ini untuk menginfeksi unggas tanpa menyebabkan gejala-gejala yang terlihat, membuat penyebarannya sulit diawasi.
“Ini jelas merupakan salah satu dari virus influenza paling mematikan yang telah kami lihat sejauh ini,” ujar Fukuda. Namun ia menambahkan bahwa para ahli masih mencoba untuk memahami virus ini, dan barangkali ada sejumlah besar infeksi ringan yang tidak terdeteksi.
Virus flu burung H7N9 telah menginfeksi lebih dari 100 orang di China, membuat sebagian besar dari mereka sakit parah dan menewaskan lebih dari 20 orang, kebanyakan di pesisir timur sekitar Shanghai.
Sebagai perbandingan, jenis flu burung sebelumnya, H5N1, diketahui menewaskan sampai 60 orang untuk setiap 100 orang yang dikenainya.
Penjelasan pada Rabu dilakun pada akhir penyelidikan gabungan seminggu penuh oleh WHO dan pihak berwenang di Beijing dan Shanghai.
Para ahli mengatakan mereka masih belum yakin bagaimana orang bisa terinfeksi, namun bukti mengarah pada infeksi di pasar unggas hidup, terutama melalui bebek dan ayam. Mereka mengatakan jumlah infeksi yang dilaporkan terlihat menurun setelah penutupan pasar unggas hidup di daerah yang terdampak. (AP/Gillian Wong)