Menko Polhukam Wiranto, Senin (9/9) memastikan keadaan di Papua dan Papua Barat sudah cukup kondusif. Berdasakan laporan yang diterimanya, masyarakat sudah beraktivitas secara normal. Meski begitu, kata Wiranto masih ada pihak-pihak yang tidak senang dengan keadaan ini. Ada pihak-pihak yang tetap berupaya memanaskan situasi di Papua dan Papua Barat dengan memprovokasi untuk melakukan demo-demo yang anarkis.
“Laporan per 9 September kondisi di Papua dan Papua Barat dilaporkan sudah kondusif. Aktivitas masyarakat sudah kembali normal, artinya toko sudah buka, pasar sudah buka, transportasi sudah jalan, SPBU sudah jalan, pasokan air dan listrik sudah jalan, telepon juga demikian, kantor sudah sudah buka, sekolah sudah buka. Artinya memang keadaan sudah sebenarnya normal. Hanya memang kita akui masih ada ancaman-ancaman, selebaran, hasutan untuk melakukan demo-demo susulan yang yang tentunya bisa jadi anarkis. Namun sudah ada upaya pencegahan, upaya untuk mengeleminasi ajakan-ajakan itu, agar tidak dapat dilaksanakan di lapangan,” ujarnya dalam konferesi Pers di Kantor Kemenko Polhukam, di Jakarta, Senin (9/9).
Ditambahkannya, pemerintah berupaya melangsungkan sejumlah acara yang melibatkan aparat keamanan dan masyarakat, tokoh adat, tokoh masyarakat untuk menyerukan perdamaian. Wiranto menyebut bahwa sebenarnya mayoritas masyarakat tidak ingin ada kerusuhan lagi yang berkobar di tanah kelahiran mereka.
Meski Sudah Kondusif, Masih Ada 6.500 Aparat Gabungan di Papua
Meskipun sudah dinilai kondusif, sekitar 6.500 pasukan gabungan TNI-Polri masih ditempatkan di tanah Papua. Menurut Wiranto, jumlah itu hanya sedikit dibandingkan dengan jumlah total personil TNI-Polri yang berjumlah 850 ribu. Wiranto menggarisbawahi keberadaan pasukan TNI dan Polri itu adalah untuk melindungi masyarakat dan objek-objek vital di sana.
Di sisi lain, TNI sudah menyiapkan dua pesawat Hercules untuk memulangkan kembali para siswa dan mahasiswa Papua dan Papua Barat yang sedang belajar di luar Papua, yang jumlahnya sekitar 835 orang. Para mahasiswa ini berbondong-bondong pulang ke tanah kelahiran mereka setelah beredar kabar bohong yang dinilai mengancam keselamatan mereka. Menurut Wiranto, setelah melihat pulihnya kondisi di Papua, mereka justru ingin segera kembali ke tempat di mana mereka semula menimba ilmu.
“Mereka dibiayai oleh orang tua masing-masing dan juga biaya lain kembali dari tempat mereka belajar, tempat mereka menetap kembali ke Papua dan Papua Barat. Tapi Panglima TNI bertemu dengan mereka dengan anak, orang tua mereka ternayata setelah kembali ke sana melihat Jayapura kok masih terang benderang, enggak ada masalah. Mereka menyesal dan kemudian ingin kembali ke daerh mereka, tempat mereka belajar semula,” papar Wiranto.
Wiranto: Hanya Sejumlah LSM yang Dukung Benny Wenda Tuntut Papua Merdeka
Sementara itu, terkait sepak terjang Benny Wenda, Wiranto memastikan bahwa dukungan yang mengalir kepada Benny Wenda hanya dari beberapa LSM saja. Menurutnya negara sahabat dan tetangga masih menghormati dan mengakui bahwa Papua dan Papua Barat memang bagian dari NKRI.
“Sebenarnya dukungan-dukungan terhadap Benny Wenda bukan dari pemerintah-pemerintah negara tertentu, tetapi dari LSM-LSM. Kalau negara-negara sahabat Indonesia masih menghormati resolusi. Mereka tidak akan gegabah mendukung satu gerakan seperti ini. Kenapa tadi ada dukungan tiga negara, karena ini semua yang ada di Pacific Island. Ada pertemuan di sana, Vanuatu ingin menggarap dan mempengaruhi negara Pasific Selatan untuk mendukung Papua merdeka. Tetapi ternyata tidak dukungan, justru terbalik hasil lobby kita pada Australia, BNC dan Fiji justru meneguhkan pengakuan bahwa Papua dan Papua Barat adalah bagian yang sah dari NKRI,” ujar Wiranto.
SETARA Institute : Lawan Benny Wenda dengan “Diplomasi Kejujuran”
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif SETARA Institute Ismail Hasani keada VOA mengatakan, apa yang dilakukan oleh Benny Wenda itu adalah seperti upaya diplomasi. Oleh karena itu menurutnya pemerintah Indonesia tidak bisa melawan aksi Benny Wenda tersebut dengan hukum, apalagi Benny Wenda saat ini tinggal di luar negeri. Pemerintah dapat menangkis aksi Benny Wenda dengan “diplomasi kejujuran” kepada dunia internasional.
“Diplomasi kejujuran” yang dimaksud adalah dengan menunjukkan fakta yang sebenarnya terjadi di lapangan bahwa memang tidak ada pelanggaran HAM di Papua dan Papua Barat.
Selain itu, pemerintah, kata Ismail, juga bisa menunjukkan komitmen untuk menyelesaikan permasalahan pelik ini dan berupaya untuk memajukan tanah Papua dan Ppua Barat sama seperti daerah lainnya di Indonesia.
“Apapun yang dilakukan oleh Benny Wenda, itu harus dilihat sebagai kerangka diplomasi, kelompok pro kemerdekaan internasional, karena itu dilawan dengan pendekatan hukum, sulit terjadi. Misalnya bekerja sama dengan Interpol, itu sulit terjadi karena apa yang dilakukan oleh Benny Wenda adalah bagian dari diplomasi internasional merek untuk berupaya merengkuh dukungan dari banyak orang. Jadi harus dilawan dengan diplomasi juga. Jadi diplomasi dilawan dengan diplomasi. Dihadapi dengan diplomasi kejujuran menurut saya lebih penting. Misalnya dunia internasional meragukan status HAM di Papua undang saja untuk suruh melihat, dengan begitu kita gak perlu capek-capek meyakinkan dunia internasional bahwa tidak terjadi pelanggaran,” ujar Ismail.
Ia pun tetap mendorong, pemerintah mengirim utusan khusus presiden untuk segera berdialog dengan tokoh-tokoh penting di tanah Papua. Menurutnya hal ini penting untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat Papua kepada pemerintah. [gi/em]