Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebanyak 56% pemilih pada Pemilu 2024 adalah mereka yang tergolong dalam kategori generasi Z dan milenial, dengan rentang usia 17-43 tahun. Keterlibatan mereka pun menjadi sorotan penting dalam kontestasi politik kali ini.
“Indonesia punya karakteristik demografi yang sangat menarik; generasi muda dan pemilih muda memiliki proporsi yang sangat besar dalam pemungutan suara tahun ini. Ini tentunya akan mengubah arah politik. Partai-partai politik mencoba mencari cara untuk menjangkau kaum muda, dan terlibat dalam kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan pilihan mereka,” jelas Andreyka Natalegawa, peneliti untuk program Asia Tenggara di CSIS Washington, D.C.
Bagi warga negara Indonesia di Amerika Serikat, pemungutan suara dilaksanakan lebih awal, yaitu pada Sabtu, 10 Februari. Di Ibu Kota AS, Washington, D.C., warga mulai berdatangan ke Tempat Pemungutan Suara Luar Negeri (TPSLN) yang berlokasi di Wisma Indonesia sejak pukul 08.00.
Jelang pukul 16.00, TPSLN mulai dipadati warga yang baru bisa mendaftar untuk masuk ke dalam Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) dan Daftar Pemilih Khusus (DPK).
DPTb mengacu pada pemilih yang terdaftar di DPT suatu TPS, namun mengajukan pindah lokasi ke TPS lain karena kondisi tertentu, sedangkan DPK adalah pemilih yang memiliki identitas kependudukan, namun belum terdaftar sebagai pemilih dalam DPT atau DPTb. Selama surat suara sisa masih tersedia, pemilih dapat registrasi untuk masuk ke DPK di TPS yang didatanginya.
VOA mewawancarai sejumlah WNI muda yang datang ke TPS Washington, D.C. Mereka umumnya adalah mahasiswa yang tengah melanjutkan studinya di kampus-kampus AS.
Salah satunya adalah Jannatiha, mahasiswi program studi kesehatan di John Hopkins University. Ia sudah tiga kali berpartisipasi dalam pemilu, namun ini pertama kalinya ia mencoblos di luar negeri. Ia menempuh perjalanan hampir dua jam dari kota Baltimore, Maryland, demi menggunakan hak pilihnya secara langsung di TPSLN Washington, D.C.
“Di sini, kita enggak merasakan perjalanan kampanye (capres-cawapres) secara langsung. Tapi di (Wisma Indonesia), kita merasa kayak pulang ke ‘rumah’ karena ketemu sesama WNI juga,” ungkap Jannatiha.
Meski terpaut jarak, diaspora muda seperti Jannatiha tetap aktif mencari informasi dan berpartisipasi dalam diskusi untuk menentukan kandidat atau partai mana yang akan dipilih.
“Aku aktif pakai media sosial, dan sebagai mahasiswa, aku bergabung di Permias DC, ikatan mahasiswa AS di Washington D.C., dan sekitarnya. Minggu lalu, kita melakukan diskusi terkait capres-cawapres, tapi tetap dengan luber jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil). Dengan latar belakang berbeda-beda, kita saling bertukar pikiran, misalnya ‘apa yang dipelajari dari lima kali debat capres-cawapres kemarin?’,” tambahnya.
Ekharisti Sagala, mahasiswi yang juga berdomisili di Baltimore, datang bersama beberapa temannya ke TPSLN Washington, D.C untuk mencoblos secara langsung. Karena kesibukannya, ia belum sempat registrasi untuk masuk DPT saat masa pendaftaran masih dibuka. Ia pun akhirnya mendaftarkan diri ke dalam DPK pada hari-H pemilu.
Meski hingga hari pelaksanaan pemilu ia mengaku masih sulit menentukan pilihan, Ekharisti tetap menggunakan hak pilihnya. Ia mencari informasi, dan dalam upayanya itu, ia merasa nyaman berdiskusi soal para kandidat dengan teman-temannya selama tinggal di AS.
“Orang-orang enggak ribut ketika kasih opini masing-masing. Kalau aku pengin cari tahu, ya aku yang cari, misalkan dari Instagram atau Youtube untuk menonton debat, atau mengobrol dengan orang-orang yang aku percaya memang peduli, bukan orang-orang yang cuma asyik-asyikan meramaikan politik,” katanya kepada VOA. “Jadi justru lebih damai, dan lebih fokus mencari tahu siapa yang aku pilih.”
Partisipasi Aktif Melalui Kepanitiaan KPPS
Di TPSLN Washington, D.C., sebanyak 17 anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN) direkrut untuk mengatur kelancaran pemungutan suara hari itu, kata Ketua KPPSLN setempat, Noor Muhammad Aziz. Mereka lolos proses seleksi administrasi dan kemudian dilantik oleh tim PPLN (Panitia Pemilihan Luar Negeri) pada Desember lalu.
Salah satu anggota termudanya adalah Timothy Warokka, 20 tahun, mahasiswa program studi hubungan internasional di George Washington University. Ini adalah pertama kalinya ia berpartisipasi sebagai pemilih sekaligus panitia pemungutan suara, di mana ia bertugas mengawasi kotak surat suara pemilih pos yang datang langsung ke TPS.
Berbagai tantangan pun ia hadapi, termasuk membagi waktu antara kesibukannya berkuliah dan menjadi panitia.
“Ada kalanya group chat kita enggak diam-diam sampai jam tiga pagi karena ada masalah ini, masalah itu,” katanya. “Kita tahu bahwa tugas ini sifatnya sukarela, tapi kita try our best. Meskipun kita ada kuliah atau kerja, kalau ada masalah, kita selesaikan secepatnya.”
Lantas seberapa besar peran anggota panitia muda dalam pemilu? Timothy pun menyoroti profesionalisme mereka, di mana mereka berusaha datang tepat waktu di berbagai rapat dan berkomunikasi dengan optimal.
Kemahiran anak-anak muda dalam menggunakan media sosial pun mereka manfaatkan untuk menyebarluaskan informasi seputar pemilu.
“Social media is everything for us. Kita mem-posting (konten-konten) tentang pemilu, jadi teman-teman WNI yang kurang paham tentang pemilu dan proses-prosesnya, mereka bisa tanyakan ke kita,” tambah Timothy.
Berdasarkan rekapitulasi data PPLN Washington D.C., persentase pemilih yang mencoblos di TPS berkisar 35% dari total nama yang terdaftar di DPT. Angka itu belum termasuk pemilih DPTb dan DPK.
“Setelah semua pemilih selesai menggunakan hak pilihnya, kotak suara digembok untuk dibawa ke ruang khusus di Kedutaan Besar Indonesia yang diawasi dengan CCTV. Panwaslu, saksi, dan panitia bisa melihatnya. Jadi, keamanan terjaga hingga hari penghitungan suara,” jelasnya kepada VOA.
Penghitungan suara di AS dilakukan serentak pada 14 Februari, bersamaan dengan jadwal penghitungan suara di Indonesia, dan khusus surat suara lewat pos akan dihitung tanggal 15 Februari. (br/rd)
Forum