Seperti apa Damaskus sepeninggal Presiden Bashar al-Assad? “Lebih bebas,” ujar Tubagus Muhammad Duby.
Dikenal sebagai Habibi, mahasiswa Indonesia tahun keempat jurusan Kajian Islam di ibu kota Suriah ini menambahkan bahwa selama ini ia melihat orang-orang Suriah seperti merasa tertekan. Sekarang, orang-orang itu tampak lebih bahagia. Dulu, lanjutnya,
“Tidak ada kesempatan untuk berbicara. Ya mereka nggak pernah ngomongin hal tentang pemerintahan, tentang politik. Dan juga dulu nggak boleh bertransaksi dengan dolar. Jika ada warga lokal yang ketahuan memegang dolar, itu merupakan sebuah kriminal. Bahkan kita as a foreigner juga dilarang membawa lebih dari 1.000 dolar di dalam kantong. Kalau misalkan lebih dari itu, kita juga bisa ditangkap. Dan kita untuk bertransaksi menukar dolar ke lira harus di bank ataupun di tempat-tempat yang memang dilegalkan pemerintah. Kalau nggak, itu kita bisa ditangkap.”
Sekarang, kata Habibi, 22 tahun, orang di Suriah semakin terbiasa dengan dolar. Ini sangat kontras dengan sebelumnya yang bahkan,
“Kita nyebut dolar aja nggak dolar gitu. Sampai kita samarkan ijo ataupun es.”
Sekarang, kata Habibi lagi, orang-orang juga semakin menikmati kebebasan berpendapat.
“Di sosial media, mereka juga berani banget untuk memposting apapun yang mereka mau. Dulu nggak pernah saya lihat teman-teman, orang lokal, itu upload tentang Pak Kumis (sebutan untuk Presiden Assad) atau tentang seperti itu di media sosial. Sekarang mereka benar-benar kayak langsung terang-terangan gitu.”
Yang jelas, kata Habibi, ia bangga berada di Suriah ketika negara itu mencatat sejarah. Berencana melanjutkan pendidikan dalam ilmu politik, ia merasa pengalaman di Damaskus, adalah bekal.
“Aku bangga banget bisa jadi bagian, maksudnya ada di sini pas lagi keadaan seperti ini. Keadaan yang mungkin bisa salah satu sejarah lah ya, terukir gitu kan. Aku rasa ini pengalaman mahal banget nih. Bangga ada di sini, melihat langsung seperti apa sih transisi (pemerintahan).”
Kantor berita AFP, Senin, melaporkan kafé-kafé di sana kembali ‘hidup’. Diskusi terbuka kembali terdengar, bahkan topik politik. Seorang pemilik kafé menggambarkan kontrasnya situasi semasa rejim Assad dan sekarang dengan “bagaikan malam dan siang”.
Di salah satu kafé, Nisrin Shouban, yang sehari-hari berprofesi agen real estat juga mencermati bebasnya orang kini berpendapat. Dulu, kata Shouban, "Kami tidak dapat berbicara tentang apa pun, baik di kafe maupun di tempat lain, karena takut agen intelijen mungkin menguping melalui telepon kami, meskipun telepon kami dimatikan. Situasi sekarang jauh lebih baik,” paparnya.
Shouban bertekad mempertahankan kebebasan itu sampai kapan pun karena sekarang, “kami tidak takut lagi,” cetusnya.
“Bahkan jika al-Jolani melakukan kesalahan, kami akan mencela dan menentangnya. Kami tidak akan tinggal diam lagi sekarang. Ke depannya, kami juga tidak akan tinggal diam lagi, bahkan dalam seratus tahun," cetusnya.
Al-Jolani yang dikatakan Shouban adalah Ahmed al-Sharaa, pemimpin baru Suriah. Ia lebih dikenal dengan nama samaran Abu Mohammad al-Jolani.
Tidak lagi merasa takut juga dialami Fitria Herdiani, yang sudah delapan tahun bermukim di Damaskus. Ibu dua anak Balita ini mengaku sempat ketakutan dan terus mendekam di rumah setelah Assad digulingkan. Kepada anak-anak yang menangis ketakutan, ia hibur dengan…, “Enggak apa apa. Oke. Ini kembang api karena mau new year. Jangan takut.”
Baru beberapa hari ini Fitria berani keluar bersama suami yang orang Suriah. Bersama keluarga dan teman, juga warga Indonesia, ia menikmati pasar malam yang digelar untuk menyambut Natal. Dalam rekaman video yang dibagikan kepada VOA, ia tampak ceria.
“Hi guys, kita mau ke Christmas market. Ini kayak pasar malam ya?,” jelasnya.
Sebentar lagi, Fitria akan mengajak anak-anaknya menikmati suara ledakan kegembiraan, kembang api yang menyambut tahun baru. Ia mengaku kini merasa telah kembali ke kehidupan normal.
Diaspora Indonesia lain di Damaskus, Muklas Hamdi Rais yang sudah bermukim di Suriah sejak 2011, mengungkapkan harapan situasi yang semakin membaik. Ia optimistis masa depan Suriah lebih baik. Dan sikap itu ia dapatkan dari teman-teman dan ulama yang dekat dengannya.
“Ketika kita minta apa tanggapan mereka tentang tentara atau penguasa baru, mereka beranggapan, Insya Allah Suriah akan menghadapi hari-hari yang lebih baik,” harapnya.
Apa yang membuat mereka begitu optimistis? Pertama, kata Muklas, ada gerakan dari masyarakat. Semua menyadari perlunya bekerja sama untuk membangun negara. Kedua, militer yang berkuasa sudah menegaskan bahwa tidak ada yang boleh mengungkit kesalahan masa lalu. Ayo, kita sama-sama dan saling bantu untuk membangun Suriah.
Habibi menambahkan apa yang ia cermati dari lingkungannya. “Orang-orang lebih bahagia kelihatannya dengan keadaan yang sekarang. Mereka kayak baru menunjukkan aslinya. Dan mereka, yang saya lihat, lebih welcome dengan pemerintahan sekarang.”
Karena pemerintah, kata Habibi mengutip pendapat teman yang orang Suriah, lebih mendengar rakyatnya. “Ketika ada sesuatu, mereka mendengar. Intinya mungkin nantinya demokrasinya lebih kerasa, but we never know, tapi orang-orang bilangnya gitu sih.”
Sementara ini, perginya Assad dan datangnya pemerintahan baru memungkinkan orang-orang di Suriah, termasuk Habibi, Fitria dan Muklas, menutup 2024 dan optimistis menyambut 2025. [ka/ab]
Forum