Klaim keliru terkait penggunaan bakteri wolbachia untuk menekan kasus demam berdarah dengue (DBD) terus berulang di Indonesia. Beberapa pekan terakhir, perdebatan kembali mengisi laman media sosial kembali, bahkan teknik ini dianggap rekayasa genetika.
Pemanfaatan bakteri wolbachia untuk menekan kasus DBD adalah murni terobosan ilmu pengetahuan.
Bersikap positif, Prof. dr. Adi Utarini, M.Sc., MPH., Ph.D, peneliti utama riset nyamuk ber-wolbachia di Indonesia menganggap pro-kontra yang terjadi justru diharapkan memperbaiki pemahaman masyarakat terkait teknologi ini.
“Tidak ada rekayasa genetika. Wolbachia-nya tetap sama dengan wolbachia yang ada di inang aslinya, lalat buah. Nyamuknya juga tetap sama. Nyamuk Aedes aegypti yang ada wolbachia sama dengan nyamuk Aedes Aegypti yang ada di alam,” kata Adi Utarini.
Perempuan ini sudah bergelut dengan riset nyamuk ber-wolbachia selama lebih 12 tahun. Hasilnya, secara perlahan diterapkan di lingkungan, khususnya di sejumlah desa di Yogyakarta. World Mosquito Program (WMP), program berskala dunia terkait nyamuk, melaporkan pada 2019, kasus DBD di lokasi dimana riset ini dilakukan, turun hingga lebih 77 persen.
Adi Utarini terpilih menjadi satu dari 100 orang paling berpengaruh menurut majalah Times, pada 2021, berkat ketekunannya dalam riset ini. Tokoh dunia, dan lembaga-lembaga ternama termasuk Melinda Gates dan lembaga filantropinya, mengucapkan terimakasih untuk riset jangka panjang itu.
Menjadi pertanyaan besar, ketika perdebatan terkait wolbachia di Indonesia justru terus muncul, sementara banyak negara lain mulai memanfaatkannya.
Bukan Rekayasa Genetik
Adi Utarini tegas menyebut, wolbachia bukan hasil rekayasa genetik. Ini adalah bakteri alami yang ada di alam, bahkan 60 persen spesies serangga memilikinya.
Secara sederhana, para ahli bekerja untuk mengambil bakteri itu dari inang aslinya, misalnya lalat buah, dan kemudian memasukkannya ke badan nyamuk Aedes Aegypti. Ini adalah jenis nyamuk yang menyebarkan demam berdarah, karena ada virus dengue di dalam tubuhnya. Bakteri wolbachia ini akan “membunuh” virus dengue di dalam tubuh nyamuk.
Kisah kuda troya, menyelundupkan pasukan untuk masuk ke benteng pertahanan musuh, bisa menjadi gambaran visual dari langkah ini. “Cara bekerjanya adalah, bakteri alami wolbachia ini ketika berada di tubuh nyamuk itu, dia dapat menghambat replikasi virus denguenya,” tambah Adi Utarini.
“Dengan replikasi virusnya dihambat, maka ketika nyamuk menggigit manusia, itu tidak terjadi penularan virus dengue,” jelasnya lagi.
Adi Utarini beserta tim riset, memasukkan bakteri wolbachia ke dalam tubuh nyamuk, dan kemudian menyebarkan nyamuk itu ke alam. Secara alami, nyamuk ber-wolbachia akan kawin dengan nyamuk Aedes Aegypti, dan proses penyebaran bakteri akan terjadi. Upaya ini, kata dia, bukan langkah membunuh nyamuk, tetapi menjadikan nyamuk Aedes Aegypti tidak mampu menularkan DBD ke manusia.
“Jadi ini yang terus menerus harus disampaikan ke masyarkat, nyamuknya mungkin masih ada, sangat sulit untuk menghilangkan nyamuk, akan tetapi dengue-nya yang tidak ada,” kata dia.
Pengendalian Vektor
Karena DBD tidak dapat diatasi dengan obat atak vaksin, maka yang dikendalikan adalah faktor penyebarnya, dalam hal ini nyamuk Aedes Aegypti. Pendapat itu disampaikan dr. Eggi Arguni, M.Sc., Ph.D., Sp.A(K), peneliti di Pusat Kedokteran Tropis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
“Inti dari kita bisa menanggulangi dengeu adalah pencegahan. Karena kita belum punya obat yang khusus untuk dengue, pencegahannya adalah dengan memberantas atau mengendalikan vektornya. Jadi vektornya adalah nyamuk Aedes aegypti itu,” paparnya.
Eggi menyebut istilah yang lebih tepat untuk DBD adalah infeksi dengue. Seseorang akan jatuh sakit setelah terinfeksi oleh nyamuk yang di dalam tubuhnya terdapat virus dengue. Virus itu masuk ke dalam tubuh manusia, dan berkembang biak.
Masa inkubasi rata-rata adalah lima hingga tujuh hari hingga timbul gejala, seperti demam, kadang nyeri tulang, nyeri otot, pusing, mual, muntah dan nyeri perut. Dalam kasus lebih berat, lanjut Eggi, bisa terjadi tanda-tanda pendarahan. “Lebih berat lagi, akan timbul kebocoran plasma yang hebat, sampai terjadi shock dan kemudian bisa meninggal,” tambahnya.
Eggi mengingatkan, infeksi dengue belum tersedia obatnya, bahkan sejak kasusnya mulai muncul pada era sekitar tahun 1940-an.
Karena belum ada obat untuk mengatasi dampak buruk infeksi dengue, dibutuhkan strategi lain dalam meredam kasusnya. Pemanfaatan bakteri wolbachia, sejauh ini, dinilai cukup efektif.
Risiko Sudah Dikaji
Pemanfataan bakteri wolbachia untuk menekan kasus DBD diawasi banyak pihak, termasuk pemerintah. Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, Prof Dr Aryati dr MKes SpPK(K) menjadi bagian dari Tim Ahli Kajian Risiko Wolbachia, Kementerian Kesehatan sejak 2016.
Dalam penjelasan resmi di laman Unair, Aryati mengatakan bahwa wolbachia merupakan bakteri Gram negatif yang secara alami ada pada serangga seperti kupu-kupu, lalat, dan lebah. “Tapi yang paling terkenal kandungan wolbachia ada di lalat buah drosophila melanogaster,” kata Aryati.
Uniknya nyamuk Wolbachia ini menghasilkan siklus yang berbeda saat proses perkawinan. Nyamuk Wolbachia jantan yang kawin dengan yang betina tidak akan menghasilkan telur yang menetas. “Nyamuknya jadi mandul, tidak bisa menghasilkan keturunan,” tambahnya.
Sementara nyamuk ber-wolbachia betina yang kawin dengan jantan, akan menghasilkan telur dengan gen wolbachia. “Bakterinya tidak mungkin pindah, karena bakteri hanya berada pada tubuh nyamuk saja. Kalau tergigit tidak akan menyebabkan manusia sakit,” kata Prof Aryati lagi.
Diterapkan di Banyak Negara
Indonesia bukan satu-satunya yang memanfatkan teknologi ini. Negara-negara seperti Australia, Brazil, Colombia, El Salvador, Sri Lanka, Honduras, Laos, Vietnam, Kiribati, Fiji, Vanuatu, New Caledonia, hingga Meksiko turut mengaplikasikannya.
Kepada Associated Press, Scott O'Neill, pendiri World Mosquito Progam (WMP) mengatakan bahwa persoalan DBD di banyak belahan dunia menjadi semakin buruk, dengan solusi yang saat ini, karena itulah perlu jalan keluar baru.
“Jadi, ada kebutuhan mendesak akan pendekatan baru dan bagi masyarakat yang tinggal di komunitas tersebut, mereka memahami hal tersebut dan bersedia mengambil risiko demi peluang terjadinya bencana dan masa depan yang lebih baik,” ujarnya.
Seperti dilaporkan AP, di masa lalu mencegah demam berdarah di Honduras berarti mengajarkan masyarakat untuk takut terhadap nyamuk dan menghindari gigitannya. Saat ini, mereka memanfaatkan wolbachia.
Salah satu kota yang menyebarkan nyamuk wolbachia adalah Tegucigalpa. Aktivis kesehatan bekerja sama dengan Doctors Without Borders dan masyarakat, menyebarkan nyamuk dari botol-botol ke berbagai wilayah.
“Mereka tidak akan tertular demam berdarah, tidak juga chikungunya. Jadi saya sampaikan kepada masyarakat untuk tidak takut, ini bukan hal yang buruk. Ini adalah hal yang baik. Mereka harus percaya pada nyamuk yang akan menggigit mereka. Mereka tidak akan membuat mereka tertular sakit, mereka akan menggigitnya, karena mereka akan selalu menggigit, tetapi mereka tidak akan terkena demam berdarah atau semacamnya,” kata Lourdes Betancourt, warga Tegucigalpa terkait program ini.
Di Honduras, 10 ribu orang terjangkit demam berdarah setiap tahunnya, Doctors Without Borders bermitra dalam program ini untuk melepaskan hampir 9 juta nyamuk ber-wolbachia selama enam bulan.
WHO mencatat, banyak kasus DBD sebenarnya tidak dilaporkan. Sebuah model perhitungan memperkirakan, ada sekitar 400 juta orang di 130 negara terinfeksi DBD setiap tahunnya. Angka kematian akibat DBD relatif rendah, diperkirakan sekitar 40 ribu orang meninggal setiap tahunnya. Namun wabah ini dapat membebani sistem kesehatan.
Di Indonesia, angka perkiraannya adalah sekitar 7 juta kasus, dengan hanya 25 persen yang menunjukkan gejala, atau sekitar 1,7 juta kasus. Namun, hanya 200 ribu kasus yang tercatat dalam perawatan, yang menunjukkan pekerjaan besar harus diselesaikan untuk menekan kasusnya di masa depan.
AP melaporkan, pada 2019, WMP mencatat uji lapangan berskala besar di Indonesia menghasilkan penurunan kasus DBD sebesar 76 persen. Sementara sebuah penelitian di Kolombia, menunjukkan penurunan lebih dari 90 persen setelah Wolbachia menyebar ke populasi nyamuk antara 2015 dan 2022.
Namun, masih ada pertanyaan mengenai apakah strategi ini akan efektif dan hemat biaya dalam skala global. Juga masih belum jelas apakah bakteri wolbachia akan bekerja dengan baik melawan semua jenis demam berdarah yang berbeda di dunia, atau apakah beberapa jenis mungkin menjadi resisten seiring berjalannya waktu. [ns/lt]
Forum