Ketua Umum YLBHI Asfinawati mengatakan lembaganya mencatat ada 11 kebijakan yang mengancam demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia. Di antaranya yaitu SK Menkopolhukam No.38/2019 tentang Tim Asistensi Hukum, penggunaan pasal makar secara sembarangan dan aksi golput yang dijerat dengan UU Terorisme, UU ITE dan KUHP.
Menurut Asfi, kebijakan-kebijakan tersebut dapat menghambat kebebasan sipil dan berwatak represif karena mengedepankan pendekatan keamanan dan melihat kritik sebagai ancaman.
"Kalau kita melihat kesebelas UU dan tindakan ini. Kelihatannya ini tindakan sporadis, sendiri-sendiri. Tetapi kalau kita lihat ada pola di aturan perundang-undangan itu. Pertama adalah menghambat kebebasan sipil berpikir, berkumpul, berpendapat, berekspresi dan berkeyakinan," jelas Asfinawati di kantor YLBHI, Jakarta, Selasa (14/5).
Asfinawati menambahkan lembaganya meminta pemerintah untuk mencabut dan menghentikan kebijakan-kebijakan serta tindakan yang tidak sesuai dengan hukum. YLBHI juga meminta pemerintah ke depan agar tidak kembali membuat kebijakan yang melawan hukum dan merusak demokrasi.
Sebagian Kebijakan Pemerintah Mulai Berdampak di Daerah
Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur menambahkan kebijakan dan tindakan pemerintah juga telah berdampak dan dirasakan di 15 perwakilan lembaganya di berbagai daerah. Contohnya di Jakarta, aparat menghambat aksi May Day 2019 dengan melarang buruh melewati Bundaran Hotel Indonesia. Sedangkan di Bandung, aparat menangkap 600an orang tanpa alasan jelas dan memukuli serta menelanjangi mereka.
"YLBHI bersama 15 kantor se-Indonesia, dari Aceh sampai Papua merasakan betul dampak dari kebijakan ini. Jadi kebijakan ini tidak hanya dirasakan di Jakarta. Tapi di Aceh, Medan, Padang, Lampung, Makassar, Papua. Di berbagai wilayah YLBHI mendampingi masyarakat," tuturnya.
Kasus serupa juga pernah terjadi pada 2015, aparat memukul dan merusak mobil properti buruh saat menuntut pembatalan peraturan pemerintah tentang pengupahan. Saat itu, aparat juga menangkap dan menetapkan tersangka 21 orang yang kemudian diputus bebas oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Konstitusi Indonesia Dinilai Sudah Bagus
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun menilai konstitusi Indonesia saat ini jauh lebih baik dibandingkan sebelum perubahan UUD 1945. Utamanya soal jaminan dan perlindungan negara terhadap Hak Asasi Manusia, serta kebebasan berpendapat. Namun, menurutnya konstitusi tersebut terkadang tidak sejalan dengan produk hukum turunannya. Salah satunya, kata dia, yaitu Perppu Ormas yang memberikan kewenangan pembubaran ormas tanpa proses pengadilan.
"Yang paling spektakuler adalah Perppu Ormas. Orang lupa saja, kenapa? karena Perppu Ormas itu bisa memberikan legitimasi kepada pemerintah bisa membubarkan ormas apa saja, dengan alasan yang banyak sekali, termasuk mengganggu kepentingan umum, tidak hanya antiPancasila, tanpa proses peradilan," jelas Refli kepada VOA.
Refli menduga sejumlah produk turunan yang bertentangan dengan konstitusi tersebut di luar kontrol Presiden Joko Widodo. Sebab, kemampuan Jokowi untuk mendalami sejumlah persoalan hukum ini tidak terlalu tinggi. Sehingga orang-orang yang berada di rezim Jokowi memanfaatkan ini untuk menggunakan pendekatan keamanan yang lebih masif.
"Cara berpikir pemerintah kan berbeda dengan cara berpikir sipil. Kalau sipil adalah ciptakan ruang seluas-luasnya bagi warga negara untuk berpendapat, sementara negara harus menjaga ruang itu agar tetap kondusif. Tapi kalau orang-orang tertentu di dalam pemerintah tidak begitu. Persempit ruang-ruang tersebut dengan ancaman luar biasa. Dengan UU ITE, pasal terorisme, makar dan sebagainya," imbuhnya.
Di samping itu, Refli juga menilai ada kelemahan Mahkamah Konstitusi yang dimandatkan sebagai penjaga konstitusi Indonesia. Sebab beberapa keputusannya berlawanan dengan konstitusi. Semisal keputusan soal ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen. (sm/em)