Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam akun instagramnya @yayasanlbhindonesia menyandingkan foto setengah wajah Presiden Joko Widodo dan setengah wajah Presiden Soeharto. YLBHI menilai, pemerintahan Jokowi dalam hal pembangunan sama dengan rezim Orde Baru.
Ketua YLBHI Bidang Advokasi dan Jaringan Zainal Arifin mengatakan kritik yang disampaikan oleh pihaknya bersama kelompok masyarakat sipil lain adalah berdasarkan kepada situasi, data, dan fakta yang terjadi di lapangan.
Ia mencontohkan peristiwa pada 12 Februari 2022 di mana terdapat korban meninggal dunia karena melakukan aksi penolakan terhadap tambang emas di Sulawesi Tengah, dan konflik yang masih terjadi di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, untuk pembangunan Bendungan Bener.
“Apakah kemudian aksi kekerasan ini terjadi begitu saja? Kami melihat tidak, karena kita bisa melihat dari beberapa pernyataan Presiden Jokowi memerintahkan kepada Kapolri untuk menjaga investasi. Kalau kita lihat hampir semuanya kekerasan demi kekerasan itu terjadi pada proyek strategis nasional maupun proyek yang berhubungan dengan investasi. Itu sebenarnya juga memperkuat bahwa kesamaan rezim hari ini mementingkan pembangunan daripada kesejahteraan masyarakat dan itu sama dengan situasi pada zaman orde baru,” ungkap Zainal kepada VOA.
Zainal pun menyangsikan pernyataan Istana Kepresidenan yang mengatakan bahwa Jokowi selalu terbuka akan kritik dan masukan dari masyarakat. Pasalnya, sejak periode pertama Jokowi memimpin, ujar Zainal, masyarakat selalu menyampaikan kritik dan masukan yang langsung disampaikan ke akun sosial media Jokowi dan bahkan turun ke jalan. Namun nyatanya, kritik dan masukan tersebut hampir tidak pernah didengar oleh pemerintah.
“Justru kemudian beberapa kebijakan yang berpotensi menimbulkan kerusakan terhadap sumber daya alam yang sedemikian masif, kerusakan lingkungan dan berpotensi menyingkirkan masyarakat adat, perampasan lahan, dan menimbulkan banyak pelanggaran HAM, itu justru dikebut sedemikan rupa. Sementara UU yang didorong oleh masyarakat sipil diajukan, itu puluhan tahun ngantre. Misalnya, UU PRT sudah 18 tahun. UU itu tidak kunjung disahkan,” jelasnya.
Zainal juga mencontohkan UU Ibu Kota Negara (IKN) baru yang begitu cepat disahkan tanpa melibatkan partisipasi masyarakat yang cukup. Ia pun mempertanyakan bentuk masukan atau kritik apa yang diinginkan oleh pemerintah Jokowi? Karena hampir seluruh masukan dan kritik tersebut tidak pernah didengar.
“Akhirnya kesimpulan dalam kritik kami itu bahwa ada semacam corak yang sama, pola yang sama, pola perampasan lahan dengan mengerahkan aparat keamanan, aparat kepolisian yang menjaga proyek pembangunan yang menyingkirkan hak-hak masyarakat bahkan tanpa segan-segan melukai secara fisik dan psikis dan melukai hati masyarakat,” katanya.
Dalam unggahan di akun instagramnya, YLBHI mencantumkan 10 persamaan pemerintahan Jokowi dengan Soeharto.
Pertama, yakni mengutamakan pembangunan fisik dan serba 'dari atas' ke 'bawah' untuk kejar target politik, minus demokrasi. Kedua, pembangunan bernuansa koruptif dan nepotis. “Tidak ada perencanaan risiko untuk masyarakat yang terdampak pembangunan sehingga menciptakan kemiskinan (pemiskinan) struktural,” seperti dikutip pada poin ketiga.
Kemudian, keempat pembangunan tidak berizin atau dengan izin yang bermasalah. Kelima, legal (UU dan Kebijakan) namun tanpa legitimasi suara rakyat. Keenam, melayani kehendak kekuasaan dan elit oligarki dengan cara perampasan dan perusakan lingkungan. Ketujuh, menstigma rakyat yang melawan perampasan hak dengan melawan pembangunan, komunis, radikal, anarki.
Delapan, menangkap, mengkriminalisasi bahkan tak segan menembaki rakyat yang mempertahankan hak hingga terbunuh. Sembilan, pendamping dan warga yang bersolidaritas dihalangi bahkan ditangkap. Dan sepuluh, mengontrol narasi, informasi, termasuk membelokkan fakta.
Tanggapan Pihak Istana Kepresidenan
Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV Kepala Staf Kepresidenan Ali Mochtar Ngabalin menegaskan, sejak periode pertama Jokowi selalu membuka diri untuk menerima saran, masukan bahkan kritik dari siapapun.
“Tetapi kritik itu harus fokus datanya apa, faktanya apa. Karena 10 catatan YLBHI itu semuanya sampah, data-data sampah yang tidak bisa didaur ulang,” ungkap Ngabalin kepada VOA.
Ia menilai, 10 catatan tersebut tidak menunjukkan data dan fakta yang jelas sehingga menjadikan hal tersebut sebagai fitnah yang disebarkan kepada masyarakat.
“Yang mana yang dia maksudkan dengan 10 catatan semua langkah Jokowi itu mirip dengan pemerintahan otoriter Soeharto? Sebab kalau dia tidak bisa menunjukkan fakta dan data, itu artinya dia memfitnah sementara di seluruh Indonesia itu orang sudah membaca,” jelasnya.
Terkait insiden di Wadas, Jawa Tengah, Kepala Staff Kepresidenan Moeldoko sudah menerjunkan dua tim untuk melakukan investigasi untuk mencari fakta di lapangan terkait apa yang terjadi di sana.
“Kepala KSP membentuk dua tim yang langsung ke lapangan untuk mendapatkan informasi yang sesungguhnya agar presiden bisa mendapatkan laporan yang sesungguhnya terjadi. Please ya hei YLBHI, kalian siapa sih? buka hati dan pikiranmu jadilah warga negara yang bermanfaat bagi masyarakat,” pungkas Ngabalin. [gi/ka]