Terkait dengan gerakan menuntut kenaikan gaji oleh ribuan hakim di Indonesia, pemerintah diminta untuk memperjelas status kepegawaian hakim.
Status hakim di Indonesia hingga saat ini tidak jelas secara hukum, karena undang-undang yang mengaturnya dianggap tidak tegas. Penilaian ini disampaikan oleh Komisioner Komisi Yudisial yang juga pakar hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Suparman Marzuki.
Dihubungi VOA, Suparman Marzuki mengatakan, di satu sisi hakim disebut sebagai pejabat negara sehingga berhak atas perlakuan khusus, pengamanan, memperoleh rumah dinas dan juga berbagai fasilitas lain, tetapi di sisi lain hakim digolongkan sebagai pegawai negeri dengan struktur golongan kepegawaian dan gaji seperti umumnya pegawai negeri sipil.
Perbedaan ini justru menjadikan hakim korban dari undang-undang, karena faktanya mereka tidak memperoleh fasilitas layaknya pejabat negara, tetapi juga tidak menerima kenaikan gaji ketika pegawai negeri sipil memperolehnya secara periodik.
Suparman Marzuki mengatakan, “Saya lebih setuju, untuk menetapkan, menegaskan, bahwa hakim itu adalah pejabat negara, state aparatus, bukan government aparatus. Kalau dia pegawai negeri sipil, dia government aparatus, tunduk pada ketentuan-ketentuan kepegawaian. Nah, ini yang membikin secara normatif mereka sebenarnya tidak mandiri. Agar lebih mandiri, maka ketentuan undang-undang yang lain, terutama undang-undang Mahkamah Agung, bahwa mereka pejabat negara, ditegaskan dengan seluruh hak-haknya. Jadi ada kesalahan juga undang-undang.”
Karena itulah, Suparman Marzuki dan juga Komisi Yudisial mendukung dilakukannya judicial review pasal 25 ayat 6 Undang-Undang nomor 51 tahun 2009, tentang kekuasaan kehakiman. Langkah ini dinilai paling masuk akal dan elegan, karena perubahan atas pasal dalam undang-undang itu diharapkan bisa menyelesaikan inti masalah yang dihadapi para hakim di Indonesia.
Seorang hakim di Pengadilan Agama Sambas, Kalimantan Barat, Abdurrahman Rahim, ketika dihubungi VOA memaparkan, kehidupan para hakim di Indonesia, terutama di daerah-daerah sebenarnya cukup memprihatinkan.
Dengan gaji pokok seperti para pegawai negeri sipil, hakim tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan hidup secara layak, apalagi di tengah naiknya harga-harga kebutuhan sehari-hari. Abdurrahman Rahim dan sekitar 4 ribu hakim di Indonesia pernah merencanakan gerakan mogok bersidang secara nasional, tetapi kemudian digagalkan dan akan memperjuangkan kenaikan gaji melalui jalur hukum, yaitu menutut perubahan undang-undang kekuasaan hakim lewat Mahkamah Konstitusi.
“Ini sebenarnya klimaks dari persoalan-persoalan yang terjadi, sehingga terkesan hakim ini dibiarkan, disemena-menakan oleh pemerintah, sementara kami tidak punya rumah dinas, ada yang punya rumah dinas tetapi tidak layak, sementara kami harus berjuang dengan modal idealisme, harus berjuang ke pinggiran-pinggiran daerah, seperti saya di daerah Sambas, yang semua kebutuhan hidup sangat mahal, di atas rata-rata, apalagi teman-teman yang jauh lebih parah dari saya seperti di kepulauan terluar seperti Morotai, seperti Pulau Tarempang yang dekat Laut Cina Selatan, harusnya pemerintah memperhatikan ini,” ujar Abdurrahman Rahim.
Para hakim di Indonesia hingga saat ini masih masuk dalam struktur penggajian pegawai negeri sipil, dimana gaji hakim baru rata-rata Rp 2 juta perbulan. Ironisnya, gaji pegawai negeri sipil di Indonesia telah naik berkali-kali, tetapi gaji hakim baru naik sekali, yaitu pada tahun 2008. Kenaikan tunjangan hakim terakhir dilakukan pada 2001 dan belum pernah naik lagi hingga saat ini.
Dalam perhitungan Suparman Marzuki dari Komisi Yudisial, gaji pokok hakim seharusnya minimal Rp 5 juta, dan dengan berbagai tunjangan, penghasilan bulanan mereka setidaknya Rp 12-15 juta.
Dihubungi VOA, Suparman Marzuki mengatakan, di satu sisi hakim disebut sebagai pejabat negara sehingga berhak atas perlakuan khusus, pengamanan, memperoleh rumah dinas dan juga berbagai fasilitas lain, tetapi di sisi lain hakim digolongkan sebagai pegawai negeri dengan struktur golongan kepegawaian dan gaji seperti umumnya pegawai negeri sipil.
Perbedaan ini justru menjadikan hakim korban dari undang-undang, karena faktanya mereka tidak memperoleh fasilitas layaknya pejabat negara, tetapi juga tidak menerima kenaikan gaji ketika pegawai negeri sipil memperolehnya secara periodik.
Suparman Marzuki mengatakan, “Saya lebih setuju, untuk menetapkan, menegaskan, bahwa hakim itu adalah pejabat negara, state aparatus, bukan government aparatus. Kalau dia pegawai negeri sipil, dia government aparatus, tunduk pada ketentuan-ketentuan kepegawaian. Nah, ini yang membikin secara normatif mereka sebenarnya tidak mandiri. Agar lebih mandiri, maka ketentuan undang-undang yang lain, terutama undang-undang Mahkamah Agung, bahwa mereka pejabat negara, ditegaskan dengan seluruh hak-haknya. Jadi ada kesalahan juga undang-undang.”
Karena itulah, Suparman Marzuki dan juga Komisi Yudisial mendukung dilakukannya judicial review pasal 25 ayat 6 Undang-Undang nomor 51 tahun 2009, tentang kekuasaan kehakiman. Langkah ini dinilai paling masuk akal dan elegan, karena perubahan atas pasal dalam undang-undang itu diharapkan bisa menyelesaikan inti masalah yang dihadapi para hakim di Indonesia.
Seorang hakim di Pengadilan Agama Sambas, Kalimantan Barat, Abdurrahman Rahim, ketika dihubungi VOA memaparkan, kehidupan para hakim di Indonesia, terutama di daerah-daerah sebenarnya cukup memprihatinkan.
Dengan gaji pokok seperti para pegawai negeri sipil, hakim tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan hidup secara layak, apalagi di tengah naiknya harga-harga kebutuhan sehari-hari. Abdurrahman Rahim dan sekitar 4 ribu hakim di Indonesia pernah merencanakan gerakan mogok bersidang secara nasional, tetapi kemudian digagalkan dan akan memperjuangkan kenaikan gaji melalui jalur hukum, yaitu menutut perubahan undang-undang kekuasaan hakim lewat Mahkamah Konstitusi.
“Ini sebenarnya klimaks dari persoalan-persoalan yang terjadi, sehingga terkesan hakim ini dibiarkan, disemena-menakan oleh pemerintah, sementara kami tidak punya rumah dinas, ada yang punya rumah dinas tetapi tidak layak, sementara kami harus berjuang dengan modal idealisme, harus berjuang ke pinggiran-pinggiran daerah, seperti saya di daerah Sambas, yang semua kebutuhan hidup sangat mahal, di atas rata-rata, apalagi teman-teman yang jauh lebih parah dari saya seperti di kepulauan terluar seperti Morotai, seperti Pulau Tarempang yang dekat Laut Cina Selatan, harusnya pemerintah memperhatikan ini,” ujar Abdurrahman Rahim.
Para hakim di Indonesia hingga saat ini masih masuk dalam struktur penggajian pegawai negeri sipil, dimana gaji hakim baru rata-rata Rp 2 juta perbulan. Ironisnya, gaji pegawai negeri sipil di Indonesia telah naik berkali-kali, tetapi gaji hakim baru naik sekali, yaitu pada tahun 2008. Kenaikan tunjangan hakim terakhir dilakukan pada 2001 dan belum pernah naik lagi hingga saat ini.
Dalam perhitungan Suparman Marzuki dari Komisi Yudisial, gaji pokok hakim seharusnya minimal Rp 5 juta, dan dengan berbagai tunjangan, penghasilan bulanan mereka setidaknya Rp 12-15 juta.