Presiden Joko Widodo mengungkapkan masih banyak Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang lebih memilih jalur ilegal untuk mengadu nasibnya di luar negeri.
Dalam acara pelepasan PMI lewat skema government to government (G to G) ke Korea Selatan di Jakarta, Senin (17/10) Jokowi menjelaskan, dari data 9 juta PMI yang bekerja di luar negeri, baru setengahnya yang merupakan pekerja legal secara hukum.
Jokowi menginstruksikan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) untuk mencatat dengan seksama seluruh PMI yang bekerja di negeri orang tersebut. Upaya ini, kata Jokowi, harus dilakukan untuk mengurangi jumlah pekerja migran yang melalui jalur ilegal.
“Inilah yang saya tugaskan sejak 2,5 tahun yang lalu kepada Pak Benny Rhamdani agar itu terus dipangkas, dikurangi, dan segera bisa dihilangkan. Semua pekerja migran kita harus tercatat, harus terpantau, harus bisa dilihat di mana dia bekerja, karena ini menyangkut perlindungan, menyangkut keselamatan kita semuanya,” ungkap Jokowi.
Jokowi pun mengapresiasi pengiriman para pekerja migran melalui skema G to G. Pasalnya, PMI yang diberangkatkan kali ini merupakan sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kompetensi, keterampilan, pendidikan dan semangat yang tinggi.
“Saya lihat tadi semangatnya (para PMI) betul-betul sebuah semangat yang optimistis. Saya senang karena saudara-Saudara ini disiapkan, ada pembekalan, tujuannya jelas,” tuturnya.
Dalam kesempatan ini, Jokowi juga menjelaskan semakin banyak permintaan PMI dari negara-negara lain dengan skema yang berbeda-beda, seperti skema business to business dan skema private to private. Maka dari itu, guna meningkatkan jumlah permintaan PMI ini, ia meminta kementerian/lembaga terkait untuk senantiasa melakukan berbagai pelatihan dan keterampilan kepada para calon PMI, agar memiliki kemampuan yang mumpuni di berbagai bidang.
“Saya senang ini akan banyak lagi private-to-private, B to B yang permintaannya juga banyak seperti welder, ngelas. Ada permintaan 1.800 (orang). Ini juga kalau tidak disiapkan, ini sebuah keterampilan yang tidak mudah,” lanjutnya.
“Ini tugas besar bagi Bu Menaker dan Pak Kepala BP2MI sehingga betul-betul pekerja-pekerja terampil dengan skill tinggi ini harus benar-benar kita siapkan,” imbuhnya.
Kepala BP2MI Benny Rhamdani mengungkapkan pelepasan para pekerja migran dengan skema G to G kali ini merupakan gelombang ke-82 sejak pandemi COVID-19 melanda dua tahun yang lalu. Sampai dengan hari ini, kata Benny setidaknya sudah ada 10 ribu PMI yang ditempatkan diberbagai negara tujuan dengan tersebut. Selain itu, katanya di luar skema tersebut setidaknya sudah ada 132 ribu PMI yang melaporkan telah berangkat ke berbagai negara.
“Ini tentu tanda-tanda yang sangat baik, dimana ekonomi Indonesia sangat dibantu daripada para PMI sebagai penyumbang devisa Rp159,6 triliun setiap tahunnya kepada negara. Dan hari ini special, dihadiri presiden, mungkin hanya Indonesia satu-satunya negara dimana pelepasan setiap PMI itu dilepas oleh orang-orang penting di negara ini termasuk oleh presiden,” ungkap Benny.
Menurutnya, pelepasan PMI yang dilakukan oleh presiden ini merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada para pahlawan devisa tersebut. Presiden Jokowi, katanya, juga berpesan untuk selalu memberikan perlindungan kepada para pekerja migran, apabila mereka terkena masalah di negara tujuan.
“Perintah presiden jelas, lindungi PMI dari ujung rambut sampai ujung kaki. Perintah Presiden jelas, setiap PMI penyumbang devisa bagi negara yang sangat penting ini harus diberikan perlakukan hormat oleh negara,” tuturnya.
Perbaikan Birokrasi
Sekretaris Nasional (Seknas) Jaringan Buruh Migran (JBM) Savitri Wisnuwardhani mengungkapkan banyak faktor yang membuat calon PMI lebih memilih jalur ilegal ketimbang jalur resmi untuk bekerja di luar negeri. Salah satunya adalah birokrasi yang terlalu berbelit-belit.
“Satu birokrasi, banyak pintu. Kalau banyak pintu tetapi (calon PMI) (merasa) nyaman, dan kemudian benar-benar diberikan informasi mungkin masyarakat tidak masalah, asal kemudian diberikan semacam sosialisasi dan informasi yang benar. Jadi ketika mereka melalui jalur-jalur yang prosedural, pasti mereka akan merasa memiliki suatu manfaat dibandingkan yang tidak,” ungkap Savitri kepada VOA.
Ia mencontohkan, selama ini para PMI yang ingin mengadu nasibnya ke luar negeri sering kali merasa tidak nyaman ketika melaporkan data-data mereka mulai dari tingkat pemerintah desa. Aparat pemerintah desa, katanya, sering kali tidak melayani mereka dengan baik sehingga membuat mereka lebih memilih jalur yang tidak resmi.
“Banyak sekali warga-warga itu nggak mau datang ke desa, terutama perempuan. Kalau si calon PMI-nya sendiri yang berangkat ke Desa, untuk melaporkan datanya itu bagus sekali. Ketika saya tanya, kenapa tidak mau (melapor) ke desa? Dijawabnya, katanya nanti malah diomongin dan sebagainya. Jadi ya di desa pelayanannya juga harus welcome, tidak boleh ada diskiriminasi,” tuturnya.
Ia menyarankan, perlindungan terhadap PMI harus dimulai dari pembenahan data dari tingkat desa. Savitri menggarisbawahi, jangan sampai data PMI yang berangkat tidak sesuai prosedur resmi lebih besar jumlahnya dibandingkan data yang dimiliki oleh pemerintah.
“Yang perlu pemerintah lakukan, adalah melihat kembali sistem tata kelola migrasi yang ada, mengkaji ulang, permasalahannya dimana sih. Kan pasti pemerintah punya data, permasalahannya PMI dimana, kan ada berbagai macam. Dari data yang ada, kemudian harusnya dicari solusi seperti apa. Misalnya kalau PMI yang terjebak pada proses sistem penempatan unprosedural, atau ilegal, ya perketat pengawasan di debarkasi, embarkasi. Kemudian bekerja sama dengan negara tujuan, kemudian bekerja sama dengan imigrasi,” jelasnya.
Savitri juga mengingatkan pemerintah untuk mensosialisasikan bahayanya bekerja ke luar negeri melalui jalur yang tidak resmi. Menurutnya perlu campur tangan semua pihak, mulai dari aparat pemerintah desa, tokoh masyarakat setempat, berbagai organisasi, hingga pemerintah pusat untuk meningkatkan kewaspadaan mereka. [ /