Baru beberapa bulan menjabat, pemerintah Irak tiba-tiba memberlakukan undang-undang yang sudah lama tidak aktif yang melarang impor minuman keras (miras) dan menangkap orang-orang karena konten media sosial yang dianggap ofensif secara moral. Tindakan keras itu telah meningkatkan kekhawatiran di kalangan minoritas agama dan aktivis HAM.
Beberapa orang melihat langkah-langkah tersebut sebagai upaya Perdana Menteri Mohammed Shia al-Sudani untuk mencegah potensi tantangan politik dari kaum konservatif agama dan mengalihkan perhatian dari kesengsaraan ekonomi, seperti kenaikan harga dan fluktuasi mata uang yang tak terkendali.
Larangan impor, penjualan, dan produksi miras sebetulnya diadopsi pada 2016, tetapi baru diberlakukan secara resmi bulan lalu. Pada hari Sabtu lalu, otoritas bea cukai Irak memerintahkan semua pintu perbatasan memberlakukan larangan tersebut.
Meskipun banyak toko miras di berbagai penjuru Irak masih melanjutkan bisnis seperti biasa, mungkin menghabiskan persediaan mereka, pengiriman miras lewat perbatasan mengering dalam semalam, dengan pengecualian wilayah semiotonom Kurdi, Irak utara, yang tidak memberlakukan larangan tersebut. Sementara itu, harga miras melonjak karena pasokan yang terbatas.
Ghazwan Isso memproduksi arak, miras rasa adas manis yang populer, di pabriknya di Mosul, kota terbesar kedua di Irak. Ia menjualnya, bersama dengan miras buatan luar negeri, di 15 toko di Baghdad.
“Ada barang impor di perbatasan yang tidak boleh masuk, dengan nilai puluhan juta dolar,” ujarnya.
Isso mengatakan ia juga bingung dengan miras produksi pabriknya senilai $3 juta di gudang. Belum jelas apakah dan kapan larangan penjualan miras akan diberlakukan juga, tetapi Isso mengatakan ia tidak akan mengirim truknya dari pabriknya di Mosul ke Baghdad karena takut akan dihentikan.
Bagi Isso, larangan tersebut merupakan pukulan bagi tatanan sosial Irak. Ia percaya itu akan mendorong lebih banyak non-Muslim untuk pindah ke luar negeri.
Miras umumnya dilarang dalam Islam, agama yang dianut sebagian besar warga Irak, tetapi diizinkan dan digunakan dalam ritual keagamaan oleh orang Kristen, yang merupakan satu persen dari sekitar 40 juta orang warga Irak.
“Hukum adalah penyempitan kebebasan,” kata Isso, menambahkan larangan itu akan mendorong “suap dan pemerasan, karena miras akan dijual dengan cara yang sama seperti obat-obatan terlarang.”
Seorang hakim dan mantan anggota parlemen, Mahmoud al-Hassan, membela larangan itu sebagai konstitusional dan berpendapat bahwa itu sejalan dengan keyakinan sebagian besar warga Irak dan karenanya tidak akan memengaruhi kebebasan pribadi.
“Justru sebaliknya, mayoritas rakyat Irak adalah Muslim dan kebebasan mereka harus dihormati,” katanya. “Mereka membentuk 97 persen dari populasi negara.”
Ia meremehkan kekhawatiran bahwa pelarangan miras akan meningkatkan perdagangan narkoba lainnya. “Narkoba sudah ada, dengan atau tanpa undang-undang ini,” katanya. “Miras juga menyebabkan kecanduan dan masalah sosial.”
Larangan alkohol muncul setelah adanya upaya kontroversial untuk mengawasi konten media sosial.
Pada bulan Januari, Kementerian Dalam Negeri membentuk sebuah komisi untuk menyelidiki laporan tentang apa yang disebutnya sebagai postingan tidak senonoh dan membuat situs web untuk pengaduan masyarakat. Situs tersebut menerima puluhan ribu laporan.
Sebulan kemudian, otoritas kehakiman mengumumkan pengadilan telah mendakwa 14 orang karena memposting konten tidak senonoh atau tidak bermoral, dan menjatuhkan hukuman penjara terhadap enam di antara mereka.
Di antara mereka yang menjadi sasaran adalah orang-orang yang memposting video musik, sandiwara komedi, dan komentar sosial sarkastik. Beberapa menampilkan gerakan tarian yang dianggap provokatif, menggunakan bahasa cabul, atau mengangkat masalah sosial yang sensitif seperti hubungan gender di masyarakat Irak yang mayoritas konservatif.
Amnesty International dan Human Rights Watch, serta kelompok-kelompok HAM lokal dan regional, mengatakan tindakan keras terhadap kebebasan berekspresi melanggar hak-hak dasar manusia. [ab/uh]