Rencana Australia memiliki lima unit kapal selam kelas Virginia dari AS yang bertenaga nuklir melalui pakta AUKUS (Australia, Inggris, Amerika Serikat), hingga kini mengundang kontroversi. Banyak pakar yang mengkhawatirkan langkah Australia ini bisa mengancam stabilitas kawasan. Namun, tak sedikit pula yang memandang, langkah tersebut diperlukan untuk mengimbangi keagresifan China yang meningkat di kawasan Indo-Pasifik.
VOA - Probo Darono Yakti, dosen hubungan internasional Universitas Airlangga, mengatakan, bagi Indonesia, kepemilikan Australia atas kapal selam tersebut ibarat pisau bernata dua.
“Kalau kita punya kemitraan yang kuat dengan Australia, itu merupakan suatu keuntungan bagi Indonesia, karena Indonesia bisa dikatakan merasa terproteksi juga. Tapi, akan menjadi suatu kerugian kalau misalkan di dalam berbagai sikap koersif melalui militernya, itu Indonesia tidak terlalu dekat, dalam tanda kutip, dengan Australia. Maka, barang kali tuduhan-tuduhan penggunaan kapal selam nuklir itu juga termasuk ancaman dari Australia, nah ini menjadi suatu soal,” jelasnya.
Probo mengatakan, rencana AUKUS ini tidak serta merta menyulut reaksi Beijing, karena bukan merupakan kapal perang yang mengancam secara langsung. Namun, situasi ini tentunya akan dapat memicu aktivitas yang sama dari China.
“Jadi, suatu negara misalkan punya kapal selam bertenaga nuklir, sebenarnya negara lain itu merasa terancamnya secara tidak langsung. Misalkan, Australia punya kepal selam dari kerja sama AUKUS, maka Tiongkok secara diam-diam pun juga akan mendevelop senjata yang sama, dan dia akan merilis pada publik, ini lho aku juga punya kapal selam nuklir,” komentar Probo.
Sementara itu, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, mengatakan rencana AUKUS terkait pembuatan kapal selam bertenaga nuklir tidak terlalu dikhawatirkan negara-negara di kawasan ASEAN dan Indo-Pasifik.
Meski demikian, negara-negara di kawasan ASEAN khususnya telah melakukan penyesuaian kebijakan di bidang pertahanan dan keamanan. Tindakan antisipasi ini, kata Fahmi, merupakan bagian dari kebijakan pertahanan negara-negara di kawasan demi terjaganya kedaulatan dan stabilitas keamanan yang diharapkan bersama.
“Reorientasi kebijakan pertahanan, penyesuaian dalam pembangunan kekuatan, terutama untuk meningkatkan kemampuan pengawasan dan penegakan kedaulatan. Jadi, sebenarnya respon terbaik dari negara-negara di kawasan ASEAN dan Indo-Pasifik ini adalah respons yang sifatnya defensif aktif,” jelasnya.
Fahmi menilai hubungan bilateral antara Indonesia dan Australia sejauh ini masih berjalan dinamis, meski Indonesia sempat merespon negatif rencana aliansi AUKUS mengembangkan kapal selam bertenaga nuklir. Komunikasi dan diplomasi pertahanan dengan Australia, kata Fahmi, perlu terus ditingkatkan secara terukur untuk meningkatkan kepercayaan antara kedua negara. Hal ini juga untuk mengurangi kesalahpahaman, mengingat Indonesia juga menjaga hubungan baik dengan China.
“Jadi, yang perlu diantisipasi Indonesia justru sebenarnya bukan pembangunan kapal selamnya, tapi terjadinya perlombaan senjata di kawasan ini yang dipicu oleh rencana itu. Rencananya belum terwujud, perlombaan senjatanya sudah dimulai. Itu yang menjadi concerned Indonesia, karena bagaimana pun kawasan yang dinamis ini, ya Indonesia tetap harus mempertahankan kapabilitas pertahanannya,” jelasnya.
Terlepas dari kapal selam bertenaga nuklir, Probo mengatakan, Indonesia perlu meningkatkan kerjasama milter dengan Australia. Ia menilai, Indo-Pacific Endeavour (IPE) yang baru-baru ini digelar Australia di Surabaya perlu ditanggapi positif.
“Kita juga bisa menggunakan kegiatan IPE ini sebagai satu sarana diplomasi militer, yang sepertinya juga sudah dikembangkan di era-era terdahulu. Misalkan, kita seringkali mengadakan latihan gabungan Super Garuda Shield, dan juga beberapa kerja sama-kerja sama militer yang pernah dikembangkan sebelumnya. Jadi, ini sifatnya bisa menjadi penguatan-penguatan untuk kaitannya dengan perwujudan keamanan di kawasan Indo-Pasific yang lebih stabil,” terangnya.
IPE adalah kegiatan tahunan, yang dikoordinasikan oleh militer Australia sejak 2017. Kegiatan ini difokuskan untuk memperkuat keterlibatan dan kemitraan Australia dengan pasukan-pasukan keamanan kawasan.
Dalam IPE kali ini, kapal perang Australia HMAS ANZAC merapat di Dermaga Jamrud Utara, Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, Jawa Timur, dari 1 hingga 4 Agustus.
Selama berada di Surabaya, angkatan laut Australia dan angkatan laut Indonesia melakukan beberapa kegiatan bersama, termasuk peluncuran kapal selam; pertukaran pengetahuan penyelamatan dan keamanan gender; lokakarya perdamaian, serta sejumlah kegiatan lainnya dengan pemerintah daerah.
Kepala Dinas Penerangan Koarmada II, Kolonel Laut (P) Widyo Sasongko kepada VOA, mengatakan kegiatan bersama ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas militer kedua negara, dan kerja sama keamanan.
“Kalau yang tahun ini tidak ada latihan bersama, kalau lihat dari round down-nya tidak ada kegiatan latihan bersama. Mereka kegiatannya cc ke armada, terus ada resepsi juga di kapal HMAZ Anzac, terus makan siang on board di HMAZ Anzac, terus mereka mengunjungi monument kapal selam,” jelas Widyo Sasongko.
IPE 2023 mendukung fokus pemerintah Australia untuk meningkatkan kemitraan diplomatik dan keamanan di seluruh Asia Tenggara dan timur laut Samudra Hindia. IPE 2023 dilangsungkan di Indonesia, Bangladesh, Brunei, Kamboja, India, Laos, Malaysia, Maladewa, Filipina, Singapura, Sri Lanka, Timor Leste, Thailand, dan Vietnam. Kegiatan ini menawarkan transfer pengetahuan dan pelatihan.
Komandan HMAS Anzac, Tony McCormack, dalam keterangannya kepada wartawan mengatakan, Indonesia adalah mitra Australia yang paling dekat dan terdepan. Dengan demikian, Australia dan Indonesia memiliki kepentingan bersama dalam Indo-Pasifik yang damai, aman, dan makmur dengan ASEAN sebagai pusatnya.
“Australia dan Indonesia berbagi zona delimitasi maritim terpanjang dan merupakan mitra maritim alami. Kerja sama maritim merupakan salah satu dari lima pilar Kemitraan Strategis Komprehensif Australia-Indonesia,” kata McCormack. [pr/ab]